Salah satu argumen yang paling sering kita dengar dari kebanyakan orang tentang mengapa mereka tidak dapat menciptakan budaya perbaikan terus-menerus (continuous improvement) adalah bahwa mereka merasa terlalu sibuk.
Para manajer terlalu sibuk begitupun dengan para staf. Mereka menghabiskan waktu sepanjang hari berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan sehingga tidak ada waktu tersisa untuk mencoba meningkatkan kualitas pekerjaan tersebut.
Ini adalah masalah yang sama yang dihadapi oleh begitu banyak bisnis saat ini. Jika kita bersedia untuk meluangkan waktu beberara menit setiap harinya dari pekerjaan yang kita lakukan demi meningkatkan kualitas kerja, maka perjuangan dalam membangun budaya continuous improvement tidak akan sulit seperti keliatannya.
Berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan para manajer untuk mulai membangun budaya perbaikan di dalam tim Anda:
1. Mulai dengan hal kecil
Ketika Anda meminta orang untuk ide-ide perbaikan, mereka biasanya berpikir untuk melakukan perbaikan yang memberikan dampak besar atau proyek jangka panjang. Pikiran seperti inilah yang membuat banyak orang berpikir mereka tidak punya waktu untuk melakukan perbaikan tersebut. Padahal penting juga untuk mengingat value yang ada pada gagasan-gagasan kecil. Mulailah untuk meminta para staf Anda mengidentifikasi masalah yang mereka dapat perbaiki dengan cepat. Value dari ide-ide kecil inilah yang akan cepat bertambah, sehingga para staf akan cepat menemukan bahwa mereka mampu meningkatkan kualitas dan kepuasan sebagai bagian dari pekerjaan mereka sehari-hari.
2. Jadikan waktu melakukan perbaikan adalah waktu yang sangat berharga
Jika staf Anda berpikir mereka akan mendapatkan masalah jika menghentikan pekerjaannya demi meningkatkan kualitas dari pekerjaan mereka sendiri, maka mereka tidak akan melakukannya. Sehingga penting bagi para pemimpin untuk menyampaikan bahwa mereka memberikan waktu untuk mengidentifikasi perbaikan kecil demi membuat kualitas kerja semakin baik. Cara ini mendorong staf untuk menggunakan waktu tersebut dengan sebaik-baiknya.
3. Delegasi, delegasi, delegasi
Terkadang supervisor dan manajer berpikir mereka perlu untuk mengimplementasikan semua perbaikan yang disarankan. Seperti model lama dimana para staf diminta memberikan ide perbaikan dan menaruhnya di sebuah kotak kemudian para bos lah yang menentukan perbaikan mana yang perlu dilakukan. Cara ini diaanggap kurang efektif karena pada akhirnya ide perbaikan malah mentok di level atas. Budaya perbaikan yang sukses dibangun justru para manajer tidak bisa atau tidak boleh menerapkan ide perbaikan yang datang dari staf. Sebaliknya, mereka memberdayakan staf untuk bertindak atas ide-ide perbaikan mereka sendiri. Manajer yang sukses adalah mereka yang mampu memanfaatkan waktunya untuk mengembangkan staf mereka sebagai pemikir yang kritis dan pemecah masalah. Ketika seorang manajer mendelegasikan dan menetapkan pekerjaan kepada masing-masing anggota timnya, maka peran seorang manajer hanya memberi bantuan kecil dan melakukan pembinaan terhadap anggota timnya.***