Oleh: Dax Ramadani

Kemarin malam adalah waktu pertama kali saya pulang ke rumah baru. Rumah kami ini, seperti biasanya rumah yang berlokasi di daerah cluster, tidak memiliki pintu pagar. Hal ini berbeda dengan rumah kami sebelumnya yang memiki pagar panjang dan berat. Ketika saya pulang, satu hal yang sangat mencolok langsung terasa oleh saya: Saya tidak perlu membuka pagar.

[cpm_adm id=”10763″ show_desc=”no” size=”medium” align=”left”]

Sebenarnya aktifitas membuka pagar ini saya rasakan sebelumnya sebagai aktifitas sederhana yang boleh dibilang tidak memakan waktu lama, dan khususnya saya sudah merasa terbiasa untuk membuka pagar itu sendiri. Akan tetapi kemarin dampaknya ternyata terasa cukup signifikan ketika hal tersebut tidak perlu dilakukan lagi.

Ketika saya pikirkan kembali aktifitas ini dan memetakannya, saya mendapatkan beberapa tasks sebagai berikut: siapkan kunci pagar (yang sering tertinggal di rumah – wah kalau ini terjadi saya harus lompat pagar dulu untuk mengambilnya di dalam), turun dari mobil (mobil dalam keadaan menyala), memasukkan kunci ke gembok dalam keadaan gelap (harus meraba2 dan menggunakan feeling supaya kunci bisa masuk, membuka gembok, mendorong pagar terbuka (cukup berat), kembali ke mobil,masukkan mobil, keluar dari mobil, dorong pintu pagar (berat kembali), kunci pintu pagar, selesai.

Total waktu yang dibutuhkan rata-rata adalah 10 menit. Bila kita menggunakan jasa asisten rumah tangga, waktu ini akan lebih lama karena ditambah waktu menunggu sang asisten itu keluar dari rumah. Kira-kira bisa sampai 15-20 menit.10 menit per malam. 20 menit per hari (pagar juga perlu dibuka di pagi hari). Sedikit? Bayangkan kalau kita save 20 menit per hari, kita akan save 600 menit (10 jam) per bulan, atau 1 hari setiap 2,5 bulan! Apalagi kalau dengan jasa asisten, angka ini bisa menjadi 2 kali lebih besar.

Lalu saya berpikir: What’s the point? Memangnya bisa kita hidup tanpa pagar untuk kondisi rumah non-cluster? Apakah artinya kita harus semua ramai-ramai pindah ke rumah di daerah cluster? Kan tidak mungkin.

Point-nya adalah, kita perlu memahami terlebih dahulu mengapa ada pintu pagar tersebut. Pagar itu dipasang karena kita tidak trust kalau lingkungan di sekitar rumah kita aman dan bebas gangguan. Bahkan dalam beberapa kondisi ekstrim, kita bukan hanya memasang pagar, tapi pagar itu kita buat tinggi, berduri, bahkan ditambah pos satpam (yang kadang-kadang nggak ada satpam-nya). Kita mungkin semua tahu kalau pagar itu adalah sebuah bentuk Waste (pemborosan) waktu, akan tetapi kita ‘terpaksa’ memasang pagar untuk melindungi aset kita yang kita tidak percaya aman kalau tidak dilindungi dari lingkungan sekitarnya. Jadi, point pertama adalah: Lack of Trust creates Wastes.

Yes, memang kalau kita bicara lingkup sosial, masalah kepercayaan (trust) ini berada di luar kendali kita dan kita memang harus melakukan apa yang kita bisa lakukan, yaitu melindungi diri kita sendiri. Bagaimana kalau kita ganti scope-nya dengan organisasi bisnis kita? Saya rasa kalau di organisasi, semua dari kita memiliki kendali yang cukup untuk meningkatkan level of trust ini. Bayangkan sebuah approval process misalnya. Bila kita memiliki business system yang efisien dan transparan, kita akan lebih bisa menyederhanakan approval loop yang harus dikerjakan untuk sebuah business decision. Misalnya, dari yang tadinya membutuhkan 2 orang untuk approve, sekarang cukup 1 orang dengan level approval dan fungsi governance yang jelas. Contoh  lain adalah information handover dari satu departemen ke departemen lain. Bila kita memiliki trust level yang tinggi, sebuah departemen tidak perlu melakukan re-checking informasi yang diterima dari departemen lain itu.

Baca juga  Inovasi: Perjalanan Astra Isuzu menuju Operational Excellence

Problem yang sering terjadi adalah they just can’t be trusted! Nah, inilah yang perlu dilihat ketika kita ingin meningkatkan speed of process dan mengurangi pemborosan di business processes kita. Upaya menghilangkan pemborosan yang ada hubungannya dengan aktifitas antar departemen tanpa memperhatikan trust level antar departemen yang berkaitan tidak akan menghasilkan solusi yang permanen dan sustainable. Fasilitasi dan sinkronisasi antar bagian perlu dilakukan untuk meningkatkan hal ini.

Point yang kedua dari kisah sederhana ini adalah pemborosan itu memiliki financial expected value. Bila kita memasang pagar untuk melindungi aset kita, otomatis kita merasa aset yang kita lindungi itu nilainya lebih tinggi daripada 20 menit yang kita butuhkan setiap hari membukanya, dan kemungkinan terjadinya resiko kehilangan aset itu cukup besar (we expect to lose it, kalau kita tidak memasang pagar).

[cpm_adm id=”11002″ show_desc=”no” size=”medium” align=”none”]

Seandainya kita tinggal di rumah kosong, atau seandainya kita sudah mengenal lingkungan atau kota tempat kita tinggal tidak memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi, mungkin sekali kita akan jauh lebih merasakan pemborosan dari pagar tersebut. Jadi, kalau kita kaitkan kembali dengan bisnis, kita hanya akan bisa mengurangi pemborosan yang berhubungan dengan error checking  (information error, decision error, physical error) apabila kita menemukan bahwa nilai finansial dari error tersebut lebih kecil daripada biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk pengecekan atau approval yang perlu kita lakukan, atau apabila kita mengurangi kemungkinan terjadinya error tersebut (dengan implementasi mistake proofing methodology).

Akhir kata, kita mungkin merasa bahwa semua pagar yang kita pasang dalam bisnis dan bahkan dalam kehidupan kita adalah untuk melindungi kita dari semua faktor yang sifatnya eksternal dan out of our control. Akan tetapi saya berprinsip semua dari kita bisa start small, start now. Kita bisa menumbuhkan influence kita dengan secara konsisten dan persisten melakukan action yang bisa kita kerjakan sekarang juga dalam upaya mengurangi pagar – pagar yang ada, cukup dimulai dari pagar – pagar yang kecil terlebih dahulu. Seiring berjalannya waktu, kita akan bertumbuh memiliki kemampuan yang lebih besar.***