Jakarta menjadi salah satu kota mengusung konsep Smart City dengan dua aplikasi andalan: Qlue dan CROP. Qlue merupakan aplikasi penyampaian pengaduan realtime, sementara CROP akronim dari Cepat, Respons Opini Publik dibuat untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan aparat Kepolisian.
Program Smart City Provinsi DKI Jakarta resmi diluncurkan pada 2014. Sekitar 500 unit kamera pengawas disebar di berbagai penjuru ibukota mendukung suksesnya Jakarta Smart City. “Smart City bukan hanya calling center atau pelayanan teknologi, tapi berguna bagi orang, segala sesuatu menjadi lebih sederhana, mudah, membuat semua data lebih transparan sehingga orang menikmati hidup lebih baik” ungkap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama di smartcity.jakarta.go.id.
Melalui aplikasi real time, warga bisa berpartisipasi memberikan masukan dan kritik. Menurut Kepala Unit Pengelola Jakarta Smart City, Setiaji, Jakarta Smart City berupaya mewujudkan pelayanan baru yang efisien dan inovatif. “Kita menonjolkan transparansi, kolaborasi dengan masyarakat, memperbaiki internal sehingga aparat lebih responsif memberikan pelayanan terbaik,” tuturnya.
Saat ini kota di Indonesia yang telah menerapkan konsep kota cerdas antaralain Jakarta, Bandung, surabaya Yogyakarta dan Malang. Umumnya kota yang menerapkan smart city ingin segera menyelesaikan berbagai masalah perkotan seperti kemacetan, penumpukan sampah, dan keamanan warga. Namun demikian, menurut sejumlah pengamat dan budayawan, penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari bukan satu-satunya syarat penerapan kota cerdas.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi sebagai problem solving menjadi ciri-ciri konsep pembangunan di era digital. Survei Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) 2015 menunjukkan 252,4 juta penduduk Indonesia, sekitar 88,1 juta merupakan pengguna internet. Survei itu menunjukkan penetrasi pengguna internet di Indonesia pada 2015 sekitar 34,9 persen.
Mayoritas pengguna internet Indonesia hidup di wilayah Barat Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Tingkat penetrasi mencapai 36,9 persen dari total penduduk Pulau Jawa, dan sekitar 83,4 persen pengguna internet berdomisili di wilayah urban (Indonesia Netizen Survey, Markplus 2013). Tak heran jika konsep smart city yang menempatan penggunaan teknologi digital sebagai backbone umumnya diterapkan di kota-kota besar di Pulau Jawa.
Survei penetrasi pengguna internet memperlihatkan kecenderungan pengembangan infrastruktur internet di Indonesia tidak merata. Padahal setiap daerah di Indonesia memiliki akses internet yang dapat diandalkan, termasuk wilayah perdesaan sebagai kunci pembangunan. Kesenjangan infrastruktur pembangunan internet di Jawa dan luar Pulau Jawa, di perkotaan dan perdesaan, tentunya berdampak pada kesenjangan teknologi informasi komunikasi dengan cara berfikir masyarakat.
Pada konteks smart city, persoalan utama yang perlu diselesaikan bukan hanya pada kelas menengah. Setiap kota yang ingin smart, mestinya terlebih dahulu mendorong warganya menjadi smart society. Sehingga warga secara individu ataupun komunitas lebih kreatif menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai tools penyelesaian masalah di wilayah domestik sekaligus publik. Pun, tak sekadar menjadi warga yang pintar mengkonsumsi kemajuan teknologi. []