image: www.morguefile.com
image by: http://www.morguefile.com

Ditulis oleh: Dax Ramadani 

Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan janji untuk bertemu dengan seseorang di daerah tepian kota Serang. Beliau sudah memberikan alamat rumahnya yang lengkap, dan berbekal alamat tersebut, saya berangkat menggunakan GPS.

Yang terjadi kemudian sangat menarik. Sejak awal memang ketiga GPS yang saya miliki (dua dari Android, satu dari mobil) tidak mengenal alamat yang saya tulis. Akhirnya saya hanya memasukkan daerah tempat alamat itu seharusnya berada. Setelah tiba di daerah tersebut, saya terkejut karena peta di GPS saya menunjukkan empty space dan tidak ada perumahan di situ. Yang membuat situasi lebih menegangkan, ketika saya menanyakan alamat rumah itu ke beberapa orang yang saya temui di sepanjang jalan, tidak ada satu orang pun yang mengenalnya. Dan yang paling membuat saya bingung, orang yang saya akan temui itu handphone-nya mati.

Wah, jangan – jangan saya dikerjain nih, itu pikiran negatif yang keluar pertama kali di benak saya.

Untungnya, saya masih melanjutkan pencarian buta saya, dan akhirnya, membuat cerita panjang menjadi pendek, saya berhasil terhubung dengan kenalan baru saya itu dan dengan bantuan beliau saya berhasil menemukan lokasi rumahnya.

Wow, pengalaman ini sangat menarik, dan tiba – tiba saya teringat perkataan Alfred Korsybski, seorang pakar studi kognitif (cara otak mencerna informasi), “your map is not the reality” (peta anda bukanlah kenyataan sesungguhnya). Dalam kasus saya, bukan hanya peta saya yang berbeda dari kenyataan, melainkan juga pengetahuan beberapa orang yang saya tanyakan, berbeda dari kenyataan: Meskipun peta saya (tiga peta, bukan hanya satu) dan informasi yang diberikan orang – orang setempat menyatakan alamat itu tidak ada, kenyataannya ternyata ada.

Baca juga  Tidak perlu bingung, ini beda value add dengan value enabler

Peter Senge, seorang pakar System Thinking dalam buku best-selling-nya The Fifth Discipline, menjelaskan adanya Ladder of Inference dalam proses kita menerjemahkan keadaan sekitar kita yang kita butuhkan dalam pengambilan keputusan (yang kalau dikembalikan ke analogi sebelumnya, proses ini adalah proses kita menggambar peta kita yang kita gunakan untuk menunjukkan jalan). Prosesnya adalah sebagai berikut:

  1. Kita menerima data dari panca indera kita (observasi)
  2. Kita memilih data yang kita terima (filter, pengurangan)
  3. Kita menambahkan nilai dan pengartian terhadap data tersebut (‘coloring’, penambahan)
  4. Kita mengambil asumsi berdasarkan data dan pengertian yang sudah kita tambahkan
  5. Kita menanamkan kepercayaan (belief), yang biasa disebut mental model terhadap realitas yang kita terima, dan melanjutkan pemilihan data (step 2) yang memperkuat belief kita tersebut
  6. Kita bertindak berdasarkan belief kita

Ladder of Inference ini kemudian akan membentuk sebuah siklus yang menguatkan – semakin banyak data yang di-filter dan diterima, semakin kuat belief kita. Semakin kuat belief kita, semakin kuat filter kita dalam menyerap data yang diterima.

Ilustrasi dari Ladder of Inference ini bisa dirangkum di gambar 1.

Your map is not reality
Gambar 1

Bahkan kalau dalam konteks sosial, siklus Ladder of Inferences ini bisa juga dapat terjadi secara massal, seperti digambarkan oleh gambar 1.

