Mengingat kembali konsep awal dan tujuan Lean Six Sigma sebagai sebuah metode perbaikan proses dan kualitas.
Di dunia manufaktur, produk yang mendekati sempurna adalah sebuah tantangan nyata yang harus dihadapi setiap perusahaan. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Perbaikan dari waktu ke waktu serta penerapan standar yang lebih tinggi terus dilakukan oleh berbagai industri manufaktur untuk mencapai kesempurnaan produk dan jasa yang tanpa cacat (zero defect). Untuk mencapai kesempurnaan produk ini, manufaktur besar seperti Toyota telah mengembangkan dan memodifikasi konsep lean manufacturing untuk mengeliminasi pemborosan dalam proses produksinya. Demikian juga Motorola, yang pertama kali mengembangkan proses-proses untuk meningkatkan kualitas produk dan mengeliminasi cacat atau yang dikenal dengan Six Sigma.
Lalu, mungkinkah kedua konsep ini dapat dikolaborasikan menjadi satu kesatuan yang matang sebagai sebuah metode perbaikan yang dilakukan secara konsisten?
Mari kita kembali mengulas secara singkat mengenai dua konsep Continuous Improvement ini :
Penerapan Konsep Lean Pertama Kali oleh Ford Motor Company
Pada tahun 1910, muncul sebuah konsep dan pelaksanaan yang cukup popular dalam dunia otomotif yang di terapkan pertama kali oleh Henry Ford, pendiri Ford Motor Company. Konsep tersebut merujuk pada pendekatan assembly line, di mana alat-alat untuk pembuatan model untuk mobil-mobil ford telah digunakan secara “continuous flow”.
Dalam penerapannya, konsep ini memang telah berhasil mengurangi biaya produksi pembuatan mobil-mobil ford. Namun, ternyata ditemukan ada beberapa kelemahan dari konsep yang diperkenalkan pertama kali oleh Henry Ford ini. Kelamahan utamanya yaitu bahwa Ford sangat bergantung pada mesin, yang mana mesin tersebut berjalan terus tanpa henti tanpa memikirkan hasil produksi. Akibatnya, Ford terpaksa harus menyimpan banyak stok mobil yang sudah jadi (finished goods) maupun dalam bentuk ‘work in progress’. Hal ini tentu saja menyebabkan pemborosan bagi ford.
Satu lagi kelemahan sistem tersebut adalah kelemahan dalam hal pengelolaan sumber daya manusianya yang menyebabkan kurangnya motivasi tenaga pekerja dalam organisasi tersebut.
Pembaruan Konsep Lean oleh Toyota
Seabad berselang sejak Henry Ford merumuskan metode produksi pada assembly line untuk industri manufaktur mobil ford, produsen asal Jepang pun ikut serta melakukan evolusi dan pembaruan dari konsep tersebut. Di Jepang, mereka mengkaji sistem tersebut dengan lebih teliti, menemukan penyebab timbulnya kelemahan-kelemahan yang ada pada sistem ford sehingga mereka menemukan sebuah cara penyelesaian dari sistem yang digunakan ford tersebut.
Atau dalam kata lain, konsep Lean ini telah ‘dilahirkan’ kembali di Jepang. Untuk pertama kalinya, pada tahun 1940, konsep Lean ini ikut diterapkan dalam Toyota Production System (TPS). Adalah Taiichi Ohno yang dibantu oleh Dr Sheigo, orang yang membangun kembali sistem TPS ini lebih dari 3 dekade yang lalu.
Dan akhirnya konsep revolusioner ini dikenal dengan nama Lean Manufacturing, yang berfungsi sebagai sebuah tool manajemen untuk mengurangi pemborosan alias waste dalam proses produksi dan memberikan nilai tambah (value) yang berarti bagi pelanggan, sehingga meningkatkan nilai produk di mata pelanggan.
Kesuksesan Penerapan Lean pada Toyota dan Berbagai Industri Manufaktur Lainnya
Digagas ulang oleh Toyota di beberapa dekade terakhir ini, konsep ini terfokus kepada perhimpunan seluruh pihak yang terlibat dalam proses kedalam satu konsep dan lingkup kerja yang sama. Pihak-pihak yang ada bisa jadi memiliki tanggung jawab berbeda (desainer, supplier, sales dan marketing), namun semuanya bekerja untuk membawa produk final sedekat mungkin kepada titik penjualan. Ini disebut dengan konsep “Just-in-Time”.
Seperti yang dikatakan oleh Jefferey Liker, seorang professor di bidang teknik industri dan operasional di Universitas Michigan, sistem Lean yang diterapkan dalam TPS merupakan sebuah sistem yang sangat holistik mengenai manusia, peralatan dan juga proses sehingga hasilnya adalah bisnis yang lebih kompetitif dengan secara terus menerus mengurangi harga produk, memberikan pelayanan dan produk terbaik untuk pelanggan dengan harga terjangkau, dan mengembangkan kinerja karyawan, jadi mereka dapat terus melakukan perbaikan pada sistem (Continuous Improvement).
Dari hasil sukses yang dituai oleh Toyota, maka mulai banyak juga industri manufaktur yang menerapkan konsep lean ini dalam sistem manufaktur mereka. Salah satunya General Electric (GE) yang ternyata juga mengadopsi dan mengadaptasi konsep lean. Mereka mengklaim bahwa perusahaan telah mampu memangkas waktu kerja karyawan hingga empat jam, dan jumlah itu setara dengan penghematan sebanyak $60 untuk setiap kulkas yang diproduksi perusahaan tersebut. Atau Herman Miller, sebuah perusahaan pembuat furnitur di Zeeland, Michigan, yang melaporkan bahwa produktifitas pabriknya meningkat sebanyak empat kali lipat dengan menerapkan metode Toyota kedalam sistem mereka.***RR/RW