Toyota Group telah berkembang menjadi salah satu korporasi konglomerat multinasional sejak organisasi tersebut berkembang dan melebarkan sayap di pasar dunia. Toyota menggantikan posisi General Motors (GM) menduduki posisi perusahaan produsen kendaraan bermotor terbesar di dunia pada tahun 2008. Mereka juga memegang titel perusahaan produsen mobil dengan pendapatan terbesar seiring dengan perkembangan angka penjualan yang terus meningkat di AS dan seluruh dunia. Kali ini pembaca diajak untuk mengamati faktor-faktor sukses yang menjadi ciri khas Toyota.

Penghargaan Tinggi untuk Kreativitas

“Belajarlah seakan Anda akan hidup selamanya, itulah filosofi yang diinginkan perusahaan sekaliber Toyota untuk seluruh karyawannya”. Toyota menjalankan bisnisnya dengan konsentrasi penuh mengejar yang terbaik; bagi mereka hari ini harus lebih baik dari kemarin. Karena itulah knowledge management merupakan faktor penting di Toyota. Dominasi pasar hanyalah sebagian dari seluruh perjalanan panjang. Lebih dari itu, Toyota telah membuktikan kepada dunia bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menulis ulang aturan-aturan dalam industri dan bisnis.

Taiichi Ohno, mantan executive vice president di Toyota Corporation, seorang tokoh kunci yang merumuskan Toyota Production System (Lean Manufacturing), mengatakan bahwa: “Ada yang salah kalau karyawan tidak memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya, menemukan hal-hal yang monoton atau membosankan, kemudian menulis ulang prosedur yang ada. Manual bulan lalu pun seharusnya sudah usang”.  Karena itulah seluruh manajemen dan eksekutif di Toyota menyadari bahwa elemen penting yang harus diperhatikan demi menjaga utuhnya budaya yang telah berlangsung bertahun-tahun di Toyota adalah mendorong karyawan mencari cara-cara baru yang berbeda dalam berkontribusi.

Toyota mendidik karyawannya agar mereka menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging); tujuannya adalah karyawan merasa bahwa mereka sedang menjalankan perusahaan milik sendiri dan karena itulah akan melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati dan terus berimprovisasi. Dengan demikian, karyawan didorong untuk memahami bahwa produksi adalah sebuah sistem alih-alih serangkaian urutan kejadian yang terpisah, serta menggambarkan standardisasi sebagai gerakan spiral yang terus bergerak ke atas. Dengan knowledge management ability dan sense of belonging yang tinggi makan efisiensi dan efektifitas produksi tertinggi akan tercapai. Inti filosofi Toyota adalah singkirkanlah proses dan aktivitas tanpa nilai tambah.

 “Jika karyawan hanya melakukan apa yang diperintahkan, Anda akan terus menemukan cacat di akhir proses produksi,” Mitsuo Kinoshita, mantan executive vice president Toyota. “Kami ingin karyawan punya inisiatif dan berpikir kreatif dan mengedepankan kualitas selama proses produksi berlangsung”.

“Jajaran manajemen dan eksekutif di Toyota menaruh minat khusus pada pengembangan sumber daya manusia. Mereka yakin bahwa hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab, bahkan takdir mereka sebagai perusahaan yang berambisi untuk selalu berimprovisasi”. Individu dengan pola pikir pemberontak dan mudah puas tidak punya tempat di Toyota; dimana setiap aspek bisnis yang paling baik sekalipun masih bisa diperbaiki dan dikembangkan. Mereka menganggap pikiran yang mengatakan bahwa suatu proses atau fungsi yang tidak dapat diperbaiki lagi (karena sudah cukup baik) sebagai suatu bentuk pengkhianatan kepada perusahaan. Sisi ekstrem yang dimiliki Toyota inilah yang menempatkan mereka di posisi terdepan dalam kancah bisnis dunia.

Prinsip Rendah Hati dan Saling Menghormati

Kebangkitan Toyota diwarnai stabilitas, pertumbuhan, dan evolusi yang terus berlanjut di atas dasar struktur manajemen yang memberdayakan karyawan, menempatkan manajer dan pemimpin sebagai fasilitator dan pelatih, bukan diktator. Mereka menjunjung tinggi prinsip persamaan derajat. Dalam berbagai rapat yang melibatkan manajemen dan karyawan, pertanyaan dilontarkan secara profesional namun tetap rendah hati sesuai dengan filosofi Toyota. Dalam beropini atau bertanya, karyawan diharapkan untuk menghindari dugaan atau gosip yang tidak berdasar serta harus memberikan fakta untuk melakukan lebih banyak riset.

