Beberapa penulis dalam dunia manajemen mengemukakan korelasi antara usia perusahaan dengan tumbuh kembangnya. Perusahaan yang muda, memiliki tatanan yang sederhana sehingga memungkinkan perusahaan untuk bergerak lincah dan fleksibel sehingga akan dengan mudah merespons perubahan baik di internal maupun eksternal mereka. Namun, meskipun fleksibel semua proses dan komunikasi bisnis dapat dikendalikan dengan baik oleh pemimpin dan manajemen perusahaan.
Ya, nampaknya korelasi di atas benar adanya. Kita bisa melihat praktiknya di PT. Golden Hope Nusantara, Sime Darby Group. Pabrik minyak goreng terbesar di pulau laut dengan kapasitas 2,500MT/Hari. Perusahaan ini mulai dibangun pada tahun 2008 dengan luas area 34 hectar. Perusahaan yang mulai beroperasi pada Juni 2013 ini mempunyai tingkat kelincahan yang sangat tinggi. Pemahaman akan kesempatan bisnis diimbangi dengan kemampuan untuk terus memperbaiki bisnis mereka. Hal ini terbukti di tahun keempatnya, PT. Golden Hope Nusantara sudah menjadi salah satu perusahaan ternama dan dipercaya. Perusahan ini pun telah mendapatkan banyak sertifikat, diantaranya Halal, Kosher, RSPO, ISO 9001, ISO 14.000, OHSAS 18.000 dan mendapatkan Blue Award Propernas dari BLHD Provinsi Kalimantan Selatan.
Mohd Hamdi Abd Karim, Direktur PT. Golden Hope Nusantara saat ditemui SHIFT Indonesia beberapa waktu lalu di Jakarta mengatakan bahwa saat ini PT. Golden Hope Nusantara sudah berhasil menembus pasar ekspor di angka 98% dari total produksinya dengan negara tujuan seperti India. Ya, pesatnya perkembangan perusahaan mampu mengantarkan PT Golden Hope Nusantara mendapatkan banyak kepercayaan dari perusahaan asing, terbukti mereka telah ekspor minyak ke Malaysia, Cina, Timur Tengah hingga ke Eropa.
Berpegang Kuat pada LSS Policy
Perkembangan perusahaan yang begitu cepat ini tidak lepas dari usaha di internal PT. Golden Hope Nusantara sendiri untuk terus melakukan perbaikan. Sejumlah rencana aksi perbaikan pun telah disiapkan secara matang dalam bentuk blueprint. “Pada tahun 2014 kita buat blueprint untuk Lean Six Sigma (LSS) di dalamnya ada 5 tahun perencanaan. Mulai dari tahun pertama dan tahun kedua, kebanyakan berisi capacity building, kita mesti ada human resources yang benar. Di tahun pertama, ada White Belt Certificate. Setelah itu, kami sharing mereka untuk Green Belt Certificate dan kemudian kita akan cari kandidat yang bagus untuk Black Belt”, jelas Hamdi.
Dalam blueprint yang dibuat tersebut, PT. Golden Hope Nusantara juga turut memasang target dalam ajang kompetisi improvement sebagai bahan masukan mereka. Mereka akan mengikuti kompetisi operational excellence di tahun kelima. “Kita buat pertandingan operational excellence di tahun kelima tapi alhamdulillah di tahun keempat kita sudah menang”, jelas Hamdi. Pertandingan yang dimaksud adalah kompetisi proyek improvement berskala nasional yang diselenggarakan oleh SHIFT Indonesia di setiap tahunnya.
Semua agenda dalam blueprint tersebut pun mendapat dukungan dari induk perusahaan mereka, Sime Darby melalui departemen PSQM (Plantation Sustainability Quality Manajemen). “Di bawah PSQM ada divisi operational excellence yang akan melihat Six Sigma, mereka yang datang untuk memberikan training”, jelas Hamdi. Pendekatan Six Sigma adalah proyek dimana setelah peluang perbaikan berhasil teridentifikasi, maka dibentuklah suatu tim dengan sumber daya dan rencana kerja untuk mengeksekusinya. Disini Blackbelt di perusahaan bertugas meyakinkan top manajemen untuk melakukan LSS dan menunjukkan seberapa besar benefit yang akan didapat. Golden Hope mempunyai LSS policy untuk menunjukkan adanya support top manajemen. LSS policy tersebut mereka tempel sehingga bisa dilihat oleh semua karyawan. Karena setiap orang, setiap departemen akan dilibatkan dalam program LSS dan semua orang bisa melakukan saving project, bahkan untuk divisi marketing sekalipun.