Your map is not reality 2
Gambar 2

Jadi, apa implikasinya terhadap continuous improvement? Besar sekali. Garis bawah nya adalah Continuous Improvement akan berhenti bila pemikiran kita hanya terbatas oleh peta persepsi kita. Ada beberapa contoh yang bisa saya bagikan di sini:

  • Seorang General Manager 5-star hotel chain menyatakan bahwa “prosedur housekeeping yang berlaku di hotel saya adalah global standard dan sudah tidak bisa di-optimalkan lagi.” (Nah kalau yang ini saya sudah buktikan sendiri dengan improvement prosedur housekeeping di hotel berbintang lainnya, tentunya bersama General Manager yang lebih progresif, menghasilkan cleanliness rating yang lebih tinggi dan membutuhkan waktu 25% lebih cepat).
  • Seorang claim manager di sebuah perusahaan asuransi menyatakan, “proses klaim 2 minggu itu sudah sangat baik, kita tidak bisa meng-improve nya lagi tanpa menambah orang” (Untungnya sang claim manager tersebut berhasil kita selamatkan dan sekarang departemen-nya mampu menyelesaikan proses klaim dalam waktu rata-rata kurang dari seminggu).
Baca juga  Antara Lean dan Agile, Mana yang Lebih Efektif di Masa Kini?

Implikasi selanjutnya adalah dari sisi kreatifitas dalam ide solusi. Beberapa contohnya:

  • Mesin ATM, dan sekarang e-banking, tercipta ketika kita tidak terpaku pada fakta bahwa “aktifitas banking hanya bisa dilakukan di bank”.
  • Kanban dan pull system, tercipta ketika Taiichi Ohno dan tim dari Toyota memutuskan untuk keluar dari peta persepsi industri otomotif dan mempelajari supermarket untuk tehnik shelf dan storage.
  • Fast food restaurant industry, di mana kita harus membayar di muka, tercipta ketika kita keluar dari persepsi bentuk sebuah restoran pada umumnya (di mana pengunjung biasanya duduk, melihat menu, memesan, makan, dan baru membayar).
  • Manajemen konflik dan fasilitasi negosiasi tidak akan mencapai titik temu bila masing – masing pihak hanya berpegang pada peta persepsi sendiri. Inti dari kesuksesan fasilitasi sebuah konflik adalah ketika si fasilitator berhasil mengajak semua pihak terkait untuk “saling menukar peta” mereka.

Albert Einstein pernah berkata, “Anda tidak dapat menyelesaikan masalah Anda dengan menggunakan pola pikir yang sama ketika Anda membuat masalah itu terjadi.” Saya rasa pernyataan ini erat kaitannya dengan apa yang sudah kita gambarkan sejauh ini.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk memulai kebiasaan berpikir di luar peta persepsi kita?

Perjalanan menuju kesuksesan berpikir adalah sebuah proses panjang yang kita tidak dapat capai dalam waktu sehari dua hari. Kita dapat memulainya dengan memperhatikan beberapa hal:

  1. Sadari, setiap saat, bahwa Your Map is Not The Reality.
  2. Bersikaplah terbuka terhadap ide – ide yang tersedia. Hentikan kebiasaan bersikap tidak percaya, menolak, apalagi mengecilkan, terhadap sebuah ide yang awalnya terdengar gila dan tidak masuk akal.
  3. Carilah mentor dan orang ketiga untuk melihat keadaan kita. Akan lebih baik lagi bila mentor yang kita percaya juga memiliki prinsip Your Map is Not The Reality.
  4. Perhatikan lingkungan sekitar kita di luar dari lingkungan tempat kita biasa berada. Ada beberapa saran dari pakar Change Management dan pakar kreatifitas bahwa kita bisa memulai dengan hal – hal sederhana, misalnya dengan mencari rute lain ketika berangkat ke kantor atau pulang ke rumah.
  5. Seraplah ide – ide dari luar industri kita. Aplikasi Lean Six Sigma di dunia perbankan, misalnya, adalah contoh kisah sukses nyata yang mengilustrasikan bahwa ide dari luar sebuah industri sangat dapat bermanfaat bagi industri itu. Saat ini metode Lean Six Sigma di dunia perbankan tidak kalah penggunaannya dibandingkan dunia manufaktur.
Baca juga  Efisiensi vs. Efektivitas: Prioritas Manakah yang Lebih Utama?

Sulit? Sudah pasti. Oleh karena itu saya ingin menutup dengan perkataan seorang mentor saya yang sangat bijaksana, “Semua sulit sebelum menjadi mudah.” Selamat mencoba dan memulai perjalanan Anda!

Dax Ramadani adalah seorang Lean Six Sigma Master Black Belt dan Associate Director di SSCX International.