Bagaimana In-Flight Service Memberikan Kualitas
Bicara industri in-flight catering di Indonesia, wajar jika di pikiran kita langsung tercetus nama Aerofood ACS. Ya, perusahaan yang melayani lebih dari 40 maskapai komersil ini memang telah menjadi leader di industri tersebut.
Bicara soal katering, ternyata tidak hanya makanan yang jadi area pelayanan Aerofood ACS. Selain makanan di kabin, mereka juga menyediakan berbagai perlengkapan seperti headset, majalah, koran, hingga bantal. Seperti yang telah dijabarkan di artikel sebelumnya, tidak heran jika mereka menghadapi berbagai kompleksitas dalam usahanya memberikan yang terbaik bagi pelanggan, yang saat ini berjumlah lebih dari 40 maskapai lokal dan mancanegara, serta lebih dari 28 perusahaan dan institusi besar di Indonesia. Lalu bagaimana cara mereka menangani kompleksitas sambil terus mempertahankan kemampuan kompetitifnya?
Total Solution untuk Pelanggan
Kali ini Shift mendapat kesempatan untuk berbicara langsung dengan Budi Santoso, Direktur Human Capital dan M. Ghazali Malik, Senior Manager Operational Excellence di PT. Aerofood Indonesia. Menurut pemaparan Budi, Aerofood memberikan empat layanan utama, yaitu Inflight Catering, Industrial Catering, Garuda Support dan F&B Retail. Khusus untuk Garuda Indonesia, Aerofood mengaplikasikan konsep ISTS atau In-Flight Service Total Solution untuk meningkatkan ekspertis dan kapasitas menggabungkan jasa procurement, penyimpanan dan logistik.
Tidak hanya kepada Garuda Indonesia yang notabene merupakan induk dari Aerofood, menurut Budi, perusahaannya berkomitmen untuk menghadirkan value dan kualitas pelayanan prima kepada setiap pelanggannya. Dalam kacamata Aerofood, kualitas prima adalah pemberian layanan dan pengalaman terbaik kepada pelanggan dengan prinsip nilai IFRESH (Integrity, Fast, Reliable, Effective & Efficient, Service Excellence, and Hygiene). Menciptakan budaya continuous improvement di lingkungan perusahaan melalui program-program operational excellence.
Redefinisi Operational Excellence
Aerofood memulai transformasinya pada tahun 2013 dengan dilakukannya Transformation Workshop (9-11 Desember 2013) di Bogor yang melibatkan lebih dari 100 karyawan mulai dari level menengah sampai top management. Dari workshop ini dihasilkan beberapa hal yaitu dimulainya perubahan cara berpikir setiap individu dalam perusahaan menjadi ACS SATU ACS SAYA (ACS Sadar Mutu, ACS Sadar Biaya) dan komitmen dari seluruh karyawan untuk melakukan tindakan yang diperlukanuntuk mencapai tujuan perusahaan dan memenangkan persaingan bisnis.
Inisiatif dilanjutkan dengan program AKSI FSS (Ajang Kreativitas dan Solusi Inovatif – Forum Satu Saya) pada tahun 2014 untuk mengajak seluruh karyawan dari level yang paling bawah melakukan program-program perbaikan dalam meningkatkan kualitas dan efisiensi biaya mulai dari area kerjanya masing-masing. Program inilah yang menjadi andalan Aerofood untuk mengubah culture perusahaan menjadi continuous improvementculture(dalam istilah Jepang disebut Kaizen).
Pada tahun ini juga dilakukan redifinisi untuk konsep operational excellence. Sebelumnya, perusahaan memang telah melakukan banyak inovasi dan inisiatif perbaikan, hanya saja belum terstruktur. Menurut Budi, dahulu konsep operational excellence hanya terbatas pada operasional penanganan barang yang dikirim ke pesawat.
Kini ruang lingkup operational excellence di Aerofood lebih luas, tidak hanya operasional, namun seluruh aktivitas bisnis dari hulu ke hilir.
“Jadi kita memaknai operational excellence dalam konteks yang sangat luas,” kata Budi. “Jadi bukan hanya bicara departemen operasional atau produksi, tapi juga finance, human capital, seluruh aktivitas. Jadi, proses supply chain dari awal hingga akhir itulah yang kita sebut operation.”
