Kesuksesan Boeing sebagai salah satu perusahaan manufaktur pesawat terbang terdepan di dunia terletak kepada komitmen dalam perbaikan proses manufakturnya, salah satunya adalah dengan mengeliminasi 34 hari dari waktu yang dihabiskan untuk kegiatan perakitan pesawat. Strategi continuous innovation yang mereka jalankan memberikan keuntungan kompetitif tersendiri untuk memperoleh podium dalam industri yang sangat kompetitif tersebut.
Pada tahun 1998, Boeing Company membutuhkan waktu 71 hari untuk merakit behemoth 777-nya. Tim di Boeing berhasil menemukan cara untuk memangkas lead time tersebut menjadi hanya 37 hari pada pertengahan 2012 lalu. Perusahaan tersebut juga berhasil memangkas sembilan hari waktu perakitan akhir yang dibutuhkan untuk membuat pesawat 737, salah satu best-seller mereka, dari 20 menjadi hanya 11 hari saja. Bagaimana mereka melakukannya?
Operational Excellence ala Boeing Company
Jawabannya mungkin akan terasa sederhana. Namun penerapannya membutuhkan komitmen yang berkelanjutan. Bagaimana Boeing melakukannya? Berikut adalah beberapa rahasianya:
- Boeing melihat segalanya dengan pemikiran out of the box untuk mengentaskan segala bottleneck dan permasalahan produksi yang telah terdefinisi.
- Boeing selalu melakukan eksplorasi terhadap ide-ide yang eksentrik dan konsep-konsep yang kesannya tak masuk akal, serta mendiskusikan mereka dalam tim hingga ide dan konsep tersebut dapat bertransformasi menjadi solusi atau praktek yang masuk akal.
- Manajemen di Boeing tidak pernah kehilangan persistensi mereka hingga sebuah masalah berhasil diselesaikan.
Pelaksanaan prinsip-prinsip diatas membutuhkan budaya perusahaan yang mendukung. Boeing sendiri terbiasa dengan budaya yang inovatif. Pemikiran yang mengandung inovasi dipupuk dan diadopsi, dan karyawan didorong untuk menjadi kreatif, disiplin, dan persisten. Bagaimana perusahaan sekelas Boeing membentuk budaya improvement di seluruh sendi organisasinya? Salah satunya adalah dengan merumuskan sistem produksinya sendiri, BPS, yaitu cara-cara Boeing berproduksi sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya, dengan tujuan meningkatkan dan mempertahankan kualitas serta kepuasan pelanggannya.
Konsep Lean di Boeing
Sebagian besar karyawan Boeing telah familiar dengan konsep Lean, hubungan dengan pemasok, manufaktur global yang mendukung visi masa depan, design-anywhere dan build-anywhere. Hampir di setiap edisi Boeing Frontiers, anda akan selalu menemukan artikel atau pembahasan mengenai Lean Manufacturing dan tips-tips implementasinya. Hal ini sama sekali bukan kebetulan. Manajemen Boeing sengaja mengondisikan demikian. Operasional yang Lean dan efisien adalah detak jantung Boeing Production System atau BPS, dan menjadi faktor krusial bagi kesuksesan produsen pesawat komersil di pangsa pasar global.
Bagi Boeing, BPS lebih dari sekedar konsep Lean, atau supplier partnership, atau process improvement. Commercial Airplanes harus bisa mengatasi defect dan secara berkelanjutan harus fokus kepada kualitas di seluruh lini produksi untuk menjaga kemampuan kompetitif dan meraih sukses.
“Boeing Company sedang menghadapi banyak tantangan,” kata Steve Westby, VP Manufacturing untuk Airplane Programs. “Namun visi mengenai target pencapaian kami tak pernah berubah. Kualitas, yang ditanamkan dalam sistem produksi kami, adalah bagian penting dari visi tersebut. Lebih dari itu, kami fokus melakukan segala hal untuk menjadi yang terbaik dan tetap kompetitif.”
BPS Lapis demi Lapis
Boeing Production System (BPS) terdiri dari beberapa elemen yang bekerja secara harmonis untuk memastikan output yang berkualitas sangat tinggi dan cost-effective, yang tercipta dalam waktu paling singkat yang mungkin. Prinsip-prinsip BPS, yaitu Lean Manufacturing, Six Sigma, value stream, global manufacturing dan supplier relationship, adalah elemen-elemen paling kritikal untuk mempertahankan kemampuan kompetitif perusahaan.
