Perusahaan terus melakukan transformasi untuk menjadi perusahaan energi kelas dunia. Hal ini disampaikan oleh Suryo Eko Hadianto, Direktur Operasi Produksi PT Bukit Asam, Tbk (PTBA) dalam presentasinya (7/11/2018).
“Dinosaurus yang besar justru mati, tetapi kancil yang hanya kecil sampai hari ini masih bertahan. Kami tidak ingin besar seperti dinosaurus, tetapi kami juga tidak ingin hanya kecil seperti kancil. Maka kami melakukan perubahan, menyikapi perubahan yang ada kami lakukan transformasi. Dari hanya berawal dari sebuah perusahaan tambang batu bara, orientasinya menambang, nyangkul tiap hari. Kami coba bangkit untuk menjadi sebuah perusahaan energi, tidak hanya kelas Indonesia tapi cita-cita kami adalah kelas dunia,” paparnya.
Kelas dunia yang dimaksud Eko adalah memiliki keunggulan operasi, kinerja keuangan, dan sumber daya manusia tingkat dunia (excellence). Jadi, bukan berarti harus ada di seluruh dunia.
PTBA adalah perusahaan BUMN batu bara yang imunnya tidak diragukan lagi. Pada tahun 2015, bisnis batu bara dihadapkan pada kondisi krisis, bahkan hampir 50 persen penambang batu bara di Kalimantan Selatan harus gulung tikar. Tetapi PTBA berhasil melewati pasang surut bisnis dengan baik, “lolos dari kondisi VUCA,” kata Eko.
Menurutnya, kondisi VUCA membawa ketidakpastian dalam bisnis, suatu hal yang bisa menghancurkan tatanan yang sudah ada. “Ini harus kita hadapi, dan real sedang kita hadapi, dan Bukit Asam atas dukungan seluruh karyawan dan komitmennya untuk melakukan perubahan, bisa menghadapI beberapa kali turbulensi bisnis perbatubaraan yang terjadi dan justru di saat turbulensi terjadi PT BA bisa nangkring di posisi teratas,” terang Eko.
Sebagai seorang Direktur Produksi, dalam kesempatan kali ini Eko ingin berbagi dengan peserta OPEXCON tentang pengalamannya membangun strategi operasi produksi khususnya di bisnis batu bara. Eko selalu mengingatkan pentingnya target volume, target kualitas, dan juga optimalisasi biaya. Selain itu dirinya juga menyinggung para pelaku bisnis untuk terus mempertimbangkan sustainability jangka panjang sehingga tidak terjebak oleh upaya efisiensi yang salah.
Menurutnya diperlukan pemahaman yang baik terhadap kondisi pasar, karena persaingan bukan hanya pada produk tetapi juga daya serap pasar. Kalau dalam bisnis batu bara komponen produk meliputi lokasi, kuantitas, dan juga kualitas. Tiga parameter ini akan berdampak pada komponen cost yang harus ditanggung perusahaan. Sementara pasar memiliki tipikal masing-masing.
“Inilah sebetulnya real bisnis yang kita hadapi. Nah, siapa yang akan memenangkan nanti? Kami dari bukit asam melihat dalam struktur persaingan yang seperti ini, selalu terjadi segmen-segmen. Tetapi kalau sudah masuk pada segmennya, maka pertempurannya adalah tinggal harga dengan cost,” jelasnya. Artinya, pada titik terakhir yang menentukan bisnis kita adalah seberapa mampu kita mengantisipasi harga dan biaya yang tidak pasti. Lalu bagaimana kita akan memilih strategi?
Menurut Eko, paling penting adalah mengetahui karakternya. Harga mayoritas adalah sesuatu yang uncontrollable bagi perusahaan. Karena ada faktor bargaining position yang menentukan, selain pemain ada pembeli yang ikut menentukan. “Tetapi perusahaan masih memiliki kontrol sistem operasi, bagaimana efisiensi, bagaimana optimasi, bagaimana memilih bahan baku dan sebagainya itu ada di kebijakan internal perusahaannya sendiri,” jelasnya. Jadi apa yang dimiliki perusahaan bukanlah kendali terhadap harga, tetapi biaya yang harus terkendali.
Strategi Bukit Asam Hadapi Era VUCA
OPEXCON 2018 mengusung tema “Agility, Customer Centricity & Operational Transformation in VUCA World”. Melihat ketidakpastian dalam bisnis seperti hari ini, SHIFT Indonesia ingin memberikan inspirasi kepada seluruh pelaku bisnis sehingga mampu sustain dan terus maju.