Jika terjadi masalah, karyawan harus mengkomunikasikannya kepada para superior sambil mencari peluang dan solusi untuk menyelesaikannya. Dalam setiap pembahasan, perlu dilakukan penekanan terus-menerus untuk kembali ke sumber permasalahan dan memaksa manajer atau eksekutif turun untuk mencari fakta dan membantu menemukan solusi. Ramuan ajaib Toyota tidak hanya mengenai pendapatan dan turnover per-kuartal, tapi juga tentang mengembangkan karyawan dalam aktivitas sehari-hari mereka. Bagi perusahaan, sistem penanganan karyawan baru sama pentingnya dengan sistem perakitan komponen di pabrik-pabrik Toyota. Rahasia suksesnya terletak kepada cara mereka menjalankan bisnis yang berdasar kepada rasa hormat kepada karyawan.

Walaupun mendapat bayaran tinggi, para eksekutif Toyota tidak digaji setinggi atlet profesional, apalagi gaji eksekutif di perusahaan kompetitor. Sesuai dengan prinsip ketika peusahaan tersebut baru berdiri: kerendahan hati, berhemat, dan rasa hormat. Mereka menghindari manajer dan karyawan yang hanya berambisi mengejar bayaran tinggi dan profit jangka pendek, yang hanya fokus kepada keuntungan pribadi, karena orang-orang seperti itu hanya akan menghambat perusahaan untuk berkembang. “Toyota menghindari elitisme dan kepemimpinan yang otoriter; kami menawarkan pengajaran langsung dalam lingkungan yang demokratis,” kata Tatusro Toyoda. Dengan ini, Toyota menerapkan budaya yang tidak mementingkan jajaran manajemen semata, namun juga seluruh karyawan. Itulah yang membedakan Toyota dengan perusahaan lain: mereka memperlakukan orang lain dengan penuh hormat dan menghargai setiap usaha yang diberikan untuk melestarikan budaya tersebut.

Prinsip Anti Boros

“Toyota amat mementingkan efisiensi dan melakukan perencanaan bisnis yang matang demi mencapainya. Motto mereka adalah ‘tidak kurang dan tidak lebih’. Produk, misalnya mobil, hanya dibuat berdasarkan permintaan saja”. Seluruh hal yang menyangkut produksi secara otomatis juga mengikuti prinsip ini. Suplai komponen dilakukan jika ada rencana produksi barang saja, dan produksi barang dilakukan jika ada demand dari pasar. Hal ini bertujuan meminimalisir pemborosan atau waste (muda) dalam sistem produksi Toyota.

Prinsip zero waste juga selalu diusung dalam setiap detil kegiatan di perusahaan. Jika mereka bisa menghemat 1 detik pada lead time, atau mungkin satu langkah kaki karyawan dalam proses produksi, mereka akan benar-benar melakukannya. Cara berpikir efisien ini tidak hanya berlaku di pabrik; bahkan hingga ke kafetarianya, dimana semua sampah harus didaur ulang. Hal ini terbukti berlangsung secara konstan, karena Toyota juga dikenal sebagai salah satu perusahaan yang nyaris tidak pernah mengeluarkan limbah di pembuangan akhir.

Sebagai perusahaan, Toyota bukan tidak pernah berbuat salah. Dalam setiap proses pasti ada saja hal-hal yang luput dari kesempurnaan. Namun bedanya, di Toyota, percikan-percikan yang berpotensi menimbulkan masalah harus ditangani sedini mungkin, agar tidak sempat membesar menjadi problema. Dalam pemenuhan prinsip ‘hari ini lebih baik dari hari kemarin’ Toyota menekankan kepada seluruh aspek bisnisnya untuk mendahulukan penanganan masalah. Jika masalah sudah tertangani dengan baik, proses akan dapat kembali stabil.

Pemasaran yang Berbasis Kepada Kepuasan Pelanggan

Dalam memasarkan produk, Toyota bukan tipe perusahaan yang berambisi mengejar penjualan tertinggi. Tidak seperti beberapa perusahaan manufaktur mobil lainnya yang mendefinisikan sukses sebagai pencapaian angka penjualan tinggi__yang berbuntut kepada diskon besar-besaran__Toyota selalu berusaha menjaga eksklusifitas produknya di mata publik dengan cara mempertahankan harga. Fokus Toyota lebih kepada kepuasan pelanggan. Harapannya pelanggan akan rela membayar harga yang reasonable untuk produk yang berkelas dan berkualitas prima.

