Oleh Rifki Rizal Derrian, CEO SSCX International

Terlahir di dunia continuous improvement, saya bersyukur bisa bertemu best practice dari banyak bidang seperti Total Quality Management, Lean Management, Lean Six Sigma, Total Productive Maintenance, Business Process Re-engineering, dsb. Dan sebagai praktisi CI, pastinya kita sudah tak lagi asing dengan yang namanya siklus PDCA (Plan, Do, Check, Act).

Berbagai perusahaan, terutama di manufaktur menggunakan PDCA sebagai metodologi dalam problem solving untuk melakukan improvement di lantai produksi hanya saja penamaannya tak selalu sama, ada yang menyebutnya sebagai Delta (delapan langkah tujuh alat yaitu tools dalam PDCA) atau inisiatif Kaizen (yang sering diidentikan dengan Langkah PDCA). 

Saya juga sangat beruntung memiliki teman-teman yang berkecimpung di dunia Governance, Risk and Control dengan berbagai bidang aplikasinya seperti di quality menjadi quality management  kalau di risk menjadi risk management. Lanjut cerita, saya menemukan fakta menarik setelah mengikuti sharing-sharing yang mereka berikan, ternyata seluruh best practice tersebut framework-nya “SELALU BERDASARKAN PDCA”. Saya jadi berpikir …ini kan bukan ranah improvement, ini ranah governance dan control kok PDCA juga bisa diaplikasikan ya? Hmmm….menarik banget nih….

Excellent people, kalau kita bedah PDCA merupakan sebuah pola pikir, struktur berpikir sistem yang memungkinkan terjadinya siklus GOVERNANCE dan IMPROVEMENT sekaligus, hebat gak tuh?

Yes! tata kelola tidak akan lengkap siklusnya jika tidak ada Plan (rencana), Do (eksekusi), Check (monitor), dan Act (Evaluasi). Ini siklus yang sudah lengkap, closed system, closed loop yang memungkinkan sistem di dalamnya terus berevolusi menjadi lebih baik dan terus lebih baik. Inilah yang kemudian membuktikan kalau PDCA secara filosofi bisa masuk di berbagai tingkatan di berbagai bidang. Untuk Anda yang bertanya-tanya, saya lanjut penjelasannya ya. 

Bidang governance banyak berbicara tentang tata kelola dimana keberadaannya di atas level manajemen atau disebutnya LEVEL STRATEGIS dan PDCA bisa diaplikasikan di level tersebut. Kalau di level strategis saja masyoook, bagaimana dengan level manajemen dan shopfloor? Jawabannya bisa dan sangat cocok. Implementasi PDCA dalam sistem manajemen dan kepemimpinan akan menjadikan manajemen kuat dalam melakukan eksekusi. Lalu di level shopfloor, jelas karena selama ini Kaizen juga menggunakan siklus PDCA untuk melakukan problem solving di level produksi. 

Baca juga  Prinsip Energi Bebas: Kunci Adaptasi dan Efisiensi di Gemba

Nah, nah, nah, kalau di level pribadi bagaimana? Hayukkk, coba refleksikan ke diri kita. Tentu kalau punya tujuan kita sudah membuat rencana dulu (Plan), lalu kita eksekusi (Do), nah saat eksekusi ada result yang bisa lihat sudah sesuai atau tidak dengan ekspektasi (Check). Jika tidak maka lakukan evaluasi segera dan bertindak untuk mengembalikan ke jalur semula (Act). Kalau mau diaplikasikan waktu memimpin anak buah bagaimana? Bisa dong! Anda punya Rencana (plan), lalu minta tim anda eksekusi (do), lalu anda monitor hasilnya (check) dan kalo ada penyimpangan bertindak untuk mengembalikan ke jalur semula (act). Mantap, kan? 

“Saya bisa pastikan kalau leadership seseorang berantakan, pasti ada bolong dalam siklus PDCA-nya.”

Rifki Rizal Derrian, CEO SSCX

Ada yang hobinya cenderung PD (Plan-Do), jadi banyak rencana dan eksekusi tapi tidak ada monitoring evaluasi sehingga berbagai inisiatif di perusahaan jadi menguap entah kemana. Atau ada juga yang modelnya D (Do), eksekusi-eksekusi-eksekusi namun tanpa perencanaan sehingga sporadis dan selalu menjadi pemadam kebakaran. Atau mungkin ada juga yang model memimpinnya CA CA CA hehehe.

Itulah kekuatan PDCA: sederhana, bisa diterapkan di berbagai level, bisa diterapkan di berbagai bidang, bisa diterapkan di proses, produk, pribadi, leadership, manajemen, tata kelola, bahkan strategi sekalipun. Luar biasa kan?