SHIFT SSCX jakarta macet solusi

Kemacetan adalah masalah yang telah menjadi “santapan rutin” warga kota-kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta. Berbagai solusi yang dijalankan sepertinya belum mampu menguraikan masalah yang kian kusut ini secara efektif. Ada banyak pendapat soal berbagai solusi yang diterapkan, seperti solusi membangun jalan-jalan baru, atau memperbesar kapasitas jalan yang ada. Akankah efektif? Berikut pandangan yang menarik dari salah satu penulis di The Conversation.

Kemacetan merupakan penyebab utama frustrasi yang dialami oleh pengguna jalan, dan di banyak kota di seluruh dunia, masalah ini telah menjadi semakin akut. Berbagai solusi telah diterapkan, seperti memperkenalkan congestion charging (solusi favorit para ekonom di bidang transportasi) atau pengembangan di sektor transportasi publik. Satu solusi yang paling sering terlontar adalah membangun jalan lebih banyak (atau lebih lebar). Namun tepatkah pendekatan tersebut?

Sebuah studi yang baru-baru ini dilakukan di Amerika Serikat mengidentifikasi bahwa Los Angeles, Honolulu dan San Francisco adalah kota-kota termacet di AS. Semua kota tersebut secara eksklusif menggunakan solusi berbasis-jalan untuk mentransportasikan penduduk kota.

Sementara itu, Tiongkok telah meningkatkan jaringan tol mereka dari 16.300 km di tahun 2000 menjadi sekitar 70.000 km di 2010. Herannya, waktu yang ditempuh pekerja di Beijing untuk pergi dan pulang kerja setiap harinya adalah 1 jam 55 menit, meningkat 25 menit dari tahun sebelumnya.

Lalu mengapa, apakah penduduk di kota-kota dengan jumlah dan kapasitas jalan yang besar itu tidak hidup dalam dunia berkendara?

Permintaan yang Dipaksakan

Konsep pertama yang harus Anda pahami adalah konsep permintaan yang dipaksakan (induced demand). Pikirkan mengenai jalanan yang setiap hari Anda lewati. Jika jalan baru membantu Anda sampai di kantor lebih cepat, Anda mungkin memperoleh manfaat darinya. Tapi tak lama kemudian, waktu tempuh lebih pendek yang dihasilkan jalan baru ini mengundang dua orang lainnya untuk ikut lewat di jalan tersebut. Lalu ada jalan baru kedua, dan dua orang lagi ikut lewat; dan dua orang lagi ikut lewat di jalan baru ketiga. Hanya dalam waktu singkat, waktu tempuh Anda ke kantor akan kembali seperti sebelumnya.

Baca juga  Actions speak louder than words, ubah idemu jadi aksi nyata

Dalam konteks transportasi, kecenderungan semacam itu dikenal dengan sebutan Downs-Thomson Paradox, The Pigou-Knight-Downs Paradox atau Lewis-Mogridge Position: sebuah jalan baru bisa memberi pengendara kendaraan bermotor ‘waktu istirahat dari kemacetan’ selama jangka waktu tertentu. Namun hampir semua keuntungan dari jalan baru yang dirasakan pengguna jalan akan hilang di jangka panjang.

Lebih jauh, ketika tambahan jalan bisa mengatasi kemacetan secara lokal, lalu lintas kendaraan yang memenuhi jaringan jalan mungkin akan menambah kemacetan di tempat-tempat lain.  Di Sydney, contohnya, WestConnex boleh jadi memperbaiki kondisi lalu lintas di Parramatta Road, namun memperburuk masalah kemacetan di keseluruhan kota.

Persimpangan Terlemah

Kemacetan disebabkan oleh persimpangan-persimpangan terlemah di jaringan jalan. Jika solusi ekspansi kapasitas jalan tidak termasuk melebarkan persimpangan-persimpangan yang menjadi bottleneck ini, kemacetan hanya akan berpindah ke bagian lain dari jaringan jalan tanpa mengatasi masalah. Terlebih lagi, solusi itu berpotensi membuat masalah kemacetan bertambah parah.

Braess Paradox adalah contoh yang populer untuk menjelaskan mengapa membangun jalan baru di lokasi yang salah dapat menyebabkan waktu tempuh lebih panjang bagi pengguna jalan, bahkan tanpa adanya induced demand, karena jalan baru bisa menggiring pengguna jalan menuju persimpangan-persimpangan terlemah di jaringan jalan. Aksi sebaliknya mungkin menghasilkan sesuatu tak terduga: menghilangkan jalan bisa jadi akan memperbaiki kondisi lalu lintas.

