Sebelum implementasi Lean, fasilitas di Novartis memiliki struktur seperti operasi manufaktur tradisional, dengan departemen-departemen yang bersifat vertikal. Pada 2004, Novartis memulai pendekatan tim berbasis-produk, menghilangkan jabatan supervisor sehingga para insinyur, operator dan staf pendukung seperti IT, mekanik dan maintenance bertanggung jawab langsung kepada satu orang team leader.

Setelah program dilaksanakan, tidak ada lagi supervisor di departemen dan setiap karyawan melapor kepada team leader. “Banyak perusahaan menyatakan mereka punya tim, namun seringkali masih menganut sistem vertikal,” kata Brian Hanifin yang pada saat itu menjabat sebagai team leader di Suffern. “Anda membutuhkan pendekatan end-to-end untuk membangun tim, mulai dari ketika bahan mentah tiba di pintu gudang hingga produk jadi meninggalkan fasilitas. Setiap ada satu tangan yang harus dilewati, kompleksitas bertambah.”

Menurut Hanifin yang saat ini menjabat sebagaiVP Pharmaceutical Operations di Novartis AS, ketika belum menjalankan progam, setiap kali ia membutuhkan seorang process engineer, planner dan packaging engineer, ia harus pergi kepada tiga orang manajer yang berbeda untuk berkoordinasi. “Saya harus berulang kali meyakinkan mereka bahwa prioritas saya adalah juga prioritas mereka”.

Peniadaan supervisor memang menjadi agenda terbesar dari program. Tujuannya adalah untuk mengoptimasi penggunaan sumber daya dan untuk mentransfer lebih banyak kemampuan supervisorial kepada operator. Sebagai gantinya, mereka menambahkan jabatan koordinator yang bersifat fleksibel, karena pada awalnya Novartis tidak yakin akan menjadi seperti apa tim dan peran berkembang.

Di beberapa kasus, para mantan supervisor berganti peran menjadi koordinator. Sayangnya, hal ini menimbulkan kontroversi peran. “Para operator masih memperlakukan mereka sebagai supervisor dan menyerahkan segala hal kepada mereka,” kata Hanifin.

Para supervisor yang terbiasa dengan peran top-down merasa tidak nyaman sebagai koordinator dan sulit menyesuaikan diri, sehingga beberapa diantaranya meninggalkan perusahaan. Namun, jelas van Laar, mereka yang mampu beradaptasi mendapatkan hasil yang positif. Hasil ini membuatnya senang, ketika mendapatkan pengakuan dari seorang koordinator (yang mantan supervisor), yang menyatakan bahwa ketika ia menjadi supervisor, ia mengandalkan stafnya untuk mengerjakan segala hal. Namun ketika menjadi koordinator, ia berhenti bergantung pada stafnya dan mampu menyelesaikan lebih banyak.

Baca juga  Hilirisasi Lanjut untuk Topang Ekonomi 8 Persen

“Itulah perubahan kultural yang kami nantikan,” kata van Laar.

Untuk memudahkan transformasi untuk para operator dan mantan supervisor, van Laar dan tim manajemen berusaha untuk memperjelas peran operator dan koordinator dengan lebih baik. Sesi pelatihan dengan konsultan luar telah membantu proses ini.

Eliminasi Waste dan Pergeseran Budaya

Komponen utama dari Lean Manufacturing adalah tujuan menghilangkan aktifitas tanpa nilai atau non-value-added, alias waste, di setiap proses manufaktur. “Karena biomanufaktur seperti kami memiliki supply chain yang panjang, termasuk operasi kimia, operasi farmasi, transportasi, pergudangan dan distribusi, kami harus mensinkronkan proses yang telah direkayasa ulang sehingga aliran proses bisa lebih diprediksi, nyaris seperti ritme musik,” jelas van Laar.

Hasilnya, perusahaan mampu mengurangi waku throughput menjadi 70 persen. Dengan demikian, level inventori bisa dikurangi tanpa mengorbankan pelayanan pelanggan.

Ketika Lean pertama kali diperkenalkan, seperti yang terjadi di perusahaan manapun, semua orang merasa skeptis dan tidak yakin perubahan bisa terjadi. Di perusahaan farmasi, ketegangan lebih terasa karena orang berpikir Lean akan memaksa mereka melakukan segalanya dengan lebih cepat dan mengkompromisasikan regulasi. Namun van Laar menepis keraguan dengan mengatakan, “Sebenarnya, jika kalian melakukan segalanya dengan benar, maka kalian akan meningkatkan kemampuan untuk memenuhi (regulasi) dan meningkatkan kualitas.”

Komponen lain dari Lean yang tidak kalah penting adalah pergeseran budaya. Untuk melakukannya, “diperlukan perubahan pola pikir”, kenang van Laar. “Jika anda hanya menghilangkan waste dan mensinkronisasikan supply chain, namun tidak bisa menghilangkansilo-silo manajemen dan fungsional, anda tidak bisa mendapatkan keuntungan dari Lean.”

Karena itulah, sebagai bagian dari transformasi Lean, Novartis secara radikal mengubah struktur organisasi dan budayanya dengan menghilangkan fungsi-fungsi dan level manajemen. “Mirip dengan franchise pada marketing, kami mengatur ulang sistem manufaktur dengan menempatkan orang-orang dalam tim dengan pemimpin, dimana tim tersebut berkaitan langsung dengan produk.”

Baca juga  Mengenal Definisi dan Keunggulan Design Thinking untuk Berinovasi

Seperti yang telah diperkirakan, hingga karyawan memahami proses yang baru, mereka menjadi waspada. Namun hasilnya nyata, terukur dan meningkatkan motivasi. Untuk membuktikannya, Novartis telah melakukan survei global untuk mengukur perbaikan Lean secara kualitatif dan kuantitatif.

“Semua pengukuran menunjukkan perbaikan yang signifikan dan dramatis di semua lokasi dan lini produk utama kami,” kata van Laar. “Perusahaan juga telah mengalami perubahal kultural secara global, dimana karyawan merasa lebih nyaman dengan pekerjaan mereka. Jika anda memiliki banyak lapisan manajemen dan silo-silo fungsional, karyawan cenderung frustrasi karena mereka tidak merasa didukung. Kami melihat perbaikan yang dramatis di 17 kriteria kualitatif yang merefleksikan perasaan karyawan mengenai pekerjaan mereka.”

Menuju Continuous Manufacturing

Kebanyakan produsen obat-obatan masih menjalankan langkah-langkah yang terpisah dan terisolasi, bahkan dengan implementasi Lean sekalipun. “Continuous (keberlangsungan) artinya menjadi sesuatu yang mirip sebuah pipa besar dimana anda bisa menyuntikkan segala hal kedalamnya, dengan material mentah sebagai bahan pertama yang dimasukkan, dan obat-obatan sebagai hasil,” jelas van Laar. “Setiap yang bersifat fisik akan berubah secara radikal.”

Menurutnya, langkah pertama menuju keberlangsungan akan terkait erat dengan teknologi. Inilah yang mendorong kerjasama formal antara Novartis dan MIT (Massachusetts Institute of Technology) di tahun 2004, untuk meneliti dan menemukan teknologi yang dibutuhkan. Inilah yang menjadi cikal bakal Novartis-MIT Center for Continuous Manufacturing, program yang pada tahap awalnya melibatkan 50 orang dari Novartis dan MIT, termasuk pada insinyur, ilmuwan dan profesor dari universitas terkemuka di AS tersebut.

“MIT bekerja bersama kami dalam pengembangan dan operasi teknis untuk merancang teknologi yang membantu kami meraih keberlangsungan,” kata van Laar, yang pada saat itu bekerja bersama Bernhardt Trout, PhD, profesor teknik kimia dari MIT untuk merancang teknologi baru. Dengan teknologi tersebut, mereka tidak perlu memisahkan operasi kimia dengan operasi farmasi. Continuous manufacturing memungkinkan pengurangan fasilitas fisik secara signifikan dan mampu memproduksi lebih banyak produk dengan lebih fleksibel, yang mampu memenuhi kebutuhan di berbagai lokasi. Produksi lebih dekat dengan pasar, dan dilakukan dengan biaya lebih rendah.***