Sumber foto: time.com

The Food Bank for New York City, adalah sebuah organisasi bantuan pangan terbesar di Amerika Serikat. Setiap tahunnya, organisasi ini membantu memberi makan sekitar 1,5 juta warga yang kelaparan. Kelangsungan hidup organisasi ini, seperti badan amal lainnya, sangat bergantung kepada donasi dari berbagai perusahaan, seperti Target, Bank of America, Delta Air Lines dan the New York Yankees. Manufaktur otomotif Toyota juga termasuk dalam jajaran penyumbang tetap. Namun kemudian, Toyota memiliki ide lain.

Bukan Uang, tapi Kaizen dari Toyota

Kaizen adalah kata dalam bahasa Jepang yang artinya “continuous improvement”. Metode ini adalah bahan baku utama dalam model bisnis Toyota, sekaligus menjadi rahasia suksesnya. Kaizen adalah bentuk usaha untuk mengoptimasi aliran dan kualitas dengan terus-menerus mencari cara untuk memperlancar dan meningkatkan kinerja. Sederhananya, Kaizen adalah cara Toyota berpikir di luar kotak dan membuat perubahan kecil yang menghasilkan keuntungan besar.

Efisiensi yang sangat dipentingkan oleh Toyota ternyata mampu mentransformasi proses di Food Bank. Alih-alih menyumbang bantuan dalam bentuk uang, tim insinyur dari Toyota diterjunkan langsung ke pusat-pusat produksi dan supply chain Food Bank untuk mengoptimasi proses kerja mereka. Bagaimana hasilnya?

Di dapur sup milik Food Bank di Harlem, para insinyur Toyota memangkas waktu tunggu untuk mendapatkan makan malam menjadi hanya 18 menit, dari waktu sebelumnya yaitu 90 menit. Dapur di Staten Island juga mendapatkan sentuhan dari Toyota. Mereka berhasil mengurangi waktu yang dihabiskan orang untuk mengisi kantong makanannya, dari 11 menit menjadi hanya 6 menit. Perbaikan juga dilakukan di gudang di Bushwick, Brooklyn. Di gudang ini para sukarelawan bekerja mengemas kotak persediaan makanan untuk korban Badai Sandy. “Satu dosis” Kaizen diberikan Toyota disini, dan mereka berhasil mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mengemas satu buah kotak dari 3 menit menjadi hanya 11 detik.

“Toyota telah melakukan revolusi pada cara kami melayani komunitas,” kata Margarette Purvis, CEO Food Bank.

Baca juga  Strategi untuk Menciptakan Pelanggan yang Setia

Disambut dengan Skeptis

Niat Toyota untuk mengoptimasi proses operasional Food Bank tidak langsung mendapat sambutan baik. Beberapa eksekutif di organisasi nirlaba tersebut sempat skeptis bahkan takut untuk mencoba.

“Mereka membuat mobil, sedangkan saya mengelola dapur,” kata Daryl Foriest, direktur distribusi di dapur sup dan pantry di Harlem. “Cara itu tidak sesuai untuk kami.”

Namun, Toyota sangat yakin bahwa program Kaizen yang ditawarkan akan membawa manfaat besar bagi Food Bank. Karena keyakinan Toyota, Foriest bersedia untuk mencoba dengan meminta perbaikan di titik yang menurutnya sangat sulit ditangani:

“Antrian yang sangat panjang biasanya terjadi di ruang makan,” kata Foriest. “Buatlah antrian tersebut lebih pendek.”

Atas permintaan tersebut, para insiyur Toyota mulai bekerja. Dapur dan ruang makan yang bisa menampung 50 orang dibuka untuk makan malam pada pukul 4 sore. Ketika semua kursi terisi penuh, akan terbentuk antrian di luar. Foriest akan membuka pintu untuk orang-orang yang mengantri ketika telah tersedia kursi untuk 10 orang. Waktu tunggu orang dalam antrian rata-rata bisa mencapai satu setengah jam.

Untuk mengatasinya, Toyota melakukan tiga perubahan. Mereka menghilangkan sistem masuk 10 orang, membiarkan orang masuk satu persatu begitu tersedia bangku kosong. Lalu, sebuah area tunggu dibuat di dalam ruangan, dimana orang-orang mengantri di dekat tempat pengambilan nampan makanan. Selanjutnya, seorang petugas ditugaskan untuk menemukan kursi-kursi kosong agar dapat segera diisi. Waktu tunggu rata-rata menurun drastis menjadi hanya 18 menit, dan semakin banyak orang-orang yang mendapat makanan.

Kerjasama Unik

Menurut pendapat para ahli, kerjasama unik yang terjadi antara Toyota dan Food Bank yang dianggap sebagai program cultural exchange menunjukkan cara alternatif bagi sebuah organisasi profit untuk membantu dan memberikan nilai berharga kepada komunitas.

“Kerjasama ini adalah bagian dari program filantropi perusahaan. Namun, alih-alih memberi bantuan moneter, Toyota berbagi keahlian yang bernilai,” kata David J. Vogel, seorang profesor dan ekspert di bidang CSR perusahaan di Haas School of Business, University of California, Berkeley. “Ini adalah sesuatu yang baru.”

