Oleh: Suwandi Soh
Dalam satu artikel menarik di Nikkei, jurnalis bernama Ken Moriyasu menuliskan bagaimana peneliti Oxford University Troy Sternberg menerbitkan makalah penelitian bahwa Arab Spring, yang dimulai di Tunisia dan akhirnya menggulingkan Presiden Mesir Hosni Mubarak, sebenarnya dipicu oleh kekeringan di Tiongkok. Lho, hubungannya apa?
“Kekeringan musim dingin yang terjadi sekali dalam satu abad di Tiongkok mengurangi pasokan gandum global dan mengakibatkan melonjaknya harga roti di Mesir, importir gandum terbesar di dunia,” tulis Sternberg.
Hanya 6-18% dari produksi gandum global tahunan diperdagangkan antar negara, yang berarti setiap langkah mendadak oleh importir utama atau eksportir dapat merusak harga. Dalam kasus November 2010 itu, kekhawatiran atas kekeringan di negaranya menyebabkan pemerintah Tiongkok membeli gandum secara agresif di pasar internasional.
Dampak dari hiruk-pikuk pembelian Beijing segera mencapai Kairo. Harga aish, roti yang ada di hampir setiap masakan Mesir, melonjak. Pada Januari 2011 demonstran berkumpul di Tahrir Square meneriakkan, “Aish, hurriyya, adala igtima’iyya!” (“Roti, kebebasan, dan keadilan sosial!”). Inilah yang kemudian menggulingkan Hosni Mubarak seperti dituliskan Moriyasu di Nikkei. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Sarah Johnstone dan Jeffrey Mazo dari International Institute for Strategic Studies.
Saya kagum bagaimana Sternberg dan yang lainnya menulusuri kejadian ini dan menghubungkannya dengan kejadian lain (chain reaction). Chain reaction ini terjadi dalam berbagai skala, baik skala seperti kekeringan di Tiongkokyang mengakibatkan jatuhnya Hosni Mubarak ataupun dalam skala perusahaan maupun personal.
Untuk tingkatan personal, contoh serupa datang dari Steve Jobs. Dia pernah menyampaikan terminologi “connecting the dots” yang sangat populer dalam sebuah pidatonya di Stanford.
Sebagai salah seorang pengagum Steve Jobs, tentunya saya ingat setiap kata dalam pesan Steve Jobs dalam pidato legendarisnya itu. Ia mengatakan bahwa kita tidak bisa menduga dan merancang masa depan. Tetapi jika kita melakukan segala sesuatunya sepenuh hati, niscaya kita bisa melihat ke belakang dan bersyukur kita telah melakukannya dengan sepenuh hati.
“…you can’t connect the dots looking forward; you can only connect them looking backward. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future.”
Apa yang kita lakukan pada hari ini akan kita tuai di masa yang akan datang. Jika kita menanam yang baik, kita akan mendapatkan yang baik dan sebaliknya. Nah, jika kita melihat perusahaan yang sukses, kita bisa mempelajari apa yang mereka lakukan di masa lalu yang akhirnya membuat mereka hari ini dikenal sebagai perusahaan sukses. Apa yang mereka capai hari ini adalah buah dari apa yang mereka lakukan tahun lalu, 5 tahun lalu, 10 tahun lalu, 15 tahun lalu.
Nah, apa yang terjadi saat ini dan di masa lalu, sudah terjadi. Tetapi kita bisa mulai menanam yang baik hari ini, melakukan yang terbaik hari ini, menginvestasikan pada hal yang baik hari ini, agar kita bisa sukses besok, bulan depan, atau 5 tahun lagi. Sudahkah kita memulainya?***
Suwandi Soh adalah CEO Majalah Shift Indonesia dan Managing Partner SSCX International.
Sumber Photo: theatlantic.com