Salah satu area improvement yang familiar di Boeing adalah “value stream” dari proses pembuatan pesawat terbang. Sederhananya, value stream adalah perwakilan dari keseluruhan aliran produksi pesawat terbang, dari mulai bahan baku hingga output final. Kata lainnya adalah, value stream adalah jalan yang dilalui oleh value yang diciptakan perusahaan, dalam bentuk barang dan jasa, untuk mencapai semua pelanggannya.
Dari pemasok menuju pabrik, menuju kantor operasional, hingga akhirnya menuju pasar, dalam aliran value stream terdapat banyak kesempatan untuk pemangkasan biaya dan peningkatan efisiensi. Dengan menjabarkan setiap aspek produksi pesawat terbang menjadi gigitan-gigitan kecil aktifitas yang mudah dicerna, identifikasi area improvement akan menjadi lebih mudah. Cara ini akan membantu meningkatkan fokus terhadap apa yang menambah nilai (value) dan apa yang tidak, dan secara fundamental mendorong penghematan biaya dan peningkatan kualitas.
Di Boeing, bagian dari proses value-stream telah menghasilkan implementasi dari berbagai praktek yang sukses, seperti yang digunakan oleh perusahaan manufaktur Jepang, Toyota atau Fujisawa, di lingkungan kerja mereka. In-house design serta peralatan dan mesin dengan ukuran tepat dianggap sebagai competitive advantage. Segala aktifitas dilakukan berbasis waktu, sesuai dengan kecepatan lini produksi, dan pada akhirnya sesuai dengan kecepatan permintaan pelanggan. Inventori diatur jumlahnya dengan menggunakan sistem “pull” kanban. Mistake-proofing dan built-in quality adalah aturan wajib di seluruh pabrik dan menjadi bagian dari setiap proses.
Pada akhirnya, kualitas adalah detak jantung dari aktifitas manufaktur di Boeing, dan kemampuan untuk mengenali kondisi normal dan abnormal memainkan peran penting dalam implementasi Lean dan dalam usaha membangun kualitas kedalam sistem manufaktur yang mereka jalankan.
Contoh Kasus “Moonshine Shop”
Instalasi Kursi Pesawat
Untuk lebih memahami aktifitas improvement dan implementasi BPS di Boeing, mari sedikit meluangkan waktu untuk mengamati kasus “Moonshine Shop” pada salah satu proses perakitan di sebuah pabrik Boeing. Contoh kasus ini terjadi di area perakitan Boeing 757, dimana terdapat bottleneck yang cukup menghabiskan banyak waktu sehingga lead time membengkak. Para insinyur pabrik berjuang mengatasi bottleneck tersebut, yaitu proses pengangkatan kursi pesawat yang berat menuju pintu pesawat untuk dipasang didalam interior kabinnya.
Ketika didatangkan ke pabrik perakitan, kursi pesawat dilengkapi dengan roda. Kursi ini diangkat dengan menggunakan overhead crane menuju pintu, dibongkar, digulirkan di sepanjang kabin, dilepaskan dari roda, hingga kemudian dipasang. Proses ini memakan waktu hingga 12 jam.
Sebuah tim yang dikenal dengan “Moonshine Shop” (namanya diambil dari ide yang muncul dalam sesi pertemuan yang terlambat, yang berlangsung ketika bulan sedang bersinar), yang bertanggung jawab di area improvement, segera mengambil tindakan. Mereka mulai mencari proses dan cara lain yang lebih cepat. Mereka menyadari bahwa crane harus diganti dengan sejenis sistem konveyor yang akan membantu mempercepat proses. Untuk itu, mereka mendatangi sebuah pekan raya untuk mempelajari kincir raksasa (ferris wheel). Lalu mengamati kereta gantung, kemudian konsep roofing carrier otomatis.
Sayangnya, dari semua konsep, tidak ada yang pas dengan budget.
Namun tim pantang menyerah. Salah satu anggota tim menyampaikan ide soal mesin pengangkut jerami yang sering ia lihat di pertanian dekat rumahnya. Apakah mesin tersebut dapat dimodifikasi untuk mengangkat kursi berat menuju badan pesawat? Tim menindaklanjuti ide ini dan mulai mempelajari cara kerja mesin pengangkut jerami, dan akhirnya mendapati seseorang yang mampu memodifikasi mesin tersebut menurut spesifikasi yang diinginkan, ditambah beberapa sistem pengaman.
Karyawan di pabrik tersebut menganggap mesin baru ini konyol. Namun mereka segera berhenti tertawa begitu melihat betapa efektifknya mesin pengangkut yang baru tersebut. Karyawan dari lini perakitan lain, seperti dari Boeing 737, ikut datang untuk melihat kinerja mesin baru tersebut.
