“Lean Thinking telah memberikan pengaruh yang besar bagi pemikiran bisnis saya. Filosofi tersebut menunjukkan cara-cara fundamental untuk mentransformasi bisnis Anda.” Sir Terry Leahy – Chairman dan CEO Tesco, PLC.
Ketika Tesco memulai perjalanan Lean mereka pada 1995, perusahaan tersebut menempati posisi kedua di Liga Supermarket Inggris. Hanya dalam 15 tahun, Tesco berhasil menumbuhkan dirinya sebesar dua kali lipat rival terbesarnya di Inggris, dan meraih sukses di dunia ritel internasional.
Seperti yang diungkapkan CEO mereka, Tesco menggunakan Lean Thinking untuk meramu solusi belanja online mereka, yang merupakan kebalikan dari konsep “belanja di toko” yang biasa dilakukan.
Tesco yang Begitu Ingin “Kenal” dengan Pelanggan
Tesco, yang kini merupakan salah satu retailer terbesar di dunia (dengan 500.000 karyawan), telah menghabiskan tiga dekade menjalankan perbaikan proses supply chain mereka. Dua dari tiga dekade tersebut mereka jalani dengan mengumpulkan dan menganalisa data pelanggan.
Pada dekade 80 dan 90-an, Tesco mulai memodernisasi supply chain mereka, menggunakan point-of-scale scanner. Mereka melakukan sentralisasi dan otomasi pemesanan, distribusi dan kontrol gudang, serta melakukan pertukaran data secara elektronik dengan para pemasok utama. Hasilnya, lead time di toko dapat dipangkas dari dua minggu menjadi hanya dua hari, dan lead time (pengadaan barang) dari pemasok dapat dikurangi dari 2 atau 3 minggu menjadi hanya tiga hari.
Pada 1996, Tesco mengadopsi pendekatan Toyota Production System untuk memoles dan meningkatkan supply chain mereka kepada level yang lebih tinggi. Bekerjasama dengan pemasok, Tesco membuat pemetaan aliran untuk beberapa famili produk dan menemukan kesempatan perbaikan di sisi logistiknya. Perusahaan merancang ulang prosesnya, sehingga produk mengalir dengan cepat dari pemasok menuju rak-rak toko, dan menghilangkan proses batch dalam produksi, pengepakan, transportasi dan penyimpanan.
Salah satu contohnya, Tesco memperkenalkan troli beroda untuk produk dengan pergerakan tinggi, seperti soft drink, yang secara dramatis meningkatkan efisiensi aliran antara pemasok, gudang, dan toko, untuk meningkatkan cycle time dan mengurangi biaya.
Namun, jika ingin mendapatkan keuntungan maksimal dari performa supply chain mereka, Tesco harus menggabungkan operational excellence yang telah dicapai dengan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai pelanggan mereka. Menyadari hal ini, manajemen Tesco meluncurkan “Clubcard” pada tahun 1993, yang pada saat itu masih menjadi ide baru. Inilah langkah awal Customer Intimacy di Tesco.
Dengan Clubcard, pelanggan bisa mendapatkan poin setiap kali belanja, yang dapat ditukarkan dengan potongan harga atau hadiah. Ini merupakan salah satu ide awal loyalty program, yang memang mampu membangun loyalitas pelanggannya. Namun diam-diam, Tesco mecoba untuk menggali data pelanggan dengan Clubcard tersebut. Mereka mengumpulkan data para pemegang kartu, termasuk area toko mana yang sering mereka datangi dan preferensi produk mereka.
Dibantu oleh sebuah firma konsultan, mereka mendefinisikan 16 kluster gaya hidup pelanggan dengan cara mengkombinasikan data in-store shopping (informasi barang yang dibeli pelanggan dan dimana mereka membelinya) dan data home shopping (yaitu informasi barang yang diinginkan pelanggan dan barang yang tidak tersedia di toko online).
Membangun Strategi Berlandaskan Customer Intimacy
Mungkin sebagian besar perusahaan berbasis jasa juga mengumpulkan data pelanggan mereka. Lalu apa bedanya Tesco dengan perusahaan-perusahaan tersebut?
Bedanya adalah, Tesco mengumpulkan data dan mempergunakannya sebagai pengetahuan yang menunjang strategi dan target bisnis mereka. Mereka menggunakan profil pelanggan untuk mengetahui kebutuhan yang belum terpenuhi, dan untuk merancang serta meluncurkan jenis-jenis pelayanan yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Dengan memanfaatkan data pelanggan, Tesco bisa memutuskan apakah mereka harus membuka convenience store lokal, dan, jika ya, di area mereka harus membukanya. Data ini juga mereka gunakan untuk merumuskan strategi toko online-nya. Tesco menelusuri data dimana pelanggan biasa berbelanja – online, convenience store, High Street, supermarket atau hypermarket. Lalu mereka menyesuaikan jenis produk di toko-toko lokal untuk pelanggan di daerah tersebut (kecenderungan belanja dan apa jenis produk yang biasa dibeli di daerah tersebut). Dengan terbatas hanya 1500 barang, convenience store di setiap daerah memiliki kompisisi produk yang telah disesuaikan dengan profil pelanggan disana.
CEO Terry Leahy telah mendorong perusahaan untuk mengembangkan format tersebut, dan secara aktif mendukung setiap aktifitas perbaikan, walaupun para kepala toko khawatir akan adanya kanibalisasi atas penjualan mereka (karena adanya peningkatan di sisi home shopping).
Kekuatan dari Utilisasi Data Pelanggan
Dengan menghubungkan kapabilitas supply chain dengan pengetahuan mendalam mengenai pelanggan, Tesco merancang detil-detil operasional mengenai bagaimana memberikan apa yang diinginkan pelanggan untuk setiap tipe toko yang mereka buka.
Sisi supply chain mereka yang tangkas membuat mereka mampu melakukan pengisian stok untuk toko kecil dengan biaya yang sama besarnya dengan pengisian stok di toko besar, sehingga mereka bisa menetapkan harga barang yang sama untuk setiap format toko.
Clubcard terus dimanfaatkan untuk merancang strategi promosi, seperti program diskon, dan menyesuaikan supply chain dengan program yang ada. Menariknya, walaupun mereka mempromosikan fasilitas home shopping, para kepala toko melihat adanya kenaikan penjualan, bukan kanibalisasi seperti yang mereka khawatirkan.
Jika Anda pernah mendengar tentang “Big Data” dan Data Analysis, tentunya mendapatkan pengetahuan akan pelanggan akan jadi lebih mudah. Namun ada satu tantangan lain ketika Anda memutuskan untuk mengumpulkan data pelanggan, yaitu menerjemahkan data tersebut menjadi pengetahuan, dan menerjemahkan pengetahuan itu menjadi suatu pengalaman baru bagi pelanggan bahkan jadi tantangan yang lebih besar lagi. Perusahaan seperti Amazon dan Netflix memudahkan aktifitas belanja pelanggan dengan melakukan rekomendasi produk. Namun tantangan yang lebuh besar adalah mengubah pemenuhan order dan langkah-langkah pemenuhan kebutuhan pelanggan (menjadi lebih baik dan menunjang) dalam siklus hidup pelanggan, seperti yang telah Tesco lakukan.***
Sumber: HBR Blog (blogs.hbr.org) oleh Brad Power, troubleahead.co.uk.
Gambar: Shutterstock.