Oleh Rifki Rizal Derrian – CEO SSCX International
Saya sering teringat dengan masa-masa belajar statistik terapan di zaman belajar Six Sigma Black Belt 20 tahun lalu. Saat itu setiap hari yang muncul di pikiran saya adalah rasanya saya merasa nggak cocok, kepala cenat-cenut, ngebul sepanjang hari, banyak angka banyak ngitung…..pusing rasanya. Hampir-hampir saya mau nyerah resign saja deh, karena kok ini belajar ngitung ini itu buat apa gunanya hehehe….demikianlah yang saya alami saat itu. Dan mungkin bukan hanya saya saja, tetapi ada beberapa dari teman-teman pembaca yang kurang lebih merasakan hal yang sama. Tapi ini benar, kalau belajar terlalu serius memang ‘mumet’ seperti itu rasanya hehehe.
Belakangan setelah melalui masa-masa perjuangan keras tersebut, saya mulai menemukan kontekstualisasi, termasuk topik-topik bercanda statistik terkait dengan kehidupan sehari-hari yang sering saya lemparkan kepada para peserta training LSS Green Belt atau Black Belt di kelas saya. Alhamdulillah, responnya baik dan malah mereka menjadi ikut tertular saling bercanda satu sama lain. Menurut saya ini sangat menyenangkan dan tentu saja bermanfaat karena memudahkan pemahaman dan pembelajaran bersama.
Sebagai contoh bercandanya para peserta training Lean Six Sigma misalnya:
- Waduh cewek itu pakaiannya seksi banget…ini kalo di fase Measure: process capability Cpk nya = 1 (dengan kata lain data proses aktual vs spesifikasi customer ini ketat banget hehe), kalau urusan pakaian, jangan sampai ya Cpk nya di bawah 1 (artinya data proses aktual sudah melebar di luar spesifikasi customer. Ibarat pakai baju (dimisalkan dengan spesifikasi) sudah tidak muat, sampai pusernya kelihatan. Nah, kalau orang pake baju terlalu longgar seperti pakai sarung yang besar, ini Cpk nya = 2 artinya adalah sigma level nya 6.
- Si Bapak Bokir ini nggak jelas nih…hari pertama senyum, hari kedua manyun, hari ketiga melotot, hari keempat tertawa-tawa, hari kelima muka datar, hari ketujuh sedih rautnya. Kalo kaya gini sih Standar Deviasi raut wajah pak Bokir besar nih. Kalo standar deviasi besar, berarti semakin inkonsisten, semakin tidak terprediksi. Maka jika ditanya kira-kira prediksinya di hari ke delapan wajah pak Bokir bakal gimana, kita sulit atau tidak bisa memprediksinya! Berbeda dengan Bu Dewi, hari pertama senyum, hari kedua senyum, hari ketiga senyum, hari kempat senyum, hari kelima senyum….nah ini raut wajahnya konsisten banget. Sehingga lebih terprediksi dan kalau ditanya kira-kira hari ketujuh raut wajah Bu Dewi akan seperti apa, kita semua dapat memprediksinya: BAKAL SENYUM. Ini artinya apa? Semakin kecil standar deviasi, semakin konsisten, semakin mudah diprediksi. Demikian halnya dalam konteks memberikan pelayanan, membuat produk dan lain kegiatan lainnya dalam praktik industri.
Masih menggunakan contoh kasus di atas, setelah hari ke-20 Bu Dewi yang biasanya penuh senyum tiba-tiba menjadi cemberut. Maka kita bisa menyebutnya dengan ‘tumben’. Tumben dalam bahasa statistik adalah outlier, pencilan. Nah, kita tidak bisa menggunakan data pencilan sebagai ukuran umum. Oleh karena itu ketika mengukur rata-rata, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah menghilangkan data pencilan tersebut.
Itu adalah contoh bercandaan di training Lean Six Sigma Green Belt atau Black Belt-nya SSCX. Menurut pengalaman saya, ini sangat efektif membantu kita memahami hal-hal teknis dengan lebih mudah. Nah, kalau bercandanya versi excellent people bagaimana nih? Boleh share di kolom komentar ya. Salam improvement!