Pada artikel sebelumnya kita telah membahas tentang perbedaan antara Lean Startup dengan Lean Enterprise dari segi perusahaan, kali ini kita akan melihat dengan lebih jelas perbedaan tantangan dan indikator dari keduanya.
Tantangan
Mari kita ikuti perjalanan salah satu startup tersukses di Indonesia, yakni Go-Jek. Pada awalnya, Go-Jek yang didirikan pada 2010 menawarkan jasa antar orang dan barang dengan armada motor atau yang biasa dikenal di Indonesia dengan sebutan ‘ojek’.
Ojek adalah jasa yang sudah ada di pasar dan diterima baik oleh masyarakat. Namun, jasa ojek dengan call center untuk pemesanan dari manapun dan kapanpun, seperti yang ditawarkan Go-Jek, belum pernah ada sebelumnya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Go-Jek harus menjawab tiga pertanyaan mendasar, yakni apa produknya, siapa konsumennya dan bagaimana bisnis modelnya. Dalam hal ini, produknya adalah jasa ojek, konsumennya penumpang, pengirim barang dan pengemudi ojek, sementara bisnis modelnya adalah dari komisi. Namun, semuanya masih sebatas asumsi.
Founder Go-Jek Nadiem Makarim bisa saja langsung menjual asumsi ini sebagai ide kepada investor dan berhasil mendapatkan pendanaan, yang mungkin akan langsung dihabiskan untuk iklan, membangun kantor megah dan merekrut karyawan besar-besaran.
Namun, bagaimana jika asumsi Nadiem salah? Bagaimana jika ternyata tidak ada yang menelpon call center Go-Jek? Bagaimana jika pengemudi ojek tidak tertarik bergabung? Tugas utama Go-Jek adalah memvalidasi asumsi tersebut.
Bahkan, Go-Jek membutuhkan waktu hingga empat tahun untuk memvalidasinya. Nadiem menemukan bahwa selama ini, meskipun sangat dibutuhkan di tengah kemacetan Jakarta, penggunaan jasa ojek tidaklah efisien.
Nilai tambah (value add) yang ditawarkan Go-Jek dan diterima baik oleh konsumen ternyata adalah pemesanan jasa ojek yang lebih mudah dan harga yang kompetitif. Sementara bagi pengemudi ojek, Go-Jek membantu meningkatkan permintaan akan jasa mereka.
Setelah menyaksikan bagaimana masyarakat merespon baik ide bisnisnya, investor yang tertarik mulai berdatangan. Seiring dengan munculnya jaringan internet 4G dan trend aplikasi transportasi online di luar negeri, Go-Jek pun lebih percaya diri dan mulai fokus membesarkan bisnisnya.
Saat ini, Go-Jek telah menjelma dari startup menjadi enterprise dengan valuasi perusahan yang tergolong besar untuk Indonesia, yakni hingga 4 miliar dollar AS atau setara Rp 53,3 triliun. Kini, tantangan yang akan ditemui berbeda lagi karena pertanyaan yang harus dijawab berbeda pula.
Di tahap ini, perusahaan harus menjawab apakah bisnis mereka sudah efisien. Apakah biaya marketing, promo dan subsidi untuk pengemudi Go-Jek agar tarif selalu kompetitif adalah efisien? Untuk menjawabnya, perusahaan membutuhkan Lean Enterprise.
Indikator
Pada prinsipnya, lean yang memiliki arti ‘ramping’ adalah metodologi untuk membuat proses bisnis lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, lean menetapkan indikator untuk menentukan proses bisnis mana yang efektif dan efisien dan mana yang tidak.
Lean Enterprise juga memiliki pertanyaan yang harus dijawab oleh praktisinya, yakni apakah sebuah proses bisnis atau aktivitas dapat berkontribusi terhadap penciptaan nilai tambah terhadap produk, yang karenanya konsumen bersedia membayar.
Kita perlu mengetahui apa saja nilai tambah yang penting dan konsumen bersedia membayarnya. Jika sebuah mobil tidak dilengkapi spion sebelah kanan, apakah konsumen bersedia membelinya?
Jadi Anda harus pastikan semua proses bisnis yang diperlukan untuk membuat sepasang spion yang lengkap ada karena jika tidak konsumen tidak akan membeli mobil buatan Anda, meskipun fitur lain, seperti ban, jok dan AC, lengkap.
Lalu bayangkan dua buah mobil dengan merek dan spesifikasi yang sama sedang ditawarkan oleh seorang marketing. Harga mobil A sebesar Rp300 juta sementara mobil B dibandrol Rp350 juta.
Saat ditanya mengapa mobil B lebih mahal Rp50 juta, sang marketing mengatakan team pembuat mobil B membutuhkan refreshing sehingga mereka mengadakan outing ke Bali yang menghabiskan biaya Rp50 juta. Akankah konsumsen menerima alasan itu dan membeli mobil B?
Outing ke Bali akan dianggap waste atau pemborosan oleh Lean Enterprise jika malah membuat produk tidak dibeli oleh konsumen karena dinilai tidak memberi nilai tambah yang biayanya rela dibayar oleh konsumen.
Sementara itu, Lean Startup tidak bisa menanyakan hal yang sama karena startup bahkan tidak tahu apa produknya dan siapa konsumennya. Tugas utama startup adalah mengidentifikasi kedua hal tersebut.
Oleh karena itu, di Lean Startup, sebuah proses bisnis atau aktivitas akan dianggap efisien apabila dapat membantu atau berkontribusi dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tadi.
Bagi Lean Startup, aktivitas membuat prototype, interview calon konsumen dan usability testing dianggap lebih penting dibandingkan pembuatan standard operating procedure (SOP) pengajuan cuti dan pengadaan barang.
Itulah mengapa startup yang kita ceritakan sebelumnya, yakni Go-Jek, tidak memaksakan diri untuk langsung mencari investor atau beriklan besar-besaran, karena keduanya dinilai tidak dapat langsung membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar dari Lean Startup.
Perusahaan, tantangan dan indikator adalah perbedaan mendasar antara Lean Startup dan Lean Enterprise. Dengan memahami ketiga perbedaan tersebut kita dapat dapat mengetahui kapan saatnya kita menggunakan masing-masing metodologi.
Kedua metodologi memang didesain untuk membantu kita dapat terus memastikan agar apa saja yang kita lakukan dalam berbisnis dapat selalu efektif dan efisien sehingga pemborosan yang merugikan tidak muncul lagi.