Industri hospitality atau pariwisata tengah menghadapi tantangan yang lebih berat daripada industri-industri lainnya di dunia. Pada masa-masa pemulihan dari krisis global dan pemulihan ekonomi, orang-orang cenderung mengurangi frekuensi liburan mereka dibandingkan dengan biasanya. Padahal, perusahaan dan operator resort seperti MGM dan Cesars Entertainment telah menggelontorkan dana besar untuk perluasan resort untuk memuaskan pasar utama seperti Las Vegas, misalnya.
Fluktuasi Ekonomi, Apakah Mempengaruhi Pariwisata?
Laporan keuangan tahunan MGM Resort (dari 2001 hingga 2011) menyatakan bahwa perusahaan tersebut telah mengalami kondisi hutang jangka panjang yang berlipat ganda, mulai dari 6 juta dolar Amerika pada 2001, hingga mencapai lebih dari 12 juta dolar Amerika pada 2011, sementara revenue hanya tumbuh sebesar 50% pada periode tersebut. Badai ekonomi telah menciptakan ketidak-pastian yang meresahkan dalam tubuh perusahaan-perusahaan yang hidup dari aktifitas pariwisata: pilihan yang akan menentukan kelangsungan eksistensi perusahaan atau kejatuhannya.
Perusahaan-perusahaan di industri pariwisata, besar maupun kecil, berusaha menyelamatkan diri dengan mencari cara untuk menekan biaya, sementara mencari strategi yang pas untuk membuat mereka berjalan seefisien mungkin dan tetap “mengapung” di perairan ekonomi yang tengah berada dalam masa sulit. Pemangkasan biaya tenaga kerja telah menjadi topik yang populer diantara perusahaan-perusahaan ini selama masa sulit. Hal ini tentu saja menciptakan sebuah “jebakan” yang licin dan dapat menjerumuskan perusahaan-perusahaan tersebut masuk kedalam situasi yang memaksa mereka berkompromi dengan standar-standar pelayanannya. Kualitas pelayanan menurun, mengingat fakta bahwa pelanggan semakin sedikit dan mereka juga hanya memberikan sedikit pemasukan dibandingkan biasanya.
Pada kuartal ketiga 2011, para pelanggan dan calon pelanggan masih berkutat dengan income yang lebih sedikit, sehingga mereka membelanjakan uang lebih sedikit untuk kegiatan wisata, walaupun pada masa ini telah nampak tanda-tanda bahwa ekonomi sedang berangsur pulih (forbes.com, 2011). Namun, di beberapa area seperti Las Vegas, dimana pelanggan berhadapan dengan sangat banyak pilihan, mereka tidak akan bisa mentolerir pelayanan yang buruk seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Sebuah Jalan Keluar Menuju Efisiensi (dan Kemakmuran)
Walaupun kondisi ekonomi sedang tak menentu, perusahaan di sektor pariwisata tetap dapat melakukan penghematan biaya dan terus mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas pelayanan mereka. Ada sebuah cara yang terbukti efektif untuk melakukannya, yaitu dengan cara mengadopsi prinsip-prinsip Lean Six Sigma.
Seperti yang telah kita ketahui, Lean dan Six Sigma adalah penolong bagi perusahaan seperti General Electric atau Lockheed Martin, untuk melakukan turnaround. Beberapa perusahaan yang dinilai sukses dalam kancah bisnis dunia, seperti Amazon dan Berkshire Hathaway, telah memproklamirkan diri mereka sebagai perusahaan yang “Lean”. Namun sayangnya, mengingat besarnya potensi yang ditawarkan, hanya sedikit perusahaan pariwisata yang telah melirik konsep Lean atau Six Sigma.
Lean dan Six Sigma berakar dari industri manufaktur. Karena itulah, kedua konsep tersebut memiliki prinsip-prinsip manufaktur yang tidak bisa diimplementasikan di industri jasa. Tantangan dan kreatifitas dalam implementasi Lean Six Sigma di industri pariwisata akan dibahas dalam contoh-contoh kasus dan pembahasan best practice di halaman-halaman berikutnya.
Shift kali ini akan membahas mengapa dan bagaimana Lean dan Six Sigma sukses menyelamatkan bahkan memakmurkan perusahaan-perusahaan di industri hospitality. Raksasa pariwisata seperti Starwood Hotels dan Caesars Entertainment telah mengimplementasikan Lean Six Sigma dan telah menikmati hasilnya. Namun perusahaan dengan skala yang lebih kecil-pun sesungguhnya dapat ikut merasakan manfaatnya.
Bagaimana Lean Six Sigma Berperan di Industri Hospitality?
Dimana ada proses, disitulah Lean Six Sigma dapat diterapkan. Tak terkecuali proses-proses yang ada pada aktifitas operasional di restoran atau hotel, semua dapat merasakan manfaatnya. Salah satu contohnya adalah penerapan Lean Manufacturing (Toyota Production System/TPS) di sebuah fasilitas restoran non-profit di New York, pada tahun 2011 lalu.
Tim dari organisasi non-profit The Toyota Production System Support Center, Inc. (TSSC) bekerjasama dengan Community Kitchen & Food Pantry di West Harlem, NYC, untuk membantu mereka memberikan pelayanan yang lebih cepat dan lebih baik kepada pelanggan. Restoran tersebut merupakan bagian dari Food Bank for New York City yang memberikan santunan berupa makanan gratis kepada warga New York yang membutuhkan.
Dapur restoran tersebut menyajikan lebih dari 50.000 makanan gratis setiap bulannya kepada komunitas di West Harlem. Dengan kewajiban sebesar itu, restoran sering kali memiliki masalah dengan lamanya waktu tunggu yang harus dialami oleh pelanggannya, kadang mencapai 75 menit setiap harinya. TSSC bekerjasama dengan pihak restoran menjalankan proyek yang menggunakan metode TPS, untuk memperbaiki proses persiapan makanan dan proses penghidangannya. Sebagai hasilnya, kini restoran mampu mengurangi waktu tunggu dari 75 menit menjadi hanya 18 menit, dan komunitas di West Harlem dapat memperoleh makanan yang mereka butuhkan dengan lebih cepat.
“Dukungan finansial yang kami dapatkan dari para donatur memungkinkan kami untuk terus memberikan layanan kepada pelanggan,” kata Daryl Foriest, Direktur Meal Services di the Kitchen & Food Pantry of West Harlem. “Tapi TPS memberikan kami kemampuan lebih untuk melayani pelanggan dengan lebih baik. Dengan metode tersebut, kami mampu mengurangi waktu tunggu pelanggan sementara kami mempersiapkan dan memasak makanan, menciptakan menu custom untuk menghilangkan opsi-opsi makanan yang tidak dibutuhkan pelanggan. Dengan waktu pelayanan yang jauh lebih cepat, kami tidak perlu lagi mengerahkan sumber daya untuk mengatur antrian yang panjang. Sistem ini sangat bagus untuk diterapkan di semua dapur di New York City!”***