Apa yang Anda butuhkan untuk mengembangkan bisnis? Produk berkualitas tinggi? Promosi yang baik? Harga yang masuk akal? Semua itu memang menjadi resep mutlak untuk kesuksesan sebuah bisnis. Namun, jika Anda telah memiliki semuanya dan masih merasa kalah bersaing dengan kompetitor, lalu dimana titik kelemahan Anda?

Mungkin jawabannya adalah sisi emosional pelanggan.

Sisi emosional pelanggan memiliki pengaruh yang hampir sama besar dengan sisi logis mereka, khususnya ketika pelanggan sedang berada dalam proses pengambilan keputusan untuk membeli atau memakai suatu barang atau jasa. Semakin pelanggan menyukai suatu merek, maka semakin besar kemungkinan mereka memilih merek tersebut. Hal ini sangat disadari oleh Apple.

Apple sangat menyadari pentingnya menyentuh emosi pelanggan, dan prinsip itulah yang dijadikan landasan di Apple Store. Mereka sangat memperhatikan detail, sehingga Anda akan mengira bahwa Apple menjual setiap notebooknya untuk alasan estetika. Ada benarnya, mungkin. Jika Anda mengunjungi salah satu Apple Store, akan terlihat display yang ditata sangat apik: produk berbaris rapi di atas meja display, dan kebersihan produk sangat dipentingkan. Jika Anda perhatikan, penataan produk di Apple Store cenderung agak miring, sesuai dengan sudut pandang pengunjung yang datang. Penataan ini dimaksudkan untuk mempermudah pelanggan melihat, menyentuh dan mencoba produk-produk tersebut.

Itulah alasan mengapa Apple Store selalu menyediakan produk Macbook dan iPad yang dipenuhi dengan aplikasi lengkap, dan tersambung internet. Mereka ingin pelanggan mencoba dan merasakan pengalaman menggunakan produk Apple, merasakan kekuatan dan performanya secara langsung. Pelanggan di Apple Store bisa menghabiskan waktu seharian di toko untuk mencoba produk dan menggunakan internet, dan tak ada seorangpun yang “mendorong” mereka untuk pergi. Apple Store tidak dirancang sebagai tempat pelanggan membeli produk Apple; mereka mendorong pelanggan untuk menyukai produk Apple. Dengan cara ini Apple berharap pelanggan akan “membangun” preferensi emosional terhadap merek dan produk Apple.

Baca juga  Pertama di Dunia! PHR Kelola Lapangan Minyak Minas dengan Teknologi Berbasis AI 

Tunjukkan Kepekaan Akan Kebutuhan Pelanggan

Semua orang akan senang jika kebutuhannya diperhatikan. Mereka akan memilih produk atau jasa berkualitas yang “lebih memahami kebutuhan mereka”. Sesederhana itu.

Oke, kita bisa saja mengklaim bahwa produk atau pelayanan yang kita tawarkan dirancang khusus untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan pelanggan. Tapi bagaimana jika pelanggan tidak menyadarinya? Bagaimana pelanggan tahu bahwa perusahaan peduli akan kepentingan mereka (dan bukan hanya uang mereka)? Temukanlah cara terbaik untuk menunjukkan kepada pelanggan bahwa Anda benar-benar peduli. Temukan apa yang pelanggan harapkan dari produk dan jasa (juga harga) yang Anda tawarkan. Belajarlah dari kompetitor, perusahaan lain, dan bahkan industri lain.

Pernah mencoba Pumpkin Spice Latte? Itu adalah salah satu signature drink dari Starbucks, untuk memeriahkan suasana musim gugur (yang di negara empat musim memang memiliki ciri khas hidangan labu dan bumbu-bumbu seperti kayu manis). Minuman tersebut begitu populer di kalangan pecinta kopi, namun sayangnya tidak semua orang bisa menikmatinya. Pasalnya, pelanggan tidak tahu pasti bahan baku apa yang terkandung dalam Pumpkin Spice Latte yang terkenal, dan bertanya pada barista-pun nampaknya tidak banyak membantu.

Sejauh rasanya enak, mengapa harus peduli? Well, pelanggan peduli. Pada kasus Starbucks, banyak pelanggan yang kecewa karena Pumpkin Spice Latte yang mereka sukai ternyata mengandung laktosa dari produk susu yang mereka gunakan untuk meramunya. Bahkan jika Starbucks mengganti susu dan whipped cream dengan bahan vegan seperti susu kedelai, produk tersebut akan tetap mengandung laktosa dari saus cokelat putih dan karamel. Produk ini jelas tidak dibuat untuk penggemar Starbucks yang sensitif terhadap laktosa, dan ini sangat disayangkan.

Pada kasus ini Starbucks cukup beruntung karena pelanggan mau menyuarakan kebutuhan mereka dan bahkan menandatangani petisi (yang telah berhasil mengumpulkan 9000 tanda tangan) untuk mendorong Starbucks menciptakan produk sesuai dengan kebutuhan mereka. Bagaimana jika pelanggan bungkam tapi langsung beralih pada kompetitor?

Baca juga  Data-driven Manufacturing untuk Transformasi Industri

Sama halnya dengan beberapa kasus restoran dengan pelayanan buruk dan restoran lokal yang tidak mengantongi label halal. Berapa banyak pelanggan yang kecewa karena produk favorit mereka ternyata tidak dirancang dengan memperhatikan kebutuhan mereka?

Satu lagi, sebaiknya kita lebih memperhatikan apakah karyawan kita memiliki pengetahuan yang baik mengenai produk dan pelayanan yang mereka jual. Ketidak-tahuan karyawan akan mengesalkan pelanggan, dan mengurangi value perusahaan di mata mereka. Perusahaan yang baik akan memastikan karyawan menguasai product knowledge dengan baik.

“Itulah kesempatan untuk memperingatkan barista kami,” kata representatif Starbucks Alisa Martinez, berkaitan dengan ketidak-tahuan barista akan kandungan susu dalam Pumpkin Spice Latte. Ia menambahkan, Starbucks telah melatih para barista untuk menjadi sensitif akan alergi pelanggan terhadap bahan baku tertentu. Perusahaan tersebut akan memberikan nota mengenai kandungan susu kepada setiap barista di cafe-cafe Starbucks di Amerika Serikat.***