Dahulu memang segala sesuatu yang kompleks dianggap lebih hebat daripada sesuatu yang sederhana. Karena kompleksitas terlihat lebih meyakinkan, serius, dan lebih dipercaya. Seiring perubahan zaman, kini orang telah beralih menjadi lebih suka yang minimalis, sederhana, simpel, dan meninggalkan segala yang kompleks. Apa sebab?
Ambil sebuah kisah nyata: seorang CEO dari perusahaan FMCG ternama dibuat sakit kepala karena organisasi yang ia pimpin telah membengkak dan makin kompleks. Pasalnya, kondisi ini ternyata menyebabkan kelambatan proses kerja dan biaya besar. Diskusi panjang dengan tim eksekutif senior pun dilakukan untuk menemukan jalan keluar. Semua setuju untuk mengidentifikasi proyek, aktivitas, dan program yang sudah tidak relevan untuk dijalankan.
Namun diskusi berjalan alot saat memutuskan proyek dan program apa yang akan dihilangkan. Karena semua orang mengajukan aktivitas oleh divisi lain yang harus dihentikan, ketimbang me-review aktivitas di divisi mereka sendiri. Mereka lebih mempertahankan dan mengemukakan alasan mengapa program-program di divisi mereka sendiri penting dan tidak bisa dihilangkan.
Kasus ini membuktikan bahwa kesederhanaan bukanlah sesuatu yang mudah dijalankan. Ya, membuat sesuatu menjadi lebih rumit itu mudah, tetapi menyederhanakannya adalah persoalan lain!
Bukti lain: banyak manajer di perusahaan mengeluh soal beban kerja yang menumpuk, namun enggan melepaskan salah satunya. Inilah salah satu kontradiksi terbesar dalam kehidupan organisasi: orang lebih mudah memulai sesuatu, tugas, proyek, rapat, inisiatif, ketimbang menghentikan atau menyelesaikannya. Kini Anda mulai menyadari bahwa ternyata kompleksitas jauh lebih mudah didapat dibanding simplisitas, bukan?
Seorang pakar manajemen bernama Ron Ashkenas menyebutkan bahwa ada beberapa alasan psikologis yang menyebabkan orang sulit melepaskan aktivitas rutin mereka. Pertama, orang cenderung merasa puas dan bangga ketika merasa perusahaan membutuhkan kontribusi mereka, meskipun sering mengeluh tentang betapa sibuknya mereka. Dengan kata lain, kesibukan adalah simbol dari status seseorang di organisasi.
Hal ini pernah dibuktikan oleh Ashkenas lewat sebuah studi terhadap beberapa manajer senior di sebuah perusahaan riset. Mereka semua mengeluh karena pekerjaan yang begitu menyita waktu. Namun ketika diminta untuk menghentikan satu atau dua program rutin yang dijalankan, tidak seorang pun bersedia karena mengepalai banyak program adalah sumber prestise.