Dalam beberapa bulan saja, setiap lini perakitan Boeing telah menggunakan mesin pengangkut jerami yang dimodifikasi, dan berhasil memangkas 10 jam waktu yang dibutuhkan untuk proses instalasi kursi pesawat.
Masalah Ban Rusak
Selain masalah instalasi kursi, Boeing pernah memiliki masalah dengan ban pesawat. Ban pesawat sering rusak tertusuk oleh part-part logam kecil yang berserakan di lantai ketika pesawat yang telah rampung dan meluncur turun dari lini perakitan. Para insinyur lalu memasang alat penyapu yang terkait pada landing gear. Alat ini memang berhasil menyingkirkan benda-benda yang lebih besar, namun barang-barang kecil tetap luput dari sapuan.
Salah satu insinyur lalu teringat pada roda sepeda motor balap, yang ditutupi dengan casing pelindung yang terbuat dari kanvas pada saat perlombaan. Ia berpikir, dapatkan konsep yang sama diterapkan di lini perakitan pesawat? Ia lalu mengembangkan pelindung sejenis yang disesuaikan untuk pesawat, serta mencobanya. Hasilnya luar biasa. Satu lagi permasalahan diselesaikan, dan Boeing membukukan penghematan sebesar 250.000 dolar AS setahun, untuk satu pabrik saja.
Pemasangan Sistem Hidrolik
Masalah lain yang terjadi adalah pada sistem tabung hidrolik. Pada roda pesawat Boeing 737, terdapat suatu sistem kompleks yang berisikan 700 tabung hidrolik, dimana setiap tabung hidrolik harus dipasang satu persatu. Proses instalasi ini sangat memakan waktu, merepotkan, dan membutuhkan dua shift karyawan untuk menyelesaikannya.
Seperti yang pernah dibahas dalam artikel di Wall Street Journal, para insinyur dan mekanik di Boeing memangkas proses tersebut dengan menyarankan perakitan tabung hidrolik menjadi komponen yang lebih besar di pabrik lain. Jadi tabung-tabung kecil tersebut dirakit menjadi satu bagian yang lebih besar, untuk kemudian dipasang sebagai satu kesatuan. Proses perakitan tabung ini dilakukan di tempat lain, sehingga waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk keseluruhan proses instalasi di lini perakitan tersebut menjadi jauh berkurang. Tabung hidrolik kini jauh lebih mudah dipasang, menghemat 30 jam waktu kerja mekanik. Perbaikan proses ini juga mengurangi potensi kebocoran hidrolik pada saat instalasi.
Membawa Kualitas Kepada Level Tertinggi
Melalui beberapa kasus diatas, terlihat bahwa Boeing memiliki budaya improvement yang didorong oleh kreatifitas karyawannya. Kualitas adalah salah satu hal yang sangat diperhatikan Boeing dalam mempertahankan kemampuan kompetitifnya.
“Kualitas itu gratis, jika kita melakukan segalanya dengan benar sejak awal,” kata Wayne McCarty, Direktur Manufaktur Boeing 777. Dengan filosofi tersebut, Boeing secara agresif memperbaiki kualitas mereka. Berita baiknya untuk kita, ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari persistensi Boeing terhadap kualitas. Diantaranya adalah:
- Jadilah persisten. Banyak solusi didapatkan Boeing setelah beberapa usaha yang sebelumnya dilakukan mengalami kegagalan. Semangat untuk mencoba dan gagal, lalu mencoba lagi, memperbaiki disana-sini, jelas sangat dibutuhkan. Jangan berhenti sebelum tujuan tercapai.
- Terus pertahankan creative thinking secara sadar dan konsisten. “Jelajahi” dunia dan lakukan pembelajaran lintas industri untuk mendapatkan banyak ide. Selesaikan masalah dengan “melihat keluar ruang kantor”.
- Kembangkan tim untuk memberikan kemampuan inovatif. Tim “Moonshine Shop” di Boeing bekerja penuh untuk mengimplementasikan Lean manufacturing dan meningkatkan produktifitas. Anda mungkin tidak membutuhkan inovator full-time, namun tim proyek akan mampu memperoleh hasil yang sangat memuaskan jika didampingi dengan benar.
Selalu dukung continuous improvement. Boeing meminjam konsep ini dari Jepang, dan mereka telah memetik hasil yang memuaskan. Jangan pernah berhenti untuk membuat segalanya lebih baik, lebih cepat dan lebih mudah.***
Sumber: Boeing.com, Boeing Frontiers, IndustryWeek.