Beberapa tahun terakhir perusahaan telah berfokus melakukan transformasi. Transformasi sendiri telah menjadi istilah promosi untuk menarik semangat orang-orang di perusahaan untuk menjadi lebih baik. Sayangnya, perusahaan gagal membangun pola komunikasi yang dibutuhkan untuk mendukung transformasi disini. Manajemen lebih cenderung berpikir bahwa jika mereka bisa melatih dan membuat orang-orang berpegang teguh pada prinsip lean, dan membangun sistem manajemen lean (visual boards, standard work, A3 problem solving, leader standard work, Hoshin Kanri, dll), maka mereka akan dapat mengubah organisasi mereka menjadi perusahaan yang secara continuous mendorong lean.

Jika dilihat sekilas ini terdengar sangat menarik, bukan? Namun, mari kita telisik lebih dalam, bukankah strategi ini telah digunakan oleh ratusan perusahaan yang pada akhirnya hanya mendorong peningkatan yang terlokalisasi, gagal mendapat nilai tambah dan gagal memiliki kemampuan untuk mempertahankan capaian yang telah mereka hasilkan.

Transformasi lean, transfomasi budaya, transformasi organisasi, dan transformasi individu selalu menjadi harapan baru bagi organisai untuk mewujudkan tujuan, sebuah hasil yang sangat dinantikan sebelumnya. Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa semakin banyak orang berjanji untuk memberikan “transformasi” semakin kecil kemungkinan keberhasilan untuk terwujud.

Jadi, bagaimana membuat transformasi yang berkelanjutan untuk mendorong perbaikan kinerja dan budaya? Banyak organisasi menciptakan perbaikan dan kemajuan dengan menerapkan pola pikir dan praktek lean, namun ini saja tidak menjamin transformasi berkelanjutan di seluruh organisasi. Transformasi adalah jantung dari continuous improvement. Sedangkan transformasi sendiri adalah semua perubahan yang terjadi berdasarkan pembelajaran yang telah divalidasi. Continuous improvement adalah kaizen yang tidak pernah berhenti dilakukan untuk mendorong perbaikan. Tetapi area ini sering dilupakan oleh organisasi, otomatis fokus mereka untuk berubah juga menurun.

Baca juga  The Power of Daily Improvement

Bagaimana kita bisa menciptakan budaya continuous improvement ketika kita melihat transformasi sebagai tujuan statis?

Transformasi bukanlah tujuan

Transformasi adalah proses bukan tujuan, dan pemikiran kita tentang hal ini sering menghalangi kita untuk bertransformasi – yang kita anggap sebagai kata benda bukan kata kerja.

Pemikiran kita tentang transformasi yang salah dapat menciptakan hambatan untuk perubahan yang nyata dan sustain. Seringkali kita menggambarkan upaya transformasi mereka sebagai keadaan akhir dan “berfokus pada hasil yang ditargetkan”. Kita melihat transformasi sebagai hasil yang ditentukan — kondisi target spesifik yang ingin dicapai pada suatu titik waktu – tetapi kita kehilangan fokus kita pada proses untuk sampai ke sana.

Paradigma ini mencegah kita untuk melihat transformasi sebagai kata kerja, sebagai cara untuk menjadi, dan fakta dimana mereka harus berjalan setiap hari. Padahal, sejatinya transformasi bukanlah kondisi akhir yang statis, tetapi perjalanan tanpa akhir dari tempat kita hari ini menuju keadaan target yang terus berevolusi.

Fokus pada hasil adalah penyebab terbesar kegagalan organisasi. Karena hal ini memberikan tekanan kepada orang-orang untuk mencapai tujuan sesegera mungkin. Oleh karena itu kita perlu mengantisipasinya dengan menumbuhkan kesadaraan terhadap kondisi kita saat ini dan langkah-langkah kecil yang secara bertahap akan membawa kita menuju tempat yang lebih baik. Jika kita terus melihat kondisi akhir, kita kehilangan fokus dan mulai bereaksi. Kita perlu “melakukan” daripada berpikir untuk “menjadi”. Satu hal yang harus terus kita ingat adalah bahwa “dalam transformasi, tidak ada kondisi akhir!”.

Sumber : lean.org