Sebuah studi yang dilakukan BCG menunjukkan bahwa 85% perusahaan telah menjalankan transformasi dalam satu dekade terakhir ini. Dalam penelitian ini, hampir 75% transformasi gagal berkontribusi mendorong peningkatan kinerja bisnis, baik untuk jangka pendek ataupun jangka panjang. Dari sekian banyak penjelasan, salah satu hal utama yang mendorong kegagalan ini adalah besarnya rasa takut dan ketidaknyamanan yang mendorong orang-orang di organisasi terjebak dengan perilaku cemas ketika menghadapi perubahan.
Sebagian besar organisasi lebih fokus pada strategi dan implementasi daripada apa yang mereka rasakan dan pikirkan ketika mereka diminta untuk melangsungkan transformasi. Resistensi yang muncul, terutama yang bersifat pasif, tidak terlihat dan tidak disadari dapat menjadi penyebab kegagalan untuk strategi terbaik sekalipun.
Transformasi dibangun bersamaan dengan elemen struktur yang baru, termasuk kebijakan, proses, fasilitas, dan teknologi. Beberapa perusahaan juga menambahkan fokus pada perilaku, seperti program pelatihan baru ataupun melakukan rotasi karyawan. Tetapi ada satu hal yang sering diabaikan oleh organisasi, yaitu ketika transformasi berlangsung akan diikuti adanya pergeseran internal, apa yang orang pikirkan dan rasakan kemudian mempengaruhi strategi mereka ke depannya. Disinilah resistensi cenderung muncul – secara kognitif berkaitan dengan bentuk keyakinan, bentuk rasa takut dan perasaan tidak aman yang menimbulkan perubahan atau goncangan. Semua hal ini akan membentuk pola pikir, yang mencerminkan bagaimana mereka melihat sebuah dunia.
Pada akhirnya, transformasi bisnis akan sangat tergantung pada transformasi individu di dalamnya, dimulai dari pemimpin dan influencer yang memiliki pengaruh paling besar. Sebagian besar transformasi gagal karena para pemimpinnya menghabiskan terlalu banyak waktu hanya untuk memahami motivasi mereka sendiri bukan dari kacamata organisasi. Mereka juga tidak memiliki dorongan untuk keluar dari zona nyaman baik sisi intelektualitas ataupun emosional. Psikolog Lisa Lahey dan Robert Kegan menyebut kondisi ini sebagai “kekebalan untuk berubah”.
Meskipun demikian, banyak pemimpin dengan tipe di atas yang ingin memperbaiki perilaku. Tetapi mereka masih terus bekerja dengan cara yang sama secara terus menerus, seakan malas meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal baru. Ketika organisasi memberi kesempatan, kekhawatiran terhadap kegagalan membuat mereka tidak mampu melihat peluang dalam perubahan.
Sampai disini jelas bahwa perilaku pemimpin adalah penentu sukses atau tidaknya perjalanan transformasi di organisasi. Seperti nahkoda, pemimpin yang memegang kendali kapal ketika berlayar.