Di banyak organisasi, sering muncul pertanyaan yang sama yang berkaitan dengan lean dan quality manajemen. Pertanyaannya, apakah ada perbedaan antara kualitas dan nilai? Haruskah ada dua tim yang bertugas sesuai dengan fungsi masing-masing, untuk mewujudkan continuous improvement dan untuk implementasi lean? Lalu, peran apakah yang harus dimiliki dari masing-masing fungsi tadi?
Selama beberapa masa, perusahaan-perusahaan telah memfokuskan kualitas mereka dengan cara mendengarkan konsumen dan mengurangi cacat atau waste. Bagi mereka, nampaknya dengan melakukan dua hal tersebut, mereka telah berhasil meningkatkan kualitas dari produk-produk yang telah berhasil diciptakan. Mereka sepakat bahwa perusahaan yang tidak memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan pelanggan untuk meningkatkan kualitas akan kalah bersaing di era globalisasi sekarang.
Sekarang, ketika begitu banyak perusahaan yang membangun daya saing juga bottom line dengan implementasi lean untuk meningkatkan nilai pelanggan, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mungkin kualitas dari suatu produk dapat sesuai dengan manajemen lean?
[cpm_adm id=”10097″ show_desc=”no” size=”medium” align=”right”]
Yang haru dipahami adalah, seharusnya kualitas dan lean bisa menjadi sangat cocok. Toyota, salah satu perusahaan yang telah berhasil mengembangkan dan menerapkan metode lean, sangat terkenal dengan komitmen mereka dalam meningkatkan dan mencapai keunggulan kualitas. Bagi mereka, kualitas adalah apa yang mendominasi pangsa pasar, dan hal tersebut hingga kini yang membawa mereka tetap menjadi yang terbaik dari semua kompetisi. Oleh karena itulah Toyota menjadi contoh yang sangat sederhana dimana kualitas dan manajemen lean dapