Quality Function Deployment atau QFD adalah metode yang sangat efektif untuk menerjemahkan kebutuhan dan keinginan pelanggan menjadi elemen-elemen yang menjadi patokan dalam perancangan produk atau proses. Fokus pada kepuasan pelanggan adalah salah satu semboyan utama Lean Six Sigma. Karenanya, metode QFD sering dipakai pada proyek-proyek berbasis Lean dan Six Sigma. Awalnya, QFD memang lebih sering digunakan di industri manufaktur, dalam perancangan produk. Namun kini metode tersebut mulai sering digunakan untuk membuat rancangan jasa dan proses.

Pada intinya, quality function deployment adalah metode yang ‘mewajibkan’ anggota tim proyek untuk menjalankan beberapa langkah untuk menerjemahkan kebutuhan pelanggan menjadi kebutuhan-kebutuhan desain yang spesifik.

Bagaimana Menjalankan QFD (Contoh Kasus Perbankan)

Dimulai dengan mengarahkan tim untuk menentukan pernyataan pelanggan yang menjadi prioritas, yang diambil dari VoC (Voice of Customers). Penentuan prioritas biasanya dilakukan dengan menyortir pernyataan pelanggan menggunakan diagram persamaan, lalu membuat kesimpulan dari kebutuhan-kebutuhan pelanggan yang terkumpul dengan menggunakan diagram pohon.

Selanjutnya, analisa QFD didasarkan matriks khusus yang terangkum dalam House of Quality yang akan membantu tim menghubungkan kebutuhan/permintaan pelanggan kepada persyaratan performa tertentu yang harus dijalankan untuk memenuhinya, lalu dihubungkan lagi dengan faktor-faktor operasional dalam proses yang akan memastikan semua persyaratan tersebut terpenuhi. Untuk memahami implementasi QFD, berikut contoh kasus di sebuah bank yang diadaptasi dari sebuah artikel di isixsigma.com:

Hubungan antara kebutuhan pelanggan dengan persyaratan performa yang akan diterapkan dalam proses dapat dilihat pada gambar ini (versi besar disini):

House of Quality #1:

Bukan hal yang aneh jika pelanggan meminta proses transaksi yang mudah, cepat, intuitif, dan sebagainya. Sayangnya, keinginan pelanggan seringkali tampil abstrak dan kurang definitif untuk dimasukkan dalam perencanaan proses, jasa, atau produk. House of Quality yang pertama menjadi wadah untuk menerjemahkan kebutuhan dan keinginan pelanggan menjadi bentuk yang lebih teknis, yaitu CCR (critical customer requirements). House of Quality 1 berperan dalam:

Baca juga  Inovasi: Perjalanan Astra Isuzu menuju Operational Excellence

Menangkap kemampuan kompetitor untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sejenis.

Melakukan perbandingan antar CCR dan melihat apakah mereka saling bertentangan atau tidak.

Memberikan perbandingan teknis terhadap beberapa cara yang digunakan untuk mengubah CCR menjadi praktek nyata.

Disini tim bisa mengidentifikasi kebutuhan pelanggan dari yang paling penting hingga yang biasa saja, dan memberikan penilaian dari 1 hingga 10 (10 untuk yang paling penting). Contoh berikut (terjadi di sebuah bank) memberikan 4 kebutuhan terpenting yang ditemukan tim:

  1. Cepat (prioritas = 9)
  2. Hanya membutuhkan sedikit dari waktu yang dimiliki nasabah (prioritas = 8)
  3. Memberikan pinjaman dalam nilai maksimum (prioritas = 5)
  4. Memberikan pinjaman dengan bunga yang kompetitif (prioritas = 7)

Tim di bank tersebut menetapkan CCR sebagai berikut:

  • “Cepat” didefinisikan sebagai cycle time dari lima hari kerja, yaitu +/- 1 hari.
  • “Membutuhkan sedikit waktu nasabah” didefinisikan sebagai waktu kontak untuk pertama kalinya selama 60 menit, lalu waktu kontak dalam fase follow-up selama 90 menit.
  • “Pinjaman dalam nilai maksimum” ditentukan dengan algoritma yang didasarkan kepada nilai taksiran, tren nilai dalam lima tahun terakhir, dan resiko yang terkait dengan agunan.
  • “Bunga yang kompetitif” bergantung kepada wilayah dan sejarah pembayaran si nasabah (resiko yang terkait dengan nasabah).

