Kegagalan adalah proses pembelajaran,  namun tentu kita semua ingin menjadi lebih baik dan memperoleh hasil yang lebih baik. Bagi Anda yang menjadi agen perubahan di organisasi, tentu masih ingat dengan tulisan John P. Kotter dalam bukunya Leading Change (1996). Ia mengatakan bahwa sebagian besar perubahan gagal menjalankan perubahan dan hanya 30% yang bisa dikatakan berhasil.

Mengapa? Ya, tepat seperti yang Anda pikirkan – membawa perubahan baru ke perusahaan dengan budaya warisan yang sudah lama mengakar memang menjadi sebuah upaya yang tidak mudah dilakukan. Nah, untuk menjamin keberhasilan di masa depan maka Anda harus mampu mengenali penyebab-penyebab kegagalan dalam proses transformasi dan menghindarinya. Apa saja itu?

Sense of Urgency yang Minim

Sense of urgency dan adanya krisis akan menimbulkan motivasi untuk berubah. Sayangnya, faktor ini sering diabaikan dan dianggap remeh. Padahal, menurut pengalaman Kotter, 50% perusahaan tidak berhasil mengantisipasi kegagalan ini. Para eksekutif sering tidak menyadari betapa sulitnya menarik individu-individu di perusahaan untuk keluar dari zona nyaman mereka dan melakukan perubahan. Mereka lebih mengkhawatirkan efek-efek jangka pendek seperti sikap defensif para karyawan senior, hasil bisnis jangka pendek yang hilang, harga saham menurun, dan krisis lainnya. Padahal, peran kepemimpinan sangat penting untuk mendorong inisiatif perubahan di organisasi. Di banyak kasus, urgensi yang paling memotivasi selalu didorong oleh sosok pemimpin. Jika transformasi meliputi seluruh sendi perusahaan, maka pemimpin puncak (CEO) adalah pemain kunci yang harus mengambil peran.

Tidak Memiliki Visi yang Clear

Visi secara jelas berbicara tentang arah yang seharusnya dituju oleh perusahaan. Visi yang dibutuhkan perusahaan adalah visi yang bijak dan logis. Tanpa adanya visi yang bijak (sensible vision) dan dipahami bersama, usaha transformasi hanya akan menjadi serangkaian proyek yang tidak saling berhubungan dan tidak kompatibel, yang hanya akan mengaburkan arah gerak perusahaan. Dalam beberapa kasus perusahaan yang kurang berhasil, manajemen mereka sebenarnya memiliki kesadaran untuk mengarahkan tujuan perubahan, namun pernyataan visinya terlalu rumit untuk dipahami dan digunakan. Dalam hal ini, pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menggali dan menyaring visi yang logis dan bijak dari serangkaian ide dan gagasan yang ada di kepala mereka dan menyampaikannya dengan bahasa yang sederhana atau mudah diterima.

Baca juga  Efisiensi vs. Efektivitas: Prioritas Manakah yang Lebih Utama?

Tidak Mengeliminasi Hambatan pada Proses

Perubahan dimulai ketika sejumlah besar individu dalam perusahaan telah merasa yakin untuk mencoba pendekatan baru, mengembangkan ide-ide baru, dan memberikan peran kepemimpinan. Seiring dengan prosesnya, semakin banyak orang akan memiliki visi bersama dan sepakat untuk memulai proses transformasi. Pada masa awal proses transformasi, kita tidak memiliki cukup waktu dan kekuatan untuk menyingkirkan semua hambatan sekaligus. Untuk itu, kita harus memilih dan menyingkirkan apa yang menjadi hambatan terbesar yang ada pada proses, jika aspek people yang menjadi penghambatnya maka Anda harus menyelesaikannya secara adil dan bijak sesuai dengan visi baru perusahaan. Tempatkan fokus dan energi Anda untuk menyelesaikan hambatan tersebut sampai ke akar-akarnya, ini penting agar proses Anda tidak menemukan masalah yang sama di masa depan.