Pembahasan dan studi kasus Just-in-Time telah banyak dibahas di berbagai buku, esai dan artikel. Namun tidak ada salahnya jika kita mengingat kembali asal usul, pengertian dan konsep Just-in-Time yang selama ini sering kita jumpai sepanjang jalan menuju operational excellence di perusahaan
Just-in-Time atau disingkat JIT adalah sebuah filosofi manajemen yang berakar di Jepang dan pertama kali muncul pada dekade 1970-an di industri manufaktur Jepang. Untuk pertama kalinya, JIT dikembangkan dan disempurnakan oleh Toyota Motor Manufacturing oleh Taiichi Ohno. Karena jasanya mengembangkan konsep JIT, Taiichi Ohno dijuluki the Father of Just-in-Time. Ide utama JIT adalah menyediakan produk yang diminta pelanggan dengan waktu tunggu sependek mungkin. Artinya, produk diproduksi berdasarkan permintaan pasar dalam waktu sesingkat mungkin.
Sebuah Konsep yang Membesarkan Para Raksasa Manufaktur
Sesuai dengan namanya, Just-in-Time berarti hanya menyediakan apa yang dibutuhkan, kapan itu dibutuhkan dan juga dalam jumlah yang dibutuhkan. Walaupun JIT lebih dikenal sebagai filosofi manajemen dari Jepang, ternyata Henry Ford telah menjelaskan gambaran konsep JIT ini dalam bukunya yang berjudul My Life and Work yang terbit pada 1923 silam.
Berikut gambaran Henry Ford yang menjabarkan konsep-konsep Just-in-Time :
“Di sisi material, kami lebih memilih untuk membeli material yang paling dibutuhkan dulu. Biasanya kami hanya membeli material yang cukup hanya untuk proses produksi yang sudah direncanakan saja, lagian kami juga mempertimbangkan faktor kendaraan yang menganggkut bahan baku tersebut. Jika kendaraan saat itu benar-benar tidak mengalami kerusakan atau bahkan dapat menjamin keamanan bahan baku yang dibawa, maka sebenarnya kami tidak membutuhkan lagi aktivitas untuk menyetok bahan baku apapun. Karena mobil pengangkut bahan baku akan tiba tepat waktu, dalam urutan serta jumlah yang sudah diatur sebelumnya dan dapat langsung dimasukkan ke dalam proses produksi. Selain hal ini dapat menghemat biaya, strategi ini pun akan memberikan omset yang cepat, jadi kita bisa menghemat biaya dalam kegiatan penganggkutan bahan baku.”
Seperti itulah yang digambarkan Ford mengenai proses manufaktur dalam bisnis otomotifnya. Jika kita kaitkan dengan pengertian Just in time yang lebih dikenal luas sebagai sebuah filosofi yang berasal dari Jepang, maka gambaran yang telah di jelaskan Ford dalam bukunya tersebut tentu tidak berbeda jauh dari konsep JIT yang diterapkan raksasa otomotif Toyota.
Namun, saat Toyota mulai mengadopsi sistem JIT ini ke dalam TPS, dan mulai melakukan perluasan pabriknya hingga ke Amerika Serikat pada 1956, Ford justru belum menerapkan konsep JIT ini sepenuhnya. Gambaran sistem JIT yang diterapkan Toyota tidak mengacu pada konsep JIT yang diperkenalkan oleh Ford. Justru Piggly Wiggly, sebuah toko swalayan-lah yang pertama kali menujukkan konsep JIT ini kepada Toyota sehingga menginspirasi perusahaan otomotif itu untuk menerapkan dan memodifikasi konsep JIT dalam sistem mereka.
Modifikasi konsep JIT oleh Toyota ini berhasil mendapatkan hasil yang lebih memuaskan dengan berfokus pada memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada. Dalam penerapan konsep JIT, proses ini memungkinkan Toyota untuk mengurangi biaya dan proses produksi mobil yang lebih cepat. Karena, buktinya sampai saat ini banyak kendaraan diproduksi setelah terlebih dahulu ada pesanan sehingga dengan strategi ini tentunya akan memperkecil risiko membengkaknya biaya bagi perusahaan.
Konsep yang Dikombinasikan dengan Etos Kerja
Meskipun hasil adopsi dari konsep JIT yang telah di terapkan Toyota dalam sistem Toyota Production System atau TPS-nya ini terbukti berhasil mengurangi waste dan biaya produksi dalam menentukan strategi persediaan bahan baku dalam proses produksi mobil-mobil nya, ternyata penyesuaian dan peningkatan mutu SDM di dalam penerapan konsep JIT tersebut juga menjadi faktor penting demi tercapainya hasil produk mereka yang lebih baik.
Seperti yang dikutip dari smallbusiness.chron.com, ketika sebuah perusahaan ingin meningkatkan kualitas proses, manajemen harus memperkuat pentingnya kebijakan yang akan mereka terapkan di seluruh lini tenaga kerja yang ada. Selain itu, dalam hal ini perusahaan juga tentunya akan melibatkan vendor sebagai salah satu pemasok dalam supply chain dan memastikan agar mereka mendapat bahan baku yang berkualitas tinggi. Sehingga sangat penting untuk memperlakukan pekerja mereka secara adil dan mampu membayar biaya hidup yang berkelanjutan bagi seluruh karyawan agar kebijakan yang mereka terapkan dapat dijalankan dan dipatuhi dengan baik.
Konsep JIT dalam proses manufaktur harus benar-benar disesuaikan dengan organisasi yang akan menerapkan konsep tersebut. Hal ini pun yang tercermin dalam aspek-aspek budaya yang terkait munculnya JIT di Jepang, seperti para pekerja yang harus memiliki motivasi tinggi untuk terus melakukan perbaikan dari waktu ke waktu ataupun menetapkan standar yang lebih tinggi. Perusahaan harus berfokus pada upaya pengembangan kelompok yang akan melibatkan berbagai kombinasi dari bakat dan juga pengetahuan, kemampuan memecahkan masalah serta ide-ide untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan menerapkan konsep JIT dalam proses manufaktur, sebuah perusahaan dapat mengurangi risiko cacat pada produknya. Karyawan yang bekerja pada pabrik yang telah menerapkan JIT memiliki pengetahuan, sumber daya dan juga mengetahui proses yang diperlukan untuk dapat membuat produk yang lebih baik.
Konsep JIT manufacturing memang berfokus pada pengurangan waste dan pengurangan biaya produksi. Dari sudut pandang etika nya, mengurangi waste dan biaya produksi di sini artinya mampu memberikan harga yang rendah namun, tetap memberikan nilai yang lebih baik bagi konsumen.
Tentunya etika pribadi karyawan dan etika bisnis perusahaan secara langsung akan mempengaruhi proses pengerjaan dan kualitas produksi, sehingga faktor tenaga kerja sangat menunjang tercapainya produk yang lebih baik dalam penerapan Just-in-Time.***RR/RW