Oleh Tim Konsultan SSCX International.

Sebagai konsultan, berinteraksi dengan berbagai klien dari berbagai industri adalah pengalaman yang sangat berharga. Pembelajaran demi pembelajaran selalu terjadi saat kita berinteraksi dengan mereka. Salah satu pembelajaran yang berharga adalah mengenai pentingnya persepsi atau paradigma yang tepat tentang sebuah inisiatif continuous improvement, khususnya Lean Six Sigma. Sederhananya, sangat penting untuk mengetahui mana kacamata yang paling tepat untuk melihat Lean Six Sigma.

Sekilas, persepsi ini terlihat sepele namun sebenarnya berimplikasi besar terhadap pelaksanaan dari inisiatif continuous improvement itu sendiri di perusahaan.

Mengapa Paradigma Begitu Penting?

Persepsi adalah anggapan kita tentang sesuatu atau sesuatu yang kita yakini benar. Kata lainnya adalah mindset. Dalam teori psikologi aplikasi (applied psychology), pola pikir menentukan bagaimana seseorang berperilaku atau bertindak dengan tingkat dominasi 90%.  Mau bukti? Baiklah, kita ambil saja contoh mudah dalam kehidupan kita sehari-hari….jika ada ular besar di hadapan Anda, apa yang akan Anda lakukan? Sebagian besar orang akan menjawab lari menghindar atau menyelamatkan diri.

Sekilas, peristiwa itu nampak sederhana. Namun apabila kita bedah mekanisme tindakan tersebut, kita akan menemukan persepsi sebagai driver / pendorongnya. Tindakan atau perilaku adalah sebuah akibat dari persepsi seseorang terhadap konteks tertentu. Mengapa sebagian besar orang bertindak lari menghindar atau menyelamatkan diri? Karena mereka memiliki persepsi bahwa ular adalah makhluk yang berbahaya. Bagaimana kejadiannya dengan orang yang memiliki persepsi bahwa ular adalah sumber uang (misalnya bagi orang yang berjualan daging ular untuk obat, atau pawang ular)? Maka tindakannya akan jauh berbeda. Bisa Anda tebak, yang mereka lakukan adalah justru menangkapnya.

Nah, dalam konteks continuous improvement, bayangkan jika para pemilik perusahaan dan para pegawai perusahaan memiliki mindset yang salah tentang Lean Six Sigma. Apa yang akan terjadi? Bisa dibayangkan bahwa mereka akan berperilaku atau bertindak salah dalam merespon inisiatif Lean Six Sigma di perusahaannya.

Baca juga  Pertama di Dunia! PHR Kelola Lapangan Minyak Minas dengan Teknologi Berbasis AI 

Bahayanya Paradigma yang Salah

Nah, setelah didahului dengan pengantar di atas, Anda sekarang bisa memprediksi kira-kira bagaimana respon dari karyawan dan perusahaan jika memiliki beberapa paradigma yang salah mengenai Lean Six Sigma berikut ini:

#1 Jika ingin menerapkan Lean Six Sigma, harus mencapai 3,4 DPMO

Efek yang ditimbulkan dari mindset di atas adalah pemilik perusahaan akan menganggap itu tidak mungkin dicapai. Akibatnya, Lean Six Sigma akan ditolak untuk dilaksanakan karena sudah kalah mental sebelum berperang atau merasa bahwa Lean Six Sigma hanyalah dongengan yang tidak mungkin dicapai di dunia nyata, karena adanya keharusan untuk mencapai tingkat kualitas sigma enam atau 3,4 DPMO (defect per million opportunities). Artinya 3,4 cacat dalam satu juta produk. Padahal, yang terpenting adalah breakthrough improvement yang bisa Anda capai dengan menggunakan Lean Six Sigma.

Berapapun besarnya cacat yang sekarang ini terjadi di organisasi Anda, tidak jadi masalah. Yang penting seluruh sendi organisasi melakukan inisiatif perbaikan dengan konsisten sehingga terjadi peningkatan atau improvement yang signifikan.

Contoh sederhananya: katakanlah organisasi Anda memiliki level cacat 30 persen. Dengan implementasi Lean Six Sigma, Anda berhasil mengurangi level cacat menjadi 5 persen. Sadar atau tidak, itu adalah penurunan yang sangat signifikan! Walaupun jika dihitung dengan asumsi satu juta produk masih ada cacat sejumlah 50.000 produk dan belum mencapai tingkat kualitas Six Sigma, tapi organisasi telah berhasil mengimplementasikan Lean Six Sigma dengan sukses. Itu adalah prestasi. Tetap lakukan dan Anda akan mendapatkan lebih.

#2 Lean Six Sigma adalah proyek mengurangi orang atau mengurangi biaya

Efek negatif yang ditimbulkan akan sangat besar jika kita masih menyimpan persepsi demikian. Yang pasti, tiap orang yang punya persepsi seperti itu akan menolak dan bahkan mungkin berusaha menggagalkan inisiatif perbaikan yang sedang dilakukan. Mereka akan merasa terancam.

