Ketika Amazon membuka gudang untuk pertama kalinya di bekas kota pertambangan batubara Rugeley, Inggris, para penduduk kota mengharapkan prospek ekonomi yang lebih cerah. Namun sayangnya, kenyataannya meleset. Itulah yang berusaha ditunjukkan oleh fotografer Ben Roberts dalam foto-foto yang ditampilkan di sebuah seri karya fotografinya.

Biru cerah bermandikan cahaya matahari cemerlang, berdiri tegak diatas ceruk-ceruk labirin bawah tanah yang kelam, sebuah gudang penyimpanan nampak mencolok diantara puing-puing kelabu. Sisa-sisa pertambangan batu bara yang seolah menjadi monumen bersejarah di kota kecil; peninggalan dari sesuatu yang dahulu memberikan identitas bagi sebidang wilayah yang ditempati masyarakat kelas pekerja di Inggris. Terlampau terang dan gemilang, seperti halnya terlampau gelapnya tambang-tambang batubara; terlampau luas dan leganya, seperti terlampau sempitnya terowongan tambang pagi para klaustrofobia; begitu bersihnya, seperti begitu kotornya situs-situs pertambangan yang memberikan penghidupan bagi penduduk Rugeley dahulu.

Gudang ini merepresentasikan masa depan dunia perbelanjaan yang dimiliki oleh sang retailer brick-and-mortar, mengenai apa yang telah mereka lakukan terhadap sebuah situs bekas pertambangan batubara dan menyulapnya menjadi cikal-bakal sebuah kerajaan: menguburnya tanpa mengisi lubang-lubang yang telah ditinggalkan.

Gudang ini adalah fokus dari sebagian visi yang ada di pelupuk mata sang retailer, yang kemudian ditangkap oleh Ben Roberts dalam Amazon Unpacked, sebuah seri fotografi yang mengungkapkan sisi dalam pusat logistik atau fulfillment center raksasa milik Amazon di Inggris Tengah.

Robert dikirim ke lokasi gudang Amazon untuk mengisi kolom di Financial Times tentang pengaruh keberadaan fasilitas milik retailer online tersebut terhadap kota Rugeley, yang telah mengalami masa-masa kesulitan ekonomi setelah ditutupnya tambang batu bara pada 1990. Tambang inilah yang dahulu menjadi sumber mata pencaharian penduduknya.

Baca juga  KAI Berkomitmen untuk Capai Zero Net Emission

Pada 2011 lalu, Amazon mulai mengumumkan niatnya membangun sebuah fulfillment center di kota yang dahulu begitu sibuk dan bersemangat itu. Dengan adanya gudang baru tersebut, akan tercipta jaringan pengemasan dan transportasi pengiriman yang diatur oleh komputer sentral Amazon yang mengkomposeri pegiriman jutaan paket tiap tahunnya ke seluruh Inggris. Yang lebih penting? Jaringan tersebut akan menyerap pekerja lokal dalam jumlah yang signifikan, yang beberapa dari mereka tidak lagi merasakan gajian selama 20 tahun terakhir.

Rugeley terlanjur merasa yakin bahwa kehadiran Amazon di perbatasan akan memberikan prospek cerah untuk bangkit dari masa-masa ekonomi suram yang menyelimuti kota tersebut. Namun, seperti yang “disampaikan” oleh foto-foto karya Rugeley, masa depan Amazon mungkin cerah… tapi sayangnya, harapan tersebut muncul tanpa jiwa.

“Luas, tapi bersifat satu dimensi. Itulah deskripsi yang saya pikir tepat untuk fulfillment center di Rugeley,” kata Roberts kepada Co.Design. “Sangat mengejutkan melihat betapa sunyinya pusat logistik tersebut.”

Pekerja di Rugeley menghabiskan hari-hari mereka menjelajahi gudang yang sangat besar tersebut, tenggelam dalam kesibukan mengatur barang-barang yang baru datang, mengambil barang-barang pesanan dan mengeluarkannya dari rak, atau membungkus barang pesanan untuk dikirimkan. Dalam setiap aktifitas tersebut, pergerakan pekerja tidak didorong oleh “mesin kendali” berupa supervisor, manager, atau staf ahli, tapi oleh mesin raksasa kompleks milik Amazon yang menciptakan mekanisme fulfillment di perusahaan tersebut: sebuah komputer yang mampu melacak dan memberi perintah kepada karyawan serta memberikan arahan untuk setiap langkah yang mereka lakukan sepanjang hari.