Redefinisi operational excellence ini diiringi pembentukan divisi Operational Excellence yang kini dikepalai M. Ghazali. Divisi ini memiliki peran strategis untuk mengubah mindset karyawan dan memfasilitasi berbagai inisiatif perbaikan yang dilakukan di perusahaan. Operational excellence di Aerofood adalah milik semua orang, dan proyek perbaikan yang dijalankan bisa bermacam-macam; mulai dari yang berhubungan dengan IT, human capital, manajemen overtime, transportasi, produksi, dan banyak lagi. Divisi ini berperan sebagai project manager, motor yang menggerakan seluruh inisiatif, mendidik dan mengembangkan calon-calon agen perubahan di Aerofood.
Mempopulerkan Inisiatif Perbaikan
Dalam memulai inisiatif perbaikan, tentu saja ada berbagai pro dan kontra dari karyawan. Dalam memperkenalkan “barang baru” yang mempengaruhi rutinitas kerja karyawan, resistensi pasti ada, namun manajemen Aerofood menyadari bahwa komitmen merekalah yang menentukan kesuksesan seluruh program. Menurut Ghazali, manajemen memang sangat berkomitmen menyukseskan program Operational Excellence, baik secara moril maupun materil. Mereka melakukan kick off di awal yang menandai dimulainya program.Dengan dukungan dan perhatian yang besar dari manajemen, karyawan-pun merasa termotivasi.
Sebagai langkah awal mempopulerkan operational excellence, manajemen membuat semacam kompetisi proyek yang melibatkan karyawan Aerofood. Proyek-proyek ini dilaksanakan oleh karyawan dari berbagai departemen dan menyasar berbagai masalah yang ada di departemen mereka.
“Pertama, kita bentuk tim-timnya dan pilih beberapa team leader,” papar Ghazali. “Team leader ini adalah orang-orang yang menjadi key person dari masing-masing unit dan departemen. Setelah tim terbentuk, kita lakukan coaching dan penentuan proyek. Disitu kita beri jadwal kapan proyek harus selesaidan target yang akan dicapai.”
Untuk memulai inisiatif, motivasi karyawan memang didapatkan dari dukungan manajemen. Namun saat awal mereka belum memahami caranya. Disanalah peran divisi Operational Excellence di Aerofood. Secara rutin mereka melakukan coaching, mengajarkan berbagai metode dan tools, serta melakukan peninjauan lapangan (genba-genbutsu) bersama-sama. Dengan demikian, karyawan terbekali dan merasa lebih percaya diri dalam menjalankan proyek.
Sejalan dengan coaching, Ghazali dan divisi Operartional Excellence yang dipimpinnya juga membimbing tim-tim tersebut menjalankan proyek. Proyek-proyek ini dikompetisikan dan dengan begitu semua orang yang menjalankannya akan termotivasi untuk memberikan yang terbaik.
FSS Sebagai Inkubator Change Agent
Sebagai perusahaan yang berada di awal transformasi, Aerofood sadar mereka perlu banyak Change Agent yang berperan dalam menjalankan roda-roda perubahan. Pada tahun 2014, Aerofood membentuk FSS, yaitu Forum SATU SAYA atau Forum Sadar Mutu Sadar Biaya. Forum ini mengambil format kompetisi proyek yang diikuti oleh berbagai tim yang dibina oleh divisi Operational Excellence. Forum yang secara antusias diikuti oleh karyawan Aerofood ini berhasil menarik 25 tim yang berkompetisi menjalankan berbagai proyek perbaikan.
Melalui FSS, karyawan sadar ada banyak celah perbaikan yang jika ditangani dengan baik akan memberikan keuntungan bukan hanya bagi perusahaan, tapi juga untuk diri mereka sendiri. Selain itu, dengan adanya FSS, resistensi karyawan dalam menerima perubahan bisa diminimalisir. Bahkan, menurut Ghazali, karyawan semakin merasa termotivasi untuk terus memperbaiki dan berinovasi. Inilah langkah awal dalam memupuk budaya continuous improvement yang menjadi visi departemen Human Capital.
Ketika ditanya mengenai rahasia sukses program FSS, Ghazali menjawab semua tidak lepas dari komitmen BoD yang mendukung transformasi di perusahaan. Merekalah motor perubahan di perusahaan yang secara langsung memotivasi karyawan untuk terus memperbaiki.Dalam beberapa kesempatan, jajaran manajemen atas bahkan ikut turun dan berinteraksi dengan karyawan. Dengan demikian, akan terbanguntrust alias kepercayaan dari karyawan bahwa manajemen memang memperhatikan dan mengapresiasi kinerja mereka.
