Mesin Tenun Toyoda Type G Merupakan representatif mekanis dari konsep dasar Lean Six Sigma, yang mengedepankan efisiensi dan efektifitas untuk menelurkan hasil yang berkualitas tinggi. Mesin tenun legendaris ini memiliki segalanya. Bagaimana cara kerja mesin yang menjadi titik awal inovasi di Toyota ini?

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Toyota Motor Corporation yang kita kenal sebagai produsen mobil ini lahir dari sebuah perusahaan yang awalnya hanya memproduksi mesin tenun. Namun siapa sangka, metode dan filosofi yang dahulu disusun oleh sebuah pabrik mesin tenun akan membuat sebuah perusahaan otomotif seperti Toyota maju dan menjadi perusahaan produsen mobil terbesar di dunia.

Sakichi Toyoda memulai bisnis mesin tenunnya pada tahun 1896. Lalu pada tahun 1926 ia mendirikan Toyoda Automatic Loom Works, Ltd. setelah berhasil menemukan sebuah alat tenun otomatis yang terkenal, Type G. Alat ini adalah yang paling mutakhir di zamannya. Type G merupakan sebuah alat tenun otomatis berkecepatan tinggi yang mampu mengganti shuttle tanpa menghentikan jalannya mesin. Selain itu, alat tenun ini dilengkapi oleh banyak inovasi lain, sehingga mampu secara dramatis meningkatkan kualitas tekstil yang dihasilkan, dan mampu meningkatkan produktifitas pabrik sebanyak duapuluh kali lipat daripada yang mampu dicapai oleh alat tenun biasa yang ada saat itu.

Alat tenun yang menjadi titik kesuksesan Toyota itu saat ini masih bisa dijumpai di visitor center Toyota Motor Manufacturing di Indiana, Princeton, AS. Alat yang masih bisa berfungsi dengan baik ini merupakan salah satu dari dua alat yang berada di luar Jepang. Alat yang dibuat pada tahun 1928 inilah yang menginspirasi Toyota untuk menciptakan suatu metode dan sistem untuk diterapkan pada proses produksi mobil seperti Highlander Crossover, Sequoia SUV atau Sienna Minivan, yang sekarang kita kenal dengan sebutan Lean Manufacturing.

Baca juga  Data-driven Manufacturing untuk Transformasi Industri

Merumuskan TPS

Toyoda jelas memahami filosofi dan metode Lean dalam produksi ketika ia mengembangkan konsep alat tenunnya, namun Taiichi Ohno-lah yang menerjemahkan pemahaman tersebut kedalam kata-kata.

Sebagai tokoh yang dikenal sebagai bapak dari Lean, Ohno mendokumentasikan prinsip-prinsip metode perbaikan produksi tersebut dalam sebuah buku yang berjudul “Toyota Production System: Beyond Large-Scale Production,” yang menjadi referensi wajib bagi Lean experts dan Six Sigma Black Belt.

Prinsip Ohno adalah memperpendek waktu antara order hingga pengiriman dengan cara menghilangkan waste (aktifitas non-value add) pada proses. Kita mengenal tujuh waste yang sering terjadi, yang terangkum dalam akronim T.I.M.W.O.O.D., atau singkatan dari Transportation (transportasi), Inventory (stok mengendap), Movement (gerakan), Overproduction (produksi berlebihan), Overprocessing (proses berlebihan) dan Defects (cacat).

Dibandingkan dengan model produksi massal oleh Henry Ford, Toyota dan dunia industri modern pada umumnya lebih fokus kepada memanfaatkan apa yang dibutuhkan pada waktu ia dibutuhkan. Lean memiliki tools yang mendukung paradigma tersebut, seperti penggunaan metode “just in time” atau sistem produksi “tarik” (pull system), melalui kartu kanban atau sinyal lainnya. Produksi dilakukan dalam batch kecil pada assembly line.

Sistem produksi dengan batch kecil memungkinkan manufaktur untuk bereaksi cepat terhadap permintaan pelanggan dan fluktuasi pasar tanpa mengalami penumpukan inventori. Penumpukan inventori merupakan dosa besar dalam supply chain Toyota.

Standardized Work” memastikan pembagian pekerjaan yang adil, yang berkaitan dengan takt time dan seberapa sering pekerjaan harus diselesaikan untuk memenuhi permintaan pelanggan.