Paradoks ini terjadi karena setiap pengemudi mengambil rute yang tercepat tanpa mempertimbangkan implikasinya terhadap pengemudi lain. Pengendara mobil hanya peduli tentang banyaknya mobil yang mengantri di depan mereka; tidak memperdulikan mobil-mobil yang mengantri di belakang. Inilah masalah klasik dalam teori permainan, sangat mirip dengan teori yang membuat John Nash menerima Hadiah Nobel.

Baca juga  Actions speak louder than words, ubah idemu jadi aksi nyata

Apa Kata Data?

Salah satu studi di AS menunjukkan hubungan yang kuat antara jumlah dan panjangnya jalan baru dengan jumlah total kilometer yang ditempuh di kota-kota di negara tersebut, penemuan yang disebut oleh penulis hasil studi tersebut sebagai “hukum fundamental tentang kemacetan di jalanan”.

Penemuan yang sejenis dilaporkan pula di Spanyol dan Amerika Serikat, dimana peningkatan kapasitas jalan-jalan utama hanya bisa mengurangi sedikit atau bahkan tidak mengurangi kepadatan lalu-lintas sedikitpun. Kecenderungan ini juga terjadi di Eropa, dimana penelantaran kaidah induced demand memunculkan bias dalam menilai dampak lingkungan dan viabilitas ekonomi dari proyek pembangunan jalan yang diajukan.

Di Sydney, terjadi kecenderungan yang sama, yaitu volume kepadatan lalu lintas yang menyeberangi pelabuhan. Sydney Harbour Bridge telah menampung volume lalu lintas yang stabil, yaitu 180.000 kendaraan per hari, dari tahun 1986 hingga 1991. Lalu dibukalah Sydney Harbour Tunnel pada 1992, dan volume total kendaraan yang menyeberangi pelabuhan melonjak hingga 250.000 kendaraan per hari di tahun 1995. Kenaikan 38% ini bisa disebabkan oleh induced demand, bukan dari pertumbuhan populasi (yang penambahannya hanya 4% selama periode yang sama).

Observasi empiris juga telah mengkonfirmasikan adanya Braess Paradox. Contohnya, pada tahun 1969, sebuah jalan baru dibangun di Stuttgart, Jerman, dan tidak memperbaiki kondisi lalu lintas. Setelah jalan tersebut ditutup, tingkat kemacetan di tempat itu menurun.

Observasi sejenis mengenai bagaimana penutupan jalan yang memberikan efek perbaikan kondisi lalu lintas juga telah dilakukan di New York City. Penutupan jalan ke-42 (sebuah jalan utama yang membelah kota di Manhattan) diobservasi menyebabkan pengurangan kemacetan secara signifikan, diatas rata-rata.

Sebuah studi eksperimental yang dilakukan baru-baru ini mengkonfirmasi bahwa paradoks yang sama memang ada, dengan melihat fakta bahwa memperbesar kapasitas jalan dapat menyebabkan kondisi lalu lintas yang lebih buruk untuk semua orang.

Baca juga  Actions speak louder than words, ubah idemu jadi aksi nyata

Teori induced demand telah diterima oleh sebagian besar masyarakat, namun tidak semua orang mempercayainya.

Contohnya, seorang pengarang dari paper yang terbit di tahun 2001 berargumentasi bahwa induced demand itu tidak ada. Namun, periset Goodwin dan Noland dari Inggris mengkritisi studi ini.

Dalam kondisi terisolir, membangun lebih banyak jalan tentu akan meningkatkan kondisi lalu lintas, namun efeknya kemungkinan hanya terasa di lokasi tersebut dan sebentar saja. Kemacetan mungkin akan lebih buruk di bagian jalan yuang lain. Berdasarkan pengalaman, kapasitas jalan baru tersebut akan segera terisi oleh mobil-mobil “baru” dengan cepat.

Bahkan tanpa “pengguna jalan baru” yang diciptakan oleh jalan baru tersebut, jika jalan baru dibangin di lokasi yang salah, kemacetan juga akan bertambah parah karena perangai pengguna jalan. Jalanan sendiri tidak akan mengentaskan masalah kemacetan dalam jangka panjang; mereka hanyalah salah satu alat (problematik) dalam kotak perkakas manajemen transportasi.***

Artikel dari The Coversation

Gambar: okezone.com