Banyak organisasi nirlaba menghadapi budget yang terbatas, karena bantuan dana dari pemerintah semakin menipis. Mereka harus membuat keputusan bisnis dengan lebih cerdik.

Baca juga  Inovasi: Perjalanan Astra Isuzu menuju Operational Excellence

“Organisasi nirlaba mengambil contoh dari dunia organisasi profit untuk membuat mereka lebih baik,” kata Ronald P. Hill, seorang profesor di bidang marketing dan hukum bisnis di Villanova University.

Kerjasama semacam ini juga merupakan hal yang cukup baru bagi Toyota. Pada awal dekade 1990-an, perusahaan otomotif tersebut hanya berbagi mengenai metode perbaikannya terbatas kepada pemasok part-nya. Namun ketika pusat efisiensi perusahaan, yaitu Toyota Production System Support Center, menyadari ketertarikan dunia industri terhadap model bisnis Toyota, perusahaan mulai menawarkan jasa konsultasi kepada berbagai perusahaan di luar industri otomotif dan organisasi nirlaba. Saat ini, pusat efisiensi tersebut telah memberikan konsultasi kepada sekitar 40 organisasi, dan setengahnya adalah manufaktur berskala kecil hingga menengah yang tidak membayar harga tinggi. Sebagian lagi adalah organisasi nirlaba seperti Food Bank, yang mendapatkan konsultasi gratis.

“Ada sangat banyak kesempatan yang tersedia di berbagai industri untuk memperbaiki dan menjadi lebih kompetitif dengan mengaplikasikan Toyota Production System (Lean),” kata Jamie Bonini, manajer umum di support center Food Bank. Pelajaran dari Toyota datang di waktu yang tepat bagi organisasi nirlaba tersebut, karena mereka sedang kebanjiran permintaan dalam situasi ekonomi yang tengah menurun.

“Mulai dari bank, restoran, hingga perusahaan penerbangan, semuanya memberikan sumbangan moneter dan kami sangat bersyukur karenanya, “ kata Purvis. “Namun sangat jarang ada yang datang dan berkata, ‘Lihat, inilah model yang membesarkan perusahaan kami, dan kami akan berbagi denganmu untuk membantumu mengangani permintaan orang-orang yang paling membutuhkan.’”

Optimasi Proses untuk Tingkatkan Kapasitas

Di dapur Project Hospitality di Staten Island, yang menjadi bagian dari jaringan Food Bank, para insinyur Toyota mencoba untuk mempercepat proses pengambilan. Mereka membuat layout untuk mengidentifikasi titik-titik dimana terjadi penurunan kecepatan. Mereka menata ulang rak-rak berdasarkan jenis makanan dan menggunakan lakban berwarna untuk menandai kelompok gandum dan serealia, sayuran, buah dan protein. Dengan demikian, waktu yang dihabiskan klien di ruang makan berkurang hingga setengahnya.

Baca juga  Case Study Lean Management di DBS

Food Bank juga menggunakan jasa Toyota untuk meningkatkan proses di Metro World Child, badan nirlaba yang merupakan afiliasinya. Mereka berhasil meningkatkan kapasitas untuk memenuhi permintaan yang melonjak di Far Rockaways setelah Badai Sandy.

Lisa Richardson, seorang insinyur  dengan pengalaman di bidang manufaktur, melakukan gemba dan berkeliling di sebuah gudang di Brooklyn, menyaksikan para relawan bekerja keras untuk membungkus kotak-kotak makanan. Mereka menciptakan sistem yang mirip lini perakitan dengan konveyor untuk memudahkan relawan memasukkan berbagai macam makanan ke dalam kotak yang berjalan di sepanjang jalur konveyor.Rata-rata waktu yang dihabiskan untuk membungkus satu kotak makanan berkurang dari 3 menit menjadi hanya 11 detik.

Masih belum puas, Richardson menukar ukuran kotak dengan yang lebih kecil.

“Terdapat banyak tempat kosong dalam kotak dan mereka mengirimnya dengan truk,” kata Richardson. Food Bank menggunakan kotak karton standar berukuran 12 x 12 x 12 inci. Dengan mengganti ukuran kotak menjadi 16 x 8 x 8 inci, relawan bisa membungkus makanan dengan lebih pas dan ketat, dan lebih banyak kotak yang bisa dimuat di dalam truk.

Dengan semua hasil perbaikan tersebut, manajemen Food Bank merasa puas. Menurut Purvis, mereka tengah berencana untuk kembali menerapkan Kaizen di gudang Bronx yang berukuran 8.361 meter persegi. Disini, Toyota akan membatu optimasi penggunaan area gudang dan merancang rute-rute pengiriman, disamping beberapa tugas lainnya.

“Saya tidak pernah berpikir kami akan bekerjasama dengan sejumlah besar insinyur,” kata Purvis. “Di dunia kami, makanan adalah raja. Tapi sebelumnya kami tidak tahu bahwa ratunya adalah Kaizen.”

Jika Food Bank berhasil melancarkan aliran proses dan meningkatkan kapasitas dengan Kaizen, tentu metode yang sama dapat diimplementasikan pada organisasi nirlaba lainnya. Bagaimana menurut anda?***