“Tujuan kami bukanlah menjual mobil sebanyak-banyaknya,” ungkap Jim Press, COO dari Toyota Motor Corporation.“Yang paling penting adalah memberi kualitas kepada pelanggan. Kalau kami melakukan pekerjaan dengan baik, penjualan akan meningkat, tetapi tujuan kami bukanlah penjualan dan keuntungan yang lebih besar. Kami bekerja untuk pelanggan. Kami berusaha memberi mereka ketenangan hati. Menang berarti mendengar dan menanggapi konsumen, bukan hanya mengatakan kepada mereka apa yang mereka butuhkan atau harus inginkan.”

Demi memuaskan konsumennya, Toyota rela menempuh jarak ekstra dan memberi lebih dari yang diharapkan pelanggan. Hal ini mereka lakukan dengan tetap memegang prinsip rendah hati; tanpa iklan besar-besaran dan janji-janji muluk. Mereka berpendapat, dengan sendirinya konsumen akan merasakan kualitas produk mereka dan kelebihan tersebut akan menyebar dari mulut ke mulut. Inilah sisi cerdiknya; ‘pemasaran’ yang dilakukan dari mulut ke mulut oleh pelanggan terbukti jauh lebih efektif dibandingkan pemasaran oleh perusahaan lewat cara konvensional.

Belajar dari Kesalahan

Namun Toyota bukanlah perusahaan tanpa cacat. Seperti diketahui, pada tahun 2010 lalu Toyota terkena kasus cacat produksi, dimana terjadi kesalahan yang terjadi pada sistem rem dan pedal gas pada mobil Toyota yang menyebabkan banyak kecelakaan dan cedera dialami oleh pengguna mobil. Awalnya Toyota menyangkal, namun akhirnya mereka mutuskan untuk melakukan recall terhadap lebih dari 8 juta unit mobil yang telah terjual, dan menunda penjualan delapan model mobilnya di AS, termasuk yang terlaris yaitu Camry.

Karena kesalahan tersebut tentu saja pangsa pasar mobil di AS segera berubah. Semula Toyota berada pada posisi kedua setelah GM, maka kini diprediksi Toyota akan turun ke posisi ketiga dengan GM tetap pada posisi tertinggi dengan penguasaan pangsa pasar sebesar 18,1%, Ford naik ke posisi kedua dengan pangsa pasar sebesar 16,6%, sedangkan Toyota menduduki posisi ketiga dengan 16,5%.

Sementara Toyota sedang terbelit masalah, pesaingnya yaitu GM yang merupakan produsen mobil terbesar di AS melakukan manuver ekstrim untuk menerkam pelanggan Toyota. GM menawarkan potongan harga sebesar US$1000 bagi pemilik mobil Toyota jika mereka ingin beralih kepada mobil produksi GM. Namun Toyota tidak mau tinggal diam begitu saja. Walaupun mengalami kerugian sebesar 2 milyar dolar AS dan denda sebanyak 16,4 juta dolar AS, Toyota segera melakukan identifikasi masalah yang ditemukan pada pedal gas dan rem.

Ketika akar masalah telah ditemukan, Toyota segera menjalankan gerakan kampanye global demi mempertahankan citra perusahaan. Ketika akhirnya dinyatakan bersalah, pihak Toyota meminta maaf kepada pelanggannya di AS, dimana presiden Toyota, Akio Toyoda sendiri yang menyampaikan rasa sesal; bahkan ia sampai menangis saat itu. Setelah itu Toyoda langsung membentuk panitia khusus yang bertugas untuk meninjau ulang dan memperbaiki sistem internal mereka, sambil menjalankan pengendalian mutu dengan ketat. Proyek ini dipimpin oleh Toyoda sendiri.

Para pengamat memperhatikan bahwa Toyota kini menjadi lebih agresif dalam menangkap kemungkinan cacat demi pelanggannya, walaupun mengakui bahwa kasus tersebut telah merusak branding-nya sebagai produsen mobil berkualitas. Sejak kasus tersebut, Toyota menunjuk pejabat khusus yang menangani kontrol kualitas di setiap tingkat regional, dan mereka telah menjalankan langkah-langkah baru untuk merespon lebih cepat terhadap laporan masalah pada kendaraan. Dengan ini, pengamat memandang bahwa Toyota sedang melakukan hansei (critical self reflection), dan sisi positifnya yaitu perusahaan tersebut bersedia melakukan pembelajaran tanpa akhir, sesuai dengan filosofi yang mereka usung.

Sumber: HowToyotaBecame #1: Menguak Rahasia Kesuksesan Perusahaan Mobil Terbesar Dunia (buku oleh David Magee)

www.mediaindonesia.com

www.matanews.com

www.rumahkecilkita.blogdetik.com