Menurut Budi, semua itu memang tidak mudah. Tapi untuk membangun trust, prosesnya memang harus up-down; dari atas turun ke bawah. “Jadi pimpinan betul-betul turun ke bawah jadi memberikan pelatihan dasar, termasuk juga inisiatif perbaikan ini, bagaimana merangka ini menjadi sebuah cerita. Ada fokus ke satu arah,” kata Budi.
“Komitmen dari top manajemen menunjukkan bahwa ini (transformasi) adalah hal yang sangat mendasar dan hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh semua pihak,” kata Ghazali.“Bahwa ini adalah hajat semua orang, bukan hanya hajat manajemen saja. Bagaimana kita bisa survive di tengah kompetisi yang makin ketat. Dengan adanya wadah ini (FSS), menunjukkan bahwa kita tidak main-main.”
Lalu apa hadiah bagi pemenang di kompetisi FSS? Menurut Budi dan Ghazali, yang tak ternilai itu adalah recognition alias pengakuan dari jajaran manajemen atas. Bagi karyawan, bisa presentasi dan diapresiasi di depan para direktur adalah sebuah prestise dan kebanggaan. Mereka merasa apa yang sudah diusahakan dihargai dan manajemen-pun memperhatikan. Tapi tentu saja ada hadiah lainnya seperti liburan sekaligus benchmark visit ke Jetstar Airlines di Melbourne.
“Jetstar adalah partner katering dari Aerofood.Nah, juara satu kompetisi FSS ini akan benchmark visit ke sana. Itu membangun confidence mereka, bahwa kita tidak kalah dengan mereka,” kata Budi.
Menurut Budi, salah satu target yang dikejar oleh perusahaan adalah keterlibatan karyawan dalam program-program improvement. Ia sadar, untuk memenuhi target yang besar membutuhkan kerja tim yang apik. Selain itu, kemampuan coaching dari para manajer juga sangat penting. Manajer berperan besar mendorong dan mengedukasi karyawan dibawah mereka agar mau ikut andil dalam strategi besar perusahaan. Divisi Human Capital dan Operational Excellence yang berperan untuk mengedukasi manajer agar meningkatkan kemampuan coaching dan problem solving mereka. Dengan demikian, akan terlihat juga bakat-bakat yang memiliki potensi untuk jadi change agent dan bahkan pemimpin perusahaan di masa depan.
Sadar Mutu, Sadar Biaya
Selain keterlibatan karyawan yang menjadi target dari sisi human capital, Program FSS Satu Saya juga memiliki target-target yang harus dikejar, seperti meminimalisir waste dan defect. Itulah yang menjadi tema sentral “sadar mutu” dan “sadar biaya” di Aerofood. Menurut Budi, “sadar mutu” sangat penting untuk mengurangi komplain dari pelanggan. Sedangkan “sadar biaya” identik dengan menghemat, bagaimana mengatur inventori dan meminimalisir waste. Tim-tim yang mengikuti kompetisi proyek FSS bisa memilih berbagai tema yang jadi celah-celah perbaikan di perusahaan. Menurut Ghazali, ada banyak tema yang bisa dipilih dari berbagai divisi.
“Dari segi biaya, kita ada biaya pembelian bahan, biaya tenaga kerja, material, equipment dan sebagainya. Masing-masing tim yang berkompetisi di FSS bisa memilih tema-tema tersebut. Ada juga tema-tema terkait quality, bagaimana mengurangi komplain, dan semacamnya,” tandas Ghazali.
Selain meningkatkan kesadaran untuk menjaga mutu dan biaya, Ghazali juga menyadari tantangan dalam mengedukasi karyawan, terutama di level operator dan daily worker yang umumnya hanya mengantongi ijazah SMA atau SMK. Menurutnya, mengedukasi karyawan tidak semudah yang dikira banyak orang. Mereka harus mulai dengan perlahan, mulai dari menumbuhkan pemahaman tentang beberapa konsep Lean Six Sigma seperti 7 waste dan 5R, juga 7 tools.
“Tahun ini kami akan coba promote Green Belt,” kata Ghazali.
Semua hal itu memberikan energi yang besar bagi Aerofood untuk memulai transformasinya. Setelah ada dukungan penuh dari manajemen, kepercayaan dari karyawan, perusahaan juga memiliki target yang harus dicapai. “Jadi, kita ada komitmen dari atas, kita punya program yang jelas, schedule yang jelas, punya target yang jelas, kita juga punya kompetisi di akhir. itulah yang membuat program ini bisa berjalan,” tutup Ghazali.***
Hasil interview ini telah dipublikasikan di Majalah Shift issue 2. Baca lebih lengkapnya di http://goo.gl/8duJ45