Brooklyn Bridge membentang sejauh 1825 meter, menjadi penghubung antara New York dengan Long Island. Jembatan ini merupakan jembatan gantung tertua di Amerika Serikat, dan yang terpanjang di dunia sejak tahun pembukaannya pada 1883 hingga 1903, membelah sungai besar East River.

Jembatan yang sering kita lihat dalam film (atau mungkin dengan mata kepala sendiri) ini sekilas nampak ‘biasa saja’. Namun ternyata, dibalik pembangunan jembatan yang menjadi landmark kota New York tersebut, tersimpan kisah mengenai determinasi dan persistensi yang luar biasa, yang dapat diperlihatkan oleh orang-orang yang berjuang untuk mewujudkan mimpinya.

Kisah ini merupakan sepotong pengalaman hidup insinyur John Roebling, sang perancang Brooklyn Bridge, pada tahun 1870.

John Roebling, seorang insinyur yang sangat kreatif dan berpengalaman dalam membangun berbagai jembatan gantung, terinspirasi oleh ide untuk membangun sebuah jembatan spektakuler yang akan menghubungkan kota New York dengan Long Island. Ia-pun segera membuat rancangannya. Sayangnya, para ahli pembangunan jembatan di seluruh dunia berpikir bahwa hal tersebut mustahil dan menyarankan Roebling untuk melupakan ide gilanya. Sama sekali tidak bisa dilakukan, kata mereka. Tidak praktikal. Belum pernah dilakukan sebelumnya!

Walau demikian, Roebling tidak bisa melupakan visinya. Ia memikirkannya sepanjang waktu dan jauh dalam lubuk hatinya, ia tahu bahwa jembatan tersebut dapat diwujudkan. Akhirnya ia memutuskan untuk membagi mimpinya dengan orang lain, yang tak lain dan tak bukan adalah anaknya sendiri, Washington Roebling. Ia dan Washington berdiskusi untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya sang insinyur muda yang tengah menyambut punjak karirnya itu tergerak untuk membantu sang ayah mewujudkan mimpinya.

Bekerjasama untuk pertama kalinya, ayah dan anak itu mengembangkan konsep untuk mewujudkan rancangan dan menyingkirkan hambatan pembangunan jembatan tersebut. Dengan inspirasi dan gairah membara, dan tantangan besar yang ada di hadapan mereka, keduanya mulai merekrut beberapa kru dan membentuk tim, lalu mulai membangun jembatan impian yang diragukan banyak orang tersebut.

Baca juga  Membangun Budaya Inovasi untuk Ciptakan Keunggulan Bisnis 

Mega-project tersebut awalnya berjalan mulus dalam beberapa bulan, sebelum terjadi kecelakaan tragis yang menyebabkan kematian John Roebling. Washington, yang menggantikan ayahnya memimpin proyek, juga mengalami gangguan yang disebut caisson disease, cedera yang sering menyerang para insinyur, yang kemudian menjadi penyebab kelumpuhannya. Tidak hanya lumpuh, Washington juga tidak mampu lagi berbicara.

Mereka yang meragukan visi pembangunan jembatan kembali bersuara; “kami sudah peringatkan mereka.” “Orang-orang gila dengan mimpi yang gila.” “Sangat bodoh untuk mengejar mimpi yang mustahil.” Dan berbagai komentar negatif lainnya.

Kini semua orang meragukan kemungkinan diteruskannya pembangunan jembatan tersebut, mengingat hanya ayah dan anak Roebling yang mengetahui teknik-teknik dan kunci pembangunannya.

Namun ternyata, Washington yang kini cacat tidak pernah sedetikpun membuang impian ayahnya, yang kini juga menjadi impian terbesarnya. Di benaknya masih membara hasrat untuk menuntaskan proyek yang ‘mustahil’ tersebut, dan pikirannya masih setajam sebelumnya. Ia mencoba berbagi pemikian dan menginspirasi beberapa rekan, namun mereka terlalu takut dengan besarnya resiko yang harus ditanggung.

Ketika hampir putus asa, Washington terbangun di kamar rumah sakit, dengan sinar matahari lembut menembus tirai jendela. Ketika dalam sepersekian detik angin yang berhembus ringan menyibakkan tirai, tampaklah olehnya pemandangan singkat pucuk pepohonan yang berlatarkan langit yang biru. Mendadak ia merasa telah menerima pesan bahwa saat ini bukanlah waktunya untuk menyerah. Ia belum kalah.

Mendadak sebuah ide muncul di kepala Washington. Karena saat itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah menggerakkan satu jarinya, ia memutuskan untuk menggunakan kemampuan tersebut semaksimal mungkin. Dengan menggerakkan jarinya, ia membuat kode-kode komunikasi untuk membantunya ‘berbicara’ kepada istrinya, Emily.

Ia menyentuh lengan istrinya dengan jarinya, menyampaikan pada wanita itu bahwa iya ingin mengumpulkan para insinyur lagi. Ia terus menggunakan metode tersebut, menyentuh lengan istrinya dengan jari, untuk berkomunikasi melaluinya dengan para insinyur. Mungkin nampak konyol, tapi nyatanya proyek tersebut bisa berjalan kembali. Emily bahkan menunjukkan dedikasi tinggi dalam membantu suaminya; ia mempelajari matematika tingkat tinggi, ilmu kekuatan material, spesifikasi jembatan, dan seluk-beluk konstruksi kabel.

Baca juga  Webinar Panduan Pembuatan Laporan Proyek Improvement

Selama 13 tahun Washington menyentuhkan jarinya di lengan Emily, hingga akhirnya jembatan tersebut rampung. Saat ini, Brooklyn Bridge yang spektakuler berdiri megah sebagai monumen yang melambangkan keteguhan hati, kemampuan memelihara impian, kemenangan, dan semangat gigih seseorang yang telah bertekad untuk tidak dikalahkan oleh keadaan. Jembatan tersebut juga berdiri sebagai monumen penghargaan bagi sekelompok insinyur yang dengan sepenuh hati percaya kepada orang yang dianggap gila oleh ‘separuh’ orang di dunia. Ia juga berdiri tegak melambangkan keteguhan hati dan kecintaan mendalam seorang istri terhadap suaminya, yang mengabdi selama 13 tahun, menjadi ‘perantara’ antara sang insinyur kepada timnya.

Mungkin jembatan ini adalah salah satu contoh fisik terbaik yang membuktikan kekuatan dari sikap “never-say-die”, yang menyingkirkan hambatan fisik dan non-fisik untuk mewujudkan impian yang nampak mustahil. Seringkali kita dihadapkan dengan hambatan-hambatan dalam keseharian, yang terkadang menyurutkan semangat dan menipiskan keyakinan kita. Ingatlah, Brooklyn Bridge akan menunjukkan pada kita bahwa impian yang nampak tidak mungkin terwujud sesungguhnya dapat diwujudkan dengan determinasi dan persistensi, tidak peduli apapun masalah yang merintangi!