Sebagai perusahaan global, Nestlé telah membuktikan komitmennya terhadap sustainalibity, dan hasilnya cukup impresif untuk memancing para petinggi di perusahaan lain melayangkan pujian mereka.
“Nestlé memiliki agenda pertanggung-jawaban sosial yang mengagumkan,” kata mantan CEO Campbell Soup Company, Douglas R. Conant.
Senada dengan yang dikatakan Conant, Andy Wales, wakil presiden senior sustainable development di SABMiller, mengatakan bahwa dalam lima tahun terakhir, sejumlah perusahaan makanan dan minuman – termasuk yang terbesar yaitu Coca Cola, SABMiller dan Nestlé – telah mulai mengemukakan masalah terkait resiko kekurangan air kepada para pemimpin institusi global dan pimpinan politik nasional.
“Contoh kesuksesan inovasi yang didorong oleh sustainability telah berkembang dalam spektrum yang luas, dari melakukan segala sesuatu dengan cara berbeda, (berkembang) menjadi melakukan sesuatu yang benar-benar berbeda.” Demikian kutipan yang ada dalam MIT Sloan Management Review’s 2012 Sustainability & Innovation Global Executive Study and Research Project. Proyek tersebut mencatat bahwa Nestlé telah mengembangkan inovasi cost-model di titik permulaan yang baru dalam rantai value-nya. Perusahaan tersebut mengetahui bagaimana memanfaatkan ampas kopi – produk sampingan dari manufaktur – sebagai sumber tenaga untuk pabrik-pabrik, demikian yang tercantum dalam catatan proyek MIT Sloan tersebut.
Dengan adanya pernyataan tersebut, Nestlé telah ditempatkan dalam jajaran perusahaan pertama yang memasukkan sustainability kedalam strategi perusahaan secara keseluruhan. Hal ini dibenarkan oleh Hans Jöhr, kepala agrikultur di Nestlé, yang saat ini sedang mencanangkan program sustainability agrikultur.
Jöhr, yang merupakan salah satu pendiri, mantan presiden dan sekarang presiden honorer dari SAI Platform (gerakan agrikultur yang sustainable untuk industri makanan), bertanggung jawab memberikan bimbingan teknis dan strategis untuk supply chain agrikultural di Nestlé di seluruh dunia.
Agrikultur yang Sustainable di Nestlé
Salah satu cara Nestlé untuk meraih tujuannya adalah dengan memberikan penyuluhan agrikultur kepada ratusan petani di area pedalaman, yang menjadi pemasok mereka.
“Kami membeli bahan baku seperti cokelat, kopi dan susu dari sekitar 680.000 petani di seluruh dunia,” tulis Jöhr dalam sebuah blog post pada musim gugur yang lalu. “Kadang kala, kurangnya investasi dalam infrastruktur sosial dan agrikultural di suatu wilayah atau negara membuat petani kesulitan untuk memasok bahan baku yang ditanam dengan cara sustainable, berkualitas tinggi, dan aman.”
Karena alasan itulah Nestlé memberikan penyuluhan kepada petani untuk meningkatkan pengetahuan dan memberikan informasi untuk meningkatkan produktifitas mereka. perusahaan tersebut memberikan akses kepada ilmu pengetahuan untuk menerapkan sistem penanaman yang mendukung sustainability. Program ini adalah bagian dari pendekatan Creating Shared Value (CSV) kepada proses bisnis. Pendekatan ini membuat Nestlé harus mencari cara untuk menciptakan value bagi shareholder dan terlebih penting bagi komunitas yang ada di area operasional perusahaan, tulis Jöhr.***
Sumber: http://sloanreview.mit.edu