Perusahaan selalu mengingatkan para karyawannya untuk memahami dan melakukan saving serta tidak lupa untuk mendaftarkan proyek tersebut. “Kebanyakan orang buat saving tapi tidak buat report dan record. Contohnya untuk bagian procurement, dalam pengadaan mereka mengadakan negosiasi terhadap penawaran. Kesepakatan harga yang dicapai kita anggap sebagai sebuah project karena melihat disana ada saving”, jelasnya. Nantinya setiap proyek yang didaftarkan ke manajemen tersebut akan mendapatkan awareness dari perusahaan sehingga bisa memotivasi yang lainnya.
Customer First
Meskipun sejumlah perbaikan terus dilakukan untuk melakukan efisiensi, Hamdi menekankan bahwa di PT. Golden Hope Nusantara customer itu nomor satu (customer first- red). “Kita tidak boleh ganggu customer requirement”, jelasnya. Di dalam melakukan improvement pada dasarnya untuk perusahaan bisa lebih dekat dengan konsumen. Sebab, dengan melakukan cost reduction secara tidak langsung perusahaan akan melakukan share kepada konsumen dengan menempatkan harga terbaik untuk kualitas terbaik. “Karena customer akan memilih harga terendah untuk kualitas yang sama, untuk mendapatkan harga rendah itu bisa dilakukan dengan cost reduction”, tambah Hamdi.
Langkah pertama yang dilakukan Golden Hope untuk melakukan cost reduction adalah melalui proses identifikasi masalah. Proses ini menggunakan Pareto Chart, salah satu jenis chart yang terdiri dari grafik balok dan juga garis. Penamaannya sendiri diambil dari nama orang yang menemukannya yaitu Vilfredo Pareto. Dengan pareto perusahaan akan mengetahui biaya yang membebani perusahaan tersebut ada dimana. Cost reduction yang dilakukan di setiap lini proses ini mampu memberikan efisiensi yang tinggi di perusahaan, sehingga membedakan persepsi perusahaan Golden Hope dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Di Golden Hope, efisiensi tidak berfokus pada program “No Over Time”. Menurut Hamdi, masih banyak potensi penghematan yang bisa dilakukan untuk menghasilkan saving selain mentiadakan lembur. Angka yang yang dipangkas untuk lembur kurang lebih hanya 10% dari total biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, tentu masih banyak potensi efisiensi di tempat lain. Potensi inilah terus digali dengan mewajibkan para Green Belt untuk membuat proyek perbaikan. “Mereka bekerja sehari-hari disitu sepatutnya tahu apa masalahnya”, jelasnya.
Kemampuannya dalam menggali potensi perbaikan menjadikan perusahaan ini optimis untuk mencicipi pasar di Kalimantan Selatan. Saat ini Golden Hope masih terus menyiapkan strategi untuk menarik hati pelanggan lokal yang notabene sampai sekarang masih terkungkung dengan nama besar atau brand suatu produk. Pemilihan Kalimantan Selatan sebagai lokasi untuk test market bukan tanpa sebab, namun sudah diperhitungkan dengan risiko bisnis yang matang dengan melihat aspek infrastruktur. PT. Golden Hope Nusantara, yang bermarkas di Kota Baru, Kalimantan Selatan menjadi salah satu perusahaan yang merasakan dampak akibat permasalahan infrastruktur ini sehingga untuk melakukan perluasan pasar ke dalam negeri khususnya Jawa dianggap masih kurang ekonomis. “Pertama, dari segi logistik, pasaran di Indonesia luasnya di Jawa. Transportasi Kalimantan ke Jawa masih mahal, tidak ekonomik . Kedua, fasilitas tidak mendukung, misal kontainer belum ada di Kota Baru,” tutupnya.