Para karyawan di pusat logistik Amazon harus berjalan setidaknya sejauh 15 mil dalam sekali shift, menjelajahi lorong-lorong dan rak-rak di gudang yang besarnya seukuran lapangan sepak bola. Mereka melakukannya dalam diam, benar-benar tanpa suara, kecuali suara langkah-langkah kaki mereka menapaki lantai dingin. Atmosfir di tempat tersebut sangat sunyi, dan karyawan bisa dipecat jika mereka saling bicara satu sama lain. Sementara itu, sebuah papan karton berbentuk karyawan Amazon yang nampak senang, dengan gelembung-gelembung dialog warna-warni yang bertuliskan “This is the best job I ever had!”.

“Karyawan di Rugeley benar-benar telah disulap menjadi manusia setengah robot (android) yang sangat efektif,” ungkap Roberts. “Dan satu-satunya alasan mengapa Amazon tidak menukar mereka dengan robot sungguhan adalah, Amazon belum menemukan robot yang mampu menangani paket-paket dengan ukuran yang sangat beragam.

Baca juga  KAI Berkomitmen untuk Capai Zero Net Emission

Inilah salah satu bentuk metafora yang kuat, yang memperjelas cara Amazon melakukan mekanisasi bahkan terhadap elemen manusia di kerajaan ritelnya. Dengan kameranya, Robert menangkap momen-momen yang sangat jauh berbeda dengan apa yang biasanya ia abadikan, yang umumnya lebih fokus kepada kedekatan dan imediasi dari hubungan manusia dengan lingkungan kerjanya. Tidak terlihat kedekatan semacam itu di Amazon Unpacked. Sebaliknya, foto-fotonya menampilkan lansekap industrial raksasa yang ditangkap oleh Edward Burtynsky, perbandingan yang Roberts sebut sebagai “hampir tak terhindarkan” karena gersangnya sisi manusia yang muncul di fasilitas tersebut.

Masalah yang ada di Rugeley bukanlan bahwa karyawan tidak mensyukuri pekerjaan yang diberikan Amazon, atau bahwa mereka menganggap pekerjaan tersebut tidak menyenangkan. Sebagian besar karyawan Rugeley berasal dari keluarga pekerja tambang, yang bukan tipe pesolek atau menginginkan kehidupan yang fancy. Tidak masalah jika pekerjaan tersebut sulit dilakukan. Masalahnya, pekerjaan tersebut tidak memiliki masa depan.

“Pertambangan sangat jauh berbeda dengan dunia utopis produk imajinasi tinggi. Setiap tambang yang ada di dunia merupakan tempat yang keras, kotor, berbahaya dan mengandung pekerjaan beresiko tinggi,” kata Roberts. “Namun dunia pertambangan memberi pekerjaan yang menawarkan harapan masa depan bagi karyawannya. Jika anda bekerja di tambang pada usia 18, maka anda bisa jadi sudah memimpin sebuah tim penambang pada usia 35.”

Jenjang karir adalah hal yang tidak akan terjadi di pusat logistik Amazon di Rugeley. Hampir semua pekerjaan yang tersedia hanya dijamin oleh kontrak temporer yang ditangani oleh agen-agen tenaga kerja lepas. Tak ada garansi, dan pekerjaan seorang karyawan di gudang Amazon bisa hilang hanya dalam sehari saja. Karena itulah, perekonomian lokal tidak berkembang seperti harapan warga Rugeley. Amazon tidak berinvestasi pada penduduk kota tersebut, tapi memesinkan mereka.

Baca juga  KAI Berkomitmen untuk Capai Zero Net Emission

Bagi Roberts, ini bukan tentang bagaimana anda memesan sesuatu dari Amazon untuk langsung diantarkan ke rumah. Ini adalah tentang sebuah pusat logistik seperti Rugeley merepresentasikan biaya tak kasat mata yang terkubur dalam setiap produk dari Amazon yang berharga murah.

“Jika anda membeli sesuatu dari retailer independen, anda bisa membayar lebih daripada jika membeli dari Amazon, namun kelebihan harga itu bisa jadi investasi,” kata Roberts. “Ketika anda membayar, anda berinvestasi untuk kualitas, bukan hanya kualitas hidup anda tapi juga komunitas di sekitar anda.”

Bisa membayangkan dunia tanpa investasi semacam itu? Bayangkan dunia tanpa toko-toko. Bayangkan dunia dipenuhi tembok-tembok polos yang memagari pusat logistik semacam Rugeley, yang berkembang secepat Amazon sendiri, hingga batas cakrawala, selamanya. Mungkin suatu hari, para pembeli seperti anda-pun akan berubah menjadi robot-robot yang berkeliaran diantara rak-rak.***

Adaptasi dari artikel oleh John Brownlee (http://www.fastcodesign.com/). Semua foto adalah hak cipta Ben Roberts.