Ekonom INDEF Bhima Yudhistira dalam sebuah kesempatan wawancara dengan SHIFT Indonesia mengatakan bahwa keseriusan pemerintah dalam memberikan insentif untuk masuk ke pengembangan ekonomi digital agak terlambat.
“Dalam riset AT Kearney, posisi Indonesia dalam industri 4.0 masih berada ditahap planning disamakan dengan Kamboja, dan Filipina. Jadi dari keseriusan Pemerintah agak terlambat untuk memberikan insentif untuk masuk ke pengembangan ekonomi digital. Munculnya startup unicorn tumbuh tanpa adanya insentif dari Pemerintah, lebih ke pengusaha yang inovatif ditengah keterbatasan,” kata Bhima.
Namun meski demikian, Bhima menilai bahwa regulasi saat ini sudah mulai banyak berbenah dan beradaptasi dengan perubahan platform digital meskipun terlambat. Aturan terkait pajak e-commerce misalnya belum menyasar sosial media, baru platform resmi. Kemudian, di sektor industri 4.0, insentif untuk produksi robotik belum jelas, regulasi KEK (kawasan ekonomi khusus) belum mendukung industri 4.0, dan regulasi ketenagakerjaan dalam UU tahun 2003 belum mengakomodir jenis pekerjaan baru.
Berbicara lebih lanjut mengenai Industri 4.0, menurut Bhima ada tiga komponen penting di dalamnya yakni infrastruktur digital, skill tenaga kerja, dan inovasi. Saat ini di Indonesia, ketiga kompenen ini masih belum terpenuhi dengan baik. Adapun akses internet masih belum merata khususnya di kawasan industri luar Jawa. Skill tenaga kerja belum match dengan kebutuhan 4.0 dimana yang lebih dibutuhkan adalah semi-high skilled dan high skilled labour. Dalam Global Innovation Index, ranking Indonesia berada diurutan ke 87 tertinggal dari negara-negara peers di kawasan Asia.
Revolusi industri 4.0 menjadi lompatan bagi industri untuk melahirkan model bisnis baru yang lebih efektif dan efisien, serta kualitas yang jauh lebih baik dengan menggunakan basis digital. Melihat besarnya potensi tersebut banyak negara masih terus mempelajari implementasi sebelum kemudian membawanya ke dalam agenda nasional. Indonesia sendiri memiliki peluang besar untuk menjadi pemain kunci di Asia dengan merevolusi strategi industri sehingga bisa lebih berdaya saing. Oleh karena itu melalui peta jalan Making Indonesia 4.0 yang telah diluncurkan, pemerintah memiliki agenda untuk mewujudkan pembukaan sepuluh juta lapangan kerja baru di tahun 2030 di mana industri Indonesia pada saat itu diharapkan telah mampu mengimplementasikan industri 4.0 dan bersaing dengan negara-negara lainnya.
Peta jalan Making Indonesia 4.0 ini ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo secara langsung sebagai salah satu agenda nasional. Koordinator program yang telah ditunjuk adalah Kementerian Perindustrian. Dalam peluncuran program tersebut, Presiden mengatakan, revolusi industri 4.0 saat ini sedang mentransformasi dunia. Indonesia, seperti negara-negara lainnya, harus bersiap dan mengantisipasi perubahan besar ini. Lalu, benarkah roadmap ini sudah tepat guna?
Menurut Bhima, masih ada catatan yang masih perlu diperhatikan oleh pemerintah. “Fokus sudah ada di lima sektor industri khususnya otomotif dan kimia, tapi catatannya Making Indonesia 4.0 lebih menitikberatkan pada industri padat modal. Sementara misi untuk akselerasi industri kecil menengah belum terakomodir. Idealnya industri kecil menengah masuk dalam value chain industri yang siap 4.0. Ini bisa menciptakan ketimpangan yang makin jauh dalam hal transfer teknologi dan khow-how,” terangnya.
Peluang Terbaik Industri 4.0
Menurut Bhima, industri 4.0 membawa sejumlah peluang besar bagi industri, namun dari semua peluang yang ada peluang terbaiknya adalah diharapkan mampu mengembalikan kedigdayaan industri tanah air.
“Peluang terbaik, industri 4.0 diharapkan bisa mengembalikan porsi industri terhadap PDB diatas 25%, mencegah deindustrialisasi semakin dalam. Ekonomi digital juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas karena keterlibatan UMKM yang cukup besar,” jelasnya.
UMKM merupakan sektor yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika ingin meningkatkan UMKM di era digital seperti saat ini maka ada beberapa hal yang harus dipenuhi. Diantaranya adalah akses internet dengan speed tinggi, pemberdayaan UMKM untuk memasukan produk ke pasar e-commerce dan linkage antara UMKM dengan industri skala menengah besar. “Bantuan Pemerintah dalam hal pengembangan pusat-pusat inkubasi UMKM di daerah perlu di percepat dan revitalisasi. Anggaran sudah ada termasuk sciences park, namun masalahnya ada pada optimalisasi untuk dimanfaatkan UMKM,” terang Bhima.
Lebih lanjut Bhima mengatakan jika ingin berhasil membangun ekosistem dan ekonomi digital maka sciences park perlu bekerjasama dengan kampus dan secara inklusif terbuka untuk UMKM. Selain itu pemerintah juga harus menyediakan infrastruktur digital sampai level pedesaan, menyiapkan regulasi yaitu berupa insentif fiskal-non fiskal yang mendukung, dan menambah anggaran RnD dalam APBN. Tahun 2017, Belanja RnD Indonesia masih 0,3% dari PDB, sementara Thailand 0,6%, dan China 2% dari PDB.
Menyoal kesiapan SDM, Bhima mengatakan bahwa kunci menghadapi industri 4.0 adalah melakukan re-skilling dengan mengirimkan karyawan untuk mempelajari teknologi terbaru.
“Dibeberapa sektor misalnya otomotif, perusahaan skala besar sudah menyiapkan operator pabrik untuk mempelajari otomatisasi berbasis IOT (Internet of Things). Misalnya training mobil listrik di Jerman dan Jepang dengan biaya perusahaan. Staff exchange juga menjadi opsi agar operator bisa menguasai lebih dari satu keahlian,” pungkasnya.