Kebangkrutan 3 bank besar di Amerika Serikat menjadi sorotan dunia. Silvergate Bank, bank yang memberikan pinjaman untuk industri kripto menjadi bank pertama yang menyatakan kebangkrutan bisnisnya pada tanggal 8 Maret 2023. Dua hari kemudian tepatnya di tanggal 10 Maret 2023 bank terbesar peringkat keenambelas di AS Silicon Valley Bank ikut terperosok dan tidak lama bank yang juga berurusan dengan kripto Signature Bank juga bangkrut.
Kegagalan Silicon Valley Bank (SVB) menjadi satu kisah kegagalan terbesar bank di AS sejak 1998. Danny Moses, investor di Moses Ventures mengatakan kepada New York Times bahwa kegagalan tersebut terjadi karena kesalahan manajemen terkait risk management. Manajemen dianggap terlalu berambisi untuk berinovasi namun tidak cukup peduli dengan pekerjaan yang biasa tetapi sangat penting dalam memastikan prinsip kehati-hatian. Sementara itu menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo tiga aspek penting yang bisa kita pelajari dari kasus ini yaitu pentingnya memperhatikan konsentrasi deposan, valuasi kepemilikan obligasi, dan ketidakseimbangan liabilitas aset.
Dampaknya terhadap Industri Perbankan Indonesia
Penutupan Silicon Valley Bank (SVB) oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) Amerika Serikat pada 10 Maret lalu dinilai Otoritas Jasa Keuangan tidak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia yang memiliki kondisi yang kuat dan stabil.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap Perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB. Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startups maupun kripto.
Menurut Dian, Indonesia setelah krisis keuangan tahun 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum, dan penguatan tata kelola serta perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien dan stabil. Hal ini tercermin dari kinerja Industri Perbankan yang terjaga baik dan solid serta tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global yang selama ini berlangsung.
Pada saat ini, kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik antara lain AL/NCD dan AL/DPK diatas threshold yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen jauh diatas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen. Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Demikian juga, untuk kinerja lainnya seperti risiko kredit, risiko pasar, permodalan, dan profitabilitas masih terjaga dan tumbuh positif. Selain itu, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori “Bank Dalam Resolusi” yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.