Menyoal VUCA, VUCA adalah volatility, sebuah perubahan yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat dan terus terjadi. Tidak ditemukannya titik keseimbangan. Uncertainty, kondisi yang tidak menentu dan tidak dapat diprediksi. “Kita hari ini siapa yang bisa memprediksi bahwa ada Go-Jek, Bluebird yang dulunya sudah menjadi raja apa transportasi di Indonesia, tau-tau goyang,” kata Eko. Complexity, di dalam bisnis banyak hal yang tidak bisa kita pikirkan secara linier. Logika yang kita pakai hari ini tidak bisa hanya menggunakan logika linear, kita harus menggunakan logika lateral. Ambiguity, di dalam informasi-informasi bisnis juga terjadi, terdapat berbagai macam interpretasi.
Lalu bagaimana Bukit Asam menghadapi VUCA? Menurut Eko VUCA mempengaruhi harga, pasar, kebijakan pemerintahan, dan kondisi sosial politik. “Harga dituntut makin kecil, supaya makin kompetitif, tetapi kebijakan-kebijakan selalu berubah dimana setiap perubahan pasti ada cost yang harus di spend disana. Inilah kondisi perusahaan sebetulnya. Kita harus pandai-pandai berstrategi. Bukan customer satisfaction, tetapi sekarang sudah customer oriented. Artinya, kalau kita tidak bisa ngikuti keinginan customer ya ditinggalkan,”jelasnya.
Eko menekankan bahwa dalam mengelola bisnis, Bukit Asam selalu menjunjung tinggi visi nya untuk menjadi perusahaan energi kelas dunia yang peduli lingkungan. Mereka ingin menunjukkan kepada dunia bajwa perusahaan energi pertambangan bukan merusak, tetapi juga memelihara lingkungan dengan baik. Komitmen tersebut dapat dibuktikan dari penghargaab tropi emas dari Kementerian Lingkungan Hidup yang berhasil diraih Bukit Asam selama 5 tahun berturut.
Sementara itu, di sisi lain PTBA juga mengembangkan strategi di beberapa sektor. Baik itu dengan mengembangkan core bisnis sebagai perusahaan tambang batu-bara, meningkatkan nilai tambah batu-bara, mengembangkan produk batu bara menjadi minyak dan gas, menjalin kerjasama dengan Pertamina dan Pupuk Sriwijaya untukmembangun kawasan ekonomi khusus di Tanjung Enim, juga memperluas lokasi produksi ke Kalimantan, dan menjajaki Australia dan Thailand untuk mengembangkan daerah operasi.
“Hal ini adalah bukti bahwa transformasi kami sudah cukup berhasil. Dari net profit margin-nya, dari operating profit margin, kita bisa menunjukkan bisa sekelas dengan perusahaan-perusahaan dari China maupun dari Amerika. Ini yang menunjukkan bahwa kami sudah mulai melangkah menjadi perusahaan energi di kelas dunia,” kata Eko. Penilaian Morgan Stanley terkait pengelolaan emisi maupun pengelolaan keselamatan kerja, PTBA sudah berada di poin A. Sementara itu khusus untuk pengelolaan limbah B3, PTBA juga menempati daftar 5 besar dunia.
Untuk bisa mendapatkan efisiensi biaya, PTBA berupaya keras dalam melakukan optimasi operasi produksi. “Kami selama 2,5 tahun melakukan optimasi produksi. Kami mendapatkan efisiensi biaya yang langsung menyumbang net profit hampir sebesar 2,8 T. Ini atas bantuan teman-teman SSCX yang selalu mengelola motivasi di perusahaan kami, mereka juga menjadi dewan pengarah di kami dalam melakukan Inovasi Award, Bukit Asam Inovasi Award. Kami melakukan inovasi –inovasi dan kami menampung inovasi –inovasi dari berbagai departemen di PTBA dengan demikian, ide-ide kreatif , ide-ide yang cukup gila itu kami tampung dan kalau memang itu bagus dan memberikan benefit kami langsung implementasikan.”
Di akhir presentasi, Eko menggarisbawahi ada dua inti strategi yang selama ini dijalankannya. Pertama, orientasi kepada cost. Cost harus menjadi cost leader. Kedua, menjadi cost leader tidak hanya secara usual tetapi harus penuh dengan inovasi. “Inovasi ini tidak boleh mati,” pungkasnya.