“Pandemi seharusnya jadi momentum percepat penurunan BOPO (biaya operasional terhadap pendapatan operasional), dan adaptasi teknologi digital diberbagai lini layanan perbankan, ” Bhima Yudhistira, Pengamat Ekonomi.
Dua tahun menghadapi pandemi, industri perbankan telah membuktikan bahwa mereka memiliki ketahanan yang kuat menghadapi segala tantangan. Namun, ini bukanlah kemenangan akhir. Menurut Direktur Celios Bhima Yudhistira, perbankan masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di tahun 2022 ini.
“Perbankan akan hadapi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) yang berbeda dibanding 2021 lalu. Potensi perbankan untuk pulih sudah terlihat dari naiknya penyaluran pinjaman khususnya segmen KPR yang tumbuh 9% lebih. Tapi masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dikejar oleh industri perbankan khususnya menjaga kualitas kredit, meningkatkan layanan perbankan secara digital, dan memperluas cakupan penyaluran pinjaman kepada sektor UMKM,” ungkapnya kepada SHIFT Indonesia.
Tentu saja ketiga pekerjaan rumah tersebut tidak mudah ya excellent people. Misal, untuk menghadapi tren digitalisasi dan kehadiran bank-bank digital, bank konvensional harus berbenah, melakukan pengembangan platform digital, dan mendesain layanan baru yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
“Biaya investasi ke teknologi untuk bersaing dengan bank digital tidak murah. Akibatnya bank-bank tradisional sedang membenahi diri. Ada yang cepat misalnya upgrading aplikasi mobile banking-nya, ada juga yang menjalin kerjasama dengan fintech. Bank juga lakukan efisiensi di berbagai lini layanan seperti CS, teller hingga mengurangi jumlah ATM. Tapi secara umum yang lebih siap adalah bank dengan permodalan lebih besar dibandingkan bank kategori buku kecil dan BPR,” jelas Bhima.
Selain mengembangkan platform digital, bank-bank besar juga melakukan aksi akuisisi untuk memperkuat permodalan.“Bank juga cenderung memperkuat permodalan dengan merger maupun akuisisi. Yang menarik ada tren bank-bank kecil diakuisisi oleh superApps misalnya Shopee yang akuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi (menjadi SeaBank), dan GoTo yang akuisisi Bank Artos (menjadi Bank Jago),” lanjutnya.
Selanjutnya agar bisa efisien, Bhima mengingatkan bahwa pandemi seharusnya jadi momentum percepat penurunan BOPO (biaya operasional terhadap pendapatan operasional bank), dan adaptasi teknologi digital diberbagai lini layanan perbankan. Channeling pun bisa didorong ke Fintech P2P maupun lembaga keuangan di segmen mikro sehingga bank tidak perlu keluarkan biaya SDM yang besar untuk masuk ke pasar mikro.
Disrupsi Digital
Dari data Financial Times, diperkirakan secara global bahwa hanya 20 persen bank tradisional yang akan bertahan. Sementara itu, untuk konteks Indonesia, kehadiran bank digital akan menghancurkan pasar bank-bank yang skalanya kecil seperti BPR, bank buku 1 dan 2. Dalam 10 tahun kedepan pangsa pasar bank digital bisa menyentuh 50 persen dari total penyaluran kredit perbankan di Indonesia.
Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana pengaruh bank digital terhadap pertumbuhan bank konvensional besar? Menurut Bhima, untuk bank-bank buku besar justru kehadiran bank digital dirangkul. Baik BCA, BRI, dan BNI contohnya membuat bank digital sendiri yang terpisah dari induk perusahaan.
“BCA misalnya CASA dan fee based nya kan sudah bagus, branding-nya juga kuat. Ketika BCA punya anak usaha Blue dan terhubung ke superApps maka tinggal menunggu waktu, pemenangnya tetap bank konvensional yang modalnya kuat,” terangnya.
Sementara industri yang akan terkena dampak besar bank digital adalah penyaluran kredit konsumsi, dan pembiayaan sektor UMKM karena bank digital akan gunakan channel digital dalam ekspansi ke kredit konsumsi misalnya melalui BNPL (Buy Now Pay Later) dan penyaluran kredit ke merchant e-commerce.
Pasar Kripto dan Rupiah Digital
Minat masyarakat Indonesia terhadap mata uang digital (kripto) terus meningkat. Pada tahun lalu, Asosiasi Blockchain Indonesia mencatat kripto di Indonesia per Juli 2021 mencapai 7,4 juta. Jumlah ini meningkat 85 persen dibanding tahun 2020 di yang berjumlah 4 juta. Sebab itu, kripto pun mendapat sorotan di tahun lalu. Kini sebanyak 229 jenis aset kripto dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto di Indonesia dan 13 daftar bursa legal yang dapat beroperasional di dalam negeri. Daftar ini terdapat dalam Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.
Masuknya kripto sebagai subyek komoditi, menurut Bhima bursa berjangka sebenarnya tidak lagi diperlukan karena pada praktiknya platform kripto di Indonesia sudah memenuhi syarat sebagai bursa kripto yakni mempertemukan antara penjual dan pembeli. Kembali lagi, mengingat kepemilikan kripto yang semakin meningkat, maka peran pemerintah lah yang semakin dibutuhkan. “Peran pemerintah sebaiknya fokus pada pengawasan dari platform kripto tadi, dan perlindungan terhadap investor,” jelasnya.
Peran pengawasan dan perlindungan ini dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko siber. Untuk diketahui, cyber crime meningkat 3 kali lipat selama masa pandemi dan sasaran paling teratas adalah transaksi keuangan. Kripto sendiri tidak terlepas dari risiko siber misalnya platform yang tiba-tiba menghilang, dispute settlement (penyelesaian sengketa) antara penjual dan pembeli aset kripto tidak berjalan hingga skema ponzi dimana aset kripto dijadikan kedok dalam praktik mencari anggota baru (member get member).
Lebih lanjut, menyoal mata uang rupiah digital, Bhima menyatakan sulit untuk dikembangkan. “Rupiah digital sulit berkembang apabila mata uang kripto lainnya masih bebas di transaksikan. Tentunya investor lebih tertarik kripto yang sifatnya fluktuatif karena terdapat potensi keuntungan dibandingkan mata uang digital yang diterbitkan otoritas moneter,” jelasnya. Kita bisa belajar dari China. “Apa yang dilakukan oleh China perlu diperhatikan yakni melarang seluruh aktivitas kripto diluar yuan digital,” pungkasnya.