Dalam lini produksi Sequoia dan Highlander di Toyota plant di Indiana, takt time 90 detik, artinya pekerjaan disesuaikan untuk memproduksi satu kendaraan setiap 90 detik. Sinyal lampu dan kabel andon memungkinkan karyawan untuk memanggil team leader untuk menghentikan lini produksi segera jika ada masalah yang terdeteksi. Memang lebih baik menghentikan produksi dan memperbaiki masalah daripada terus melanjutkan produksi dengan potensi terjadinya cacat dan waste.

Terjun Untuk Lakukan Gemba

Baca juga  Indonesia di posisi ke-12 Top Manufacturing Countries by Value Added 

Para Lean expert sering mengatakan, untuk memahami lebih dalam filosofi Toyoda dan Ohno, lakukanlah Gemba. Turunlah ke pabrik dan lapangan. Pelajari masalah yang terjadi di lapangan dan temukan solusi yang paling relevan untuk menyelesaikannya. Itulah yang selalu diajarkan oleh keduanya.

Keselamatan adalah nomor satu. Karyawan tidak diperbolehkan masuk kedalam area produksi tanpa menggunakan safety glasses. Operator mengenakan safety shoes, pelindung pendengaran dan masker. Prinsip ergonomi dan 5S merupakan sistem yang terintegrasi dalam rancangan assembly line, sehingga pekerja bisa melakukan aktifitasnya dengan resiko minimal, dalam lingkungan yang bersih, nyaman dan teratur.

Di Toyota Indiana, pabrik menerima bahan mentah pada waktu yang tepat untuk memenuhi kebutuhan produksi. Cart dan kendaraan otomatis mendistribusikan komponen ke seluruh assembly line saat dibutuhkan, ditandai dengan kartu kanban yang menunjukkan item apa yang diperlukan dan dalam jumlah berapa.

Anda akan menemukan robot dan mesin otomatis, namun keberadaan peralatan tersebut tidak dimaksudkan untuk menggantikan peran manusia. Mereka menerapkan jidoka, yang artinya automation dengan sentuhan manusia. Mesin berperan untuk menjaga keselamatan pekerja, melakukan pekerjaan repetitif dan beroperasi dengan harmonis dengan para pekerja.

Toyota di Indiana juga dengan rutin menjalankan Kaizen. Dalam filosofi Lean, Kaizen berarti “perubahan yang membawa kebaikan”, dan perusahaan seperti Toyota melakukan Kaizen event untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam operasional sehari-hari. Tim khusus akan mengambil masukan dari para pekerja mengenai masalah dan kendala yang terjadi di plant, lalu melakukan investigasi terhadap laporan-laporan yang masuk. Jika diperlukan, mereka akan lakukan poka-yoke (mistake proofing) dan mencari solusi untuk masalah yang terjadi. Di Toyota, todak pernah ada kata berhenti untuk Kaizen.

Baca juga  Data-driven Manufacturing untuk Transformasi Industri

Pelajaran dari Alat Tenun Toyoda

Alat tenun Type G yang dirancang Toyoda memang merupakan perwujudan pertama dari filosofi Lean yang ada di benak pendiri Toyota tersebut. Pada alat ini, kita dapat menemukan banyak pelajaran yang menjadi insiprasi bagi perumusan versi modern dari Lean Enterprise. Sebagai contoh, Alat tenun tersebut akan mati secara otomatis jika ada benang yang putus. Ini mencerminkan sikap yang harus diambil oleh operatior ketika menemukan penyebab gangguan pada lini assembly (poka yoke). Dengan berhentinya alat, maka produksi kain yang cacat akan terhindarkan (meminimalisir defect dan waste). Alat ini merupakan contoh penerapan jidoka, yaitu otonomi karyawan dalam menghentikan lini produksi jika ditemukan penyimpangan yang berpotensi menjadi waste.

Alat ini pertama kali dibawa ke Indiana oleh seorang Jepang yang bertugas merawatnya. Orang ini lalu tinggal selama tiga minggu disana untuk memberikan pelatihan singkat kepada tim di Princeton mengenai Standard Work untuk mengoperasikan dan merawat alat tenun otomatis tersebut. Asal-usul Lean production datang dari Henry Ford, Sakichi Toyoda dan Taiichi Ohno. Metode yang cukup kompleks tersebut dapat dipahami dengan cepat jika kita melihat cara kerja dari alat tenun otomatis Type G ini.