Mungkin seringkali kita melupakan, sejalan dengan upaya tak kenal lelah dalam menjalankannya, esensi dari continuous improvement dan pencapaian operational excellence adalah untuk meningkatkan kepuasan dan preferensi pelanggan. Mengapa kita menginginkan status world class melekat pada organisasi kita? Bagaimana cara membangun bisnis yang profitable? Tentunya tidak perlu diungkapkan lagi, mengapa pelanggan kita menjadi aspek terpenting ketika memutuskan untuk menjalankan inisiatif perbaikan.
Sebuah artikel dari Brad Power di HBR Blog Network ini akan menyegarkan kembali ingatan kita, dan mungkin akan menerbitkan ide-ide yang nantinya akan membuat organisasi Anda mendapatkan tempat istimewa di hati dan pikiran pelanggan.
Kombinasi Operational Excellence dan Customer Intimacy
Dua aspek yang perlu diperhatikan dalam tulisan Power adalah kombinasi dari dua sumber value untuk pelanggan yang, walaupun masih belum banyak organisasi yang benar-benar melandaskan setiap pergerakan mereka diatasnya, sangat krusial jika tujuan kita adalah mendapatkan preferensi pelanggan. Kedua sumber value tersebut tak lain adalah Operational Excellence dan tindakan yang didasari oleh pemahaman akan kebutuhan pelanggan.
“Saya melihat kecenderungan di dekade mendatang,” tulis Power dalam HBR Blog, “…kecenderungan untuk mengkombinasikan operational excellence dengan customer intimacy; solusi tepat (untuk meningkatkan kepuasan) setiap pelanggan yang didasari oleh pemahaman mendalam akan kebutuhan mereka.”
Customer intimacy bukanlah sebuah kerangka pemikiran yang baru. Konsepnya telah dimuat dalam Harvard Business Review 20 tahun yang lalu, yang hingga saat ini masih segar dan valid. Implementasinya bahkan makin masuk akal dan efektif jika disandingkan dengan berbagai metode continuous improvement yang sedang on fire saat ini.
Salah satu perusahaan yang telah lama terlibat dalam penggabungan dua aspek penting ini adalah Tesco, yang sepak terjangnya juga dibahas oleh Power dalam tulisannya tersebut. Sederhananya, Tesco, yang merupakan salah satu perusahaan ritel terbesar di dunia, telah melakukan perbaikan pada supply chain mereka dalam tiga dekade ini. Mengenai aktifitas improvement Tesco akan dibahas di artikel lainnya, tapi yang jelas, dua dekade terakhir mereka jalani dengan mengumpulkan dan menganalisa data-data pelanggan.
Pengumpulan data, yang dikombinasikan dengan konsep Toyota Production System (Lean Enterprise) yang mereka adopsi pada 1996, memungkinkan Tesco mengawinkan dua metode yang sangat powerful dalam usaha meraih preferensi pelanggan: sisi operasional yang prima dan pemahaman akan pelanggan dan kebutuhan mereka. Dengan kedua senjata tersebut, Tesco mampu mengetahui sisi kekurangan mereka di mata pelanggan, dan segala hal yang dibutuhkan (atau diinginkan) pelanggan yang berkaitan dengan aktifitas belanja mereka. Dengan pengetahuan tersebut, Tesco merancang dan meluncurkan berbagai jenis pelayanan dan keputusan yang akan memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya.
Apa Itu Customer Intimacy dan Bagaimana Mencapainya?
Meskipun masih ada banyak pendapat yang menerangkan apa itu customer intimacy, namun mereka semua mengarah kepada satu kesimpulan bahwa:
Customer intimacy adalah hal yang dapat dicapai dengan melibatkan segala aktifitas yang lebih dari sekedar transaksi independen, melainkan lebih mengarah kepada hubungan yang mendalam dan jangka panjang antara perusahaan dengan pelanggan. Hubungan semacam ini dicapai dengan cara memahami, mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan pelanggan, baik yang laten maupun yang dinyatakan dengan jelas, secara lebih baik.
Hubungan yang intim dengan pelanggan adalah kebalikan dari transaksi anonim. Daripada transaksi yang profitable namun “berdiri sendiri”, hubungan semacam itu lebih menguntungkan karena berorientasi kepada keadaan menang-menang dalam jangka panjang. Customer intimacy adalah strategi kompetitif, budaya perusahaan dan rancangan organisasi yang bergulir menuju satu titik, yaitu segala hal yang mendukung terciptanya hubungan yang intim tersebut.
Pendapat lainnya, yang kurang lebih sama namun lebih personal, menyatakan bahwa customer intimacy lebih mencerminkan hubungan person-to-person yang sangat dekat, yang tahap kematangannya diraih dengan cara berbagi pengetahuan, pengertian, kepercayaan yang dianut bersama, serta perasaan tergugah yang mutual. Dapatkah semuanya terjadi dalam bisnis? Tentu saja, jika perusahaan bisa bergeser menjadi bisnis yang berbasis kepada pola pikir transaksi searah yang singkat menjadi bisnis dengan target-target jangka panjang. Strategi perusahaan harus diramu dengan tepat berdasarkan dengan target-target tersebut.
Lalu bagaimana meramu strategi yang tepat itu? Kembali, ada beberapa pendapat mengenainya. Sebuah artikel di Forbes, yang mempertimbangkan hubungan di masa kini yang lebih sering difasilitasi oleh media digital, menyebut customer intimacy modern sebagai “collective intimacy”. Artikel ini menyarankan Big Data, Data Analysis Tools, integrasi media sosial, dan banyak solusi bagus lainnya untuk mendapatkan collective intimacy ini. Anda bisa membaca mengenainya disini.
Strategi lainnya (sekaligus pendapat lainnya), berdasarkan pemikiran bahwa customer intimacy yang sebenarnya tercipta dari hubungan yang dekat antara pelanggan dan merk, adalah memperkenalkan dan mengakrabkan merk yang dijual oleh perusahaan kepada pelanggan. Tugas perusahaanlah untuk membuat pelanggan merasa mereka yang berada di balik merk yang mereka beli ingin membuat mereka merasa senang dan puas ketika menggunakan merk tersebut. Mengenai strategi yang ini dapat Anda baca disini.
Lalu, strategi manakah yang cocok untuk Anda? Pilihlah yang paling sesuai dengan karakter bisnis dan pelanggan Anda. Terpikir untuk menggabungkan keduanya? Well, mengapa tidak?***
Comments are closed.