Yang benar adalah: Lean Six Sigma adalah menghilangkan aktifitas tidak penting dan tidak memberikan nilai (non-value-added activities) yang disebut waste, dan memperbaiki aktifitas yang penting dan menambah nilai. Perbedaannya sangat jelas.

Baca juga  Jaga Performa, Bukit Asam perkuat efisiensi operasi dan produksi

Penjelasan lengkapnya, mengurangi orang atau memotong biaya biasanya dilakukan tanpa melakukan analisa nilai atau value analysis terlebih dahulu. Ingat, sebuah aktifitas bisnis harus ada dan tidak bisa dihilangkan jika aktifitas tersebut berkategori menambah nilai atau value-adding/value-enabling. Value disini adalah faktor-faktor yang mendukung pelanggan untuk bertransaksi, dan perusahaan untuk mendambah revenue. Jika dihilangkan, maka kualitas produk dan layanan kepada pelanggan akan terkena dampak langsung. Resiko operasional perusahaan akan meningkat.

Jika sebuah proses yang menambah nilai membutuhkan 10 orang dan saat ini hanya ada 5 orang, maka kita harus tambahkan 5 orang lagi. Namun jika saat ini ada 15 orang, maka kita harus kurangi 5 orang. Jadi, Lean Six Sigma menganut prinsip pas. Tidak kurang, tidak lebih.

Contoh berikutnya tentang inisiatif pemotongan biaya. Tanpa analisa yang mendalam, kebijakan ceroboh seperti memotong insentif karyawan atau menggunakan spare part berkualitas rendah adalah hal yang mudah terlihat dan cenderung dilakukan. Dalam jangka pendek, inisiatif tersebut terlihat telah memberikan keuntungan berupa penghematan. Tapi sesungguhnya biaya yang dikurangi adalah biaya di area value-added dan value-enabler.

Bahaya dari paradigma yang keliru adalah inisiatif yang keliru, seperti yang terjadi pada contoh diatas. Jika perusahaan menerapkan sistem demikian, bukan pertumbuhan yang akan didapat; hanya stagnasi jangka panjang. Sebagai gambaran, perusahaan tadinya memberi susu pada karyawan shift malam, karena ingin berhemat maka susu ditiadakan. Hasilnya, moral karyawan yang bekerja di malam hari, karena memang secara fisik dan mental lebih berat, akan menurun. Karyawan akan merasa dirugikan dan tidak dipentingkan. Hal itu tentu akan berdampak buruk pada perusahaan jika terus dibiarkan.

Satu contoh lagi, seringkali perusahaan ingin berhemat namun dengan cara yang salah. Katakanlah perusahaan mengganti bahan baku produk dengan yang lebih murah dan kualitasnya agak lebih rendah. Misalnya, perusahaan roti yang tadinya menggunakan tepung terigu kualitas tinggi lalu menggantinya dengan terigu kualitas menengah yang lebih murah, tentu akan berpengaruh pada produk roti yang dihasilkan. Pelanggan akan merasakan perbedaannya, lalu menilai produk tersebut sebagai produk dengan kualitas yang menurun, dan beralih pada produk lain dengan harga sama namun memiliki kualitas yang sesuai dengan ekspektasi mereka.

Baca juga  Indonesia di posisi ke-12 Top Manufacturing Countries by Value Added 

Disini jelas disampaikan bahwa cara yang Lean bukan demikian. Lean tidak akan memangkas tunjangan bagi karyawan sejauh tunjangan tersebut bermanfaat untuk membangun moral, loyalitas dan semangat kerja karyawan. Yang dikurangi oleh Lean adalah aktifitas tanpa nilai, non-value-added activities atau waste, yang menempel di proses-proses bisnis perusahaan. Kuncinya adalah merampingkan proses; menghilangkan bagian-bagian proses yang memperlambat namun tidak memberikan nilai yang berarti pada hasil akhir.

#3 Implementasi Lean Six Sigma pasti hanya akan menambah beban pekerjaan dan konsepnya mengharuskan orang bekerja seperti mesin.

Persepsi di atas juga akan menimbulkan resistansi dari para pemilik proses yang akan diperbaiki dalam organisasi. Mereka akan ketakutan bahwa hasil akhir proyek Lean Six Sigma adalah membuat mereka harus kerja lebih keras dan lebih cepat.

Padahal, Lean Six Sigma adalah menghilangkan aktifitas yang tidak penting dan memperbaiki yang penting. Maka, hasil akhir sebuah proyek Lean Six Sigma justru akan mempermudah karyawan bekerja lebih mudah, lebih santai, dengan tingkat kecepatan dan kualitas yang jauh lebih tinggi. Lebih enak bukan?*** Bersambung ke bagian 2.