Jika Anda menggunakan QFD dalam proyek perancangan, baik proses, barang ataupun jasa, ada baiknya jika Anda melakukan analisa lanjutan terhadap CCR yang baru, tidak biasa, ataupun sulit dipenuhi untuk menentukan faktor dalam proses yang mempengaruhi CCR. Analisa semacam ini dilakukan di House of Quality yang kedua.

Pada kasus bank ini, pihak bank tidak pernah memonitor atau mencoba mengontrol kontak dengan nasabah eksternal, sehingga persyaratan “waktu kontak” dialihkan kepada house of quality kedua. Bank juga memutuskan untuk memasukkan persyaratan “cepat” kedalam analisa ini. Walaupun bank telah memonitor sejarah cycle time mereka, tidak ada upaya apapun yang dilakukan untuk mengontrolnya.

Baca juga  Bagaimana cara kerja pemimpin yang agile?

House of Quality #2:

Mungkin penjabaran mengenai seluruh aktifitas di house of quality kedua tidak mungkin dijabarkan disini, karena sangat panjang. Namun untuk memahaminya, mari mempelajari satu contoh ini: untuk memastikan bank mampu memenuhi CCR untuk waktu kontak yang kurang dari 60 menit, tim membuat perancangan proses interface yang terstruktur namun fleksibel. Perancangan ini menunjukkan tiga cara dalam melakukan kontak: telepon, email, dan penyampaian secara langsung.

Sistem jawab otomatis pada setiap panggilan telepon memungkinkan bank untuk mendapatkan dan menyaring permintaan nasabah dengan cepat, dan memberikan tindak lanjut berupa pengiriman formulir aplikasi melalui surat, email atau fax. Semua formulir memiliki format yang sama, tidak peduli asal mereka, sehingga memudahkan semua petugas bank untuk memprosesnya. Ini memberikan fleksibilitas yang sangat memudahkan aktifitas entri data. Untuk kontak dan aplikasi via internet, nasabah-lah yang melakukan entri data. Bank juga memberikan filter real-time untuk mengidentifikasi kesalahan yang paling sering terjadi sehingga mengurangi kebutuhan untuk menunjau dan mengkoreksi di tahap lanjutan.

House of Quality #3:

Pada fase ini, tim proyek melakukan “penerjemahan” lebih lanjut dari CCR. House of quality ketiga dibuat untuk melihat bagaimana faktor proses yang penting dapat dikontrol dan dimonitor. Tim mengidentifikasi data yang relevan dan menetapkan mekanisme pengumpulan data, sehingga data bisa dikumpulkan dan dipetakan setiap hari. Semua anomali yang terjadi dicatat, sehingga aturan dalam pengambilan keputusan dapat selalu diperbarui sesuai dengan informasi atau data baru yang ada.

Keuntungan yang didapatkan dengan menghubungkan ketiga “rumah” tersebut berupa kemudahan dalam menjelaskan mengapa suatu elemen proses atau mekanisme kontrol ditetapkan sedemikian rupa. Tim tinggal melakukan tinjauan balik dengan menelusuri hubungan yang mengarah kepada pernyataan awal oleh pelanggan.

Baca juga  Case Study Lean Management di DBS

Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa ditarik dari artikel ini adalah, dengan QFD, tim proyek akan lebih mudah menerjemahkan bahasa pelanggan dalam mengutarakan kebutuhan dan keinginan mereka kedalam bahasa teknis yang terukur dan dapat dijadikan bagian dari elemen perancangan proses, produk atau jasa.

Walaupun telah memiliki akar kuat di industri manufaktur, QFD juga dapat diaplikasikan di lingkungan jasa atau transaksional, seperti perbankan. Analisa mendetail yang bisa dilakukan dengan menggunakan QFD sangat efektif dalam membantu perusahaan untuk memahami proses pelayanan yang kompleks.***

Adaptasi dari artikel “Bank Uses QFD to Increase Its Share of Equity Loans” oleh Charles Cox.