Dokumentasi Majalah Shift
Dokumentasi Majalah Shift – Robert Halim CEO Polycore Indonesia

Seperti yang dialami sebagian besar perusahaan di Indonesia, kenaikan UMK beberapa waktu lalu memberikan tantangan tersendiri bagi PT. Supravisi Rama Optik Manufacturing (Polycore Indonesia), manufaktur lensa kacamata yang mengusung brand Polycore. Itulah salah satu alasan yang memantapkan langkah manajemen dalam menempuh perjalanan menuju Operational Excellence.

Sebetulnya, transformasi dan perbaikan bukan hal baru bagi Supravisi. Pada tahun-tahun sebelumnya, beberapa kali mereka menjalankan inisiatif perbaikan. Namun, pada waktu itu, inisiatif belum didukung oleh platform yang kuat. Keadaan tersebut disadari oleh Managing Director Polycore Indonesia,Robert Halim. Menurutnya, inisiatif perbaikan dan transformasi baru akan berhasil jika dibangun diatas platform yang kokoh. Kini, inisiatif perbaikan berbasis Lean Six Sigma yang dijalankan Polycore telah berhasil membukukan penghematan yang tidak bisa dibilang sedikit.

Menjawab Tantangan dengan Perubahan

Bagi Polycore, penerapan Lean bukan hanya sekedar projek yang berjangka waktu, melainkan sebagai landasan menuju operational excellence dengan membangun budaya continuous Improvement. Seperti diakui Robert, motivasi utama mereka memulai kembali inisiatif perbaikan adalah melonjaknya biaya tenaga kerja yang disebabkan ketetapan pemerintah menaikkan UMK karyawan.

“Bayangkan saja, di tahun 2012, UMK di Karawang (lokasi pabrik Polycore) hanya 1,29 juta rupiah. Dari 2012 ke 2013 saja, kenaikannya mencapai 60%, dari 1,29 menjadi 2,1 juta. Lalu di tahun 2013 ke 2014, naik lagi 20% kemudian di 2014 ke 2015 naik lagi 30% hingga akhirnya menjadi 3.250.000 rupiah,” ungkap Robert. “Jujur saja, kenaikan ini menurut saya tidak lumrah, bagaimana pun kita (pengusaha) akan terpukul jika kondisinya seperti ini.”

Seperti yang diungkapkan Robert, imbas kenaikan UMK berdampak besar bagi perusahaan. Biaya produksi melonjak, sementara perusahaan tidak mungkin menaikkan harga jual karena alasan persaingan global.

“Produk kita ‘kan diekspor, jadi tidak bisa menaikkan harga jual sembarangan. Kita ‘kan punya kompetitor dari Tiongkok, Thailand atau Vietnam. Kenaikan upah di negara mereka mungkin tidak sedrastis di Indonesia,” katanya. “Kalau harga jual kita mahal, tapi kualitas sama saja, jelas konsumen akan beralih ke yang lain.”

Untuk menjawab tantangan tersebut, Robert dan jajaran manajemen Polycore memahami bahwa mereka harus segera melakukan efisiensi. Tujuan awalnya adalah memangkas ongkos produksi agar tetap berada di level yang masih bisa ditolerir. Tujuan ini bisa diraih dengan cara mengoptimasi proses-proses yang ada dalam operasional pabrik. Agar efisiensi tidak serta merta mengganggu kualitas produk, manajemen memutuskan untuk melakukan transformasi berdasarkan metode Lean Six Sigma. Bahkan, dengan implementasi tersebut, kualitas produk bisa ditingkatkan.

Baca juga  Siklus Lima Langkah untuk Transformasi Perusahaan

“Jika kita bicara bebeberapa tahun ke belakang, ongkos produksi di Indonesia itu memang murah, tapi saat ini, jauh berbeda sekali kondisinya. Terlebih dengan peraturan pemerintah, terkait upah buruh,” kata Robert.

Kondisi seperti ini bukan lantas membuat pelaku industri stagnan dan tidak melakukan sesuatu. Menurut Robert, dengan kondisi yang cukup “menantang” itu, justru perusahaan bisa memikirkan strategi untuk survive dan bertransformasi menjadi lebih baik. Semua tantangan yang ada diterjemahkan sebagai peluang oleh Polycore. Pada akhirnya, tantangan yang ada mendorong perusahaan untuk lebih jeli dalam mengatur ritme aktivitas operasionalnya. Tujuannya, tentu saja agar ongkos produksi tidak semakin tinggi.

Membangun Platform yang Kokoh

Selain kenaikan upah buruh, kondisi ekonomi global yang semakin sulit diprediksi dan kondisi di dalam negeri juga tidak kalah menantang. Perusahaan yang memproduksi lebih dari 35 juta lensa setiap tahunnya ini mulai mengambil langkah nyata untuk meningkatkan kinerja operasionalnya. Namun Robert menyadari, setiap perubahan membutuhkan sesuatu yang kuat untuk menopangnya; sebuah platform yang akan dijadikan dasar pijakan untuk setiap inisiatif perbaikan di perusahaan.

“Untuk mengurangi dampak dari kenaikan UMK yang luar biasa ini, maka kami harus memikirkan bagaimana agar proses kami bisa lebih efisien, sehingga dengan proses yang lebih efisien kami bisa lebih produktif. Karena faktor inilah akhirnya, kami menjalankan program Lean yang kami beri nama BISA! – Bring Improvement Through Synergy In Action!” dan inilah platform kita untuk continuous improvement,” jelas Robert.

Sesuai dengan namanya, lanjut Robert, program BISA! dibuat dengan tujuan agar setiap orang di dalam organisasi memahami bahwa tujuan organisasi merupakan hal yang harus di capai bersama. “Itulah kenapa ada elemen synergy dan action, agar pemahaman yang kita gunakan di sini (Polycore) bisa aligned; bahwa kita harus lebih efisien.”

Di tahap awal, Robert menjelaskan projek yang mereka jalankan dari program BISA! berfokus pada projek-projek yang memberikan dampak besar cash saving, atau penurunan ongkos produksi. “Di fase pertama, kita fokus menjalankan projek yang berdampak pada cash saving karena dengan naiknya upah buruh, tentu cash yang dibutuhkan juga tidak sedikit.”

Namun, ke depannya melalui program BISA! perusahaan juga berharap dapat memperluas inisiatif improvement. “Ke depannya kita akan mencari improvement bagaimana membuat lead time proses internal menjadi lebih cepat agar service kepada customer menjadi lebih baik. BISA! platform ini harus terus dilanjutkan.”

Menurut Robert, program BISA! yang juga sebagai platform menuju continous improvement bukan hanya sekedar menjalankan projek pada saat tertentu saja. “Program BISA! adalah infrastrukturnya. Ini kita jalankan terus-menerus. Untuk itu, saat ini kita juga sudah memiliki divisi yang khusus fokus pada continuous improvement.”

Baca juga  Strategi untuk Menciptakan Pelanggan yang Setia

Membangun Sense of Urgency dan Komitmen dari Manajemen

Program BISA! yang dijalankan sejak Desember 2013, bisa dibilang berhasil. Setiap periode dari program BISA! ada kurang lebih 5 projek major dan 5 projek minor dengan jangka waktu 6 bulan. Produktivitas di beberapa lini produksi meningkat 30-50%. Reject di produksi menurun dengan peningkatan global yield setelah 2 periode program BISA!  yang berhasil meningkat dari 90% ke >95%. Meskipun Robert tidak menjelaskan besaran cash saving yang berhasil dicapai dari peningkatan produktivitas tersebut, namun menurut Robert faktor sukses pencapaian target di dua periode program BISA! tidak terlepas dari komitmen kuat manajemen Polycore.

“Di awal, tantangan terberat kita adalah membangun sense of urgency dan mendapatkan komitmen dari para key manager dan middle management yang menjalankan projek-projek dalam Program BISA! ini. Setelah kita melakukan studi banding dengan perusahaan sejenis di negara lain, ternyata tingkat produktivitas kita sangat jauh. Kalau kita tidak segera melakukan perbaikan, maka perusahaan kita akan kalah dalam persaingan global, merugi dan akhirnya harus ditutup. Untuk itu, kita harus mau & harus secepatnya melakukan perbaikan.

Para projek leader dan anggota timnya harus berkomitmen untuk menjalankan dan mencapai target yang diberikan. Hal ini di akui Robert juga tidak terlepas dari pemikiran bahwa di samping mengerjakan proyek, para key manager dan anggota tim proyek tetap harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan  operasional sehari-hari mereka.

“Karena, yang bertanggung jawab terhadap projek ini adalah orang-orang yang kita ambil dari operasional juga. Tentu ini menjadi suatu dilema yang berat.

Namun, Robert meyakini bahwa untuk bisa sukses, dibutuhkan effort yang besar. Sehingga, pihak manajemen Supravisi menilai tantangan selanjutnya, adalah bagaimana agar program yang telah berjalan ini dapat dijalankan dengan disiplin.

“Tantangan mendisiplinkan ini adalah bagaimana membuat mereka terbiasa bekerja dengan “ritme” yang baru. Untuk itulah, saya rasa inilah pentingnya peran manajemen dalam memonitor aktivitas projek dari teman-teman. Kalau tidak, membangun budaya disiplin itu akan susah.”

Untuk itu, Robert mengatakan bahwa pihak manajemen memiliki “trik” sendiri untuk membangun budaya disiplin untuk seluruh orang di dalam organisasi.

“Menurut saya, ini juga menjadi salah satu kesuksesan program lean berjalan di Supravisi, karena pihak manajemen rajin memonitor perkembangan dari projek yang dijalankan. Mungkin biasanya, di tempat lain, review itu diadakan monthly, tapi di sini, kita selalu adakan weekly coaching danweekly reporting atau dashboard. Fungsinya yaitu untuk memberikan arahan, tracking dan melihat progress dari projek yang telah dijalankan secara langsung.”

Baca juga  Membangun Budaya Inovasi untuk Ciptakan Keunggulan Bisnis 

Untuk mempertahankan perbaikan yang telah dicapai, Robert memaparkan pentingnya menanamkan budaya disiplin ke dalam seluruh personnel di perusahaan. Oleh sebab itu, Polycore kemudian melakukan penerapan program 5S secara menyeluruh. “Program BISA! merupakan program perbaikan dengan Lean mindset, yaitu tentang peningkatan produktivitas dan memiliki proses yang lebih efisien, namun untuk mempertahankan hasil tersebut, kita harus membangun budaya disiplin, untuk itulah kita juga menjalankan program 5S.”

Robert mengakui bahwa setelah Polycore mulai menerapkan program BISA! (Lean) dan 5S, ada perubahan positif yang terjadi di dalam organisasi. “Kita mulai merasakan perubahan mindset dan culture, terutama setelah kita melakukan kick-off program 5S di November 2014.”

Program 5S, menurut Robert adalah salah satu cara yang dapat membantu perusahaan dalam membangun budaya menuju continuous improvement.

“Untuk membuat apa yang telah didapatkan dari penerapan lean itu sustain, kita harus tanamkan juga budaya disiplinnya, saya rasa 5S membantu membuat hasil dari penerapan itu sustainable.”

Sumber Daya yang Memadai

Untuk dapat menjalankan semua program Lean demi mencapai hasil yang diinginkan, menurut Robert, selain membangun platform dan komitmen kuat dari manajemen, tentu perusahaan juga harus mengembangkan dan meningkatkan kemampuan orang-orang di dalamnya.

Resource adalah faktor yang penting. Untuk itu, kita coba membekali tim kita dengan memberikan training. Saat ini kita sudah memiliki 20 Green Belt. Tujuannya, agar tim kita dapat memimpin dan menjalankan program Lean secara benar dan struktural.”

Pasalnya, menurut Robert untuk menjalankan sebuah projek perbaikan, dibutuhkan bukan hanya pengalaman, tapi juga pengetahuan dan skill yang tepat dari orang-orang yang menjalankannya.

Sehingga, menurut Robert dengan memberikan training kepada karyawan, hal tersebut dapat membantu mereka dalam memecahkan setiap hambatan yang timbul.

“Saat ini, teman-teman di operasional jadi lebih memiliki banyak tools dan mereka sangat terbantu dengan tools tersebut. Karena itu digunakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Baik itu tools untuk analisa, untuk correcting ataupun problem solving. Sehingga proses perbaikan ini bisa dilakukan dengan lebih cepat.”

Tidak hanya itu, Robert juga menambahkan, disamping  memberikan coaching atau arahan pada anak buah, pimpinan perusahaan juga harus bisa menciptakan suasana  kerja yang menyenangkan agar tim tetap memiliki semangat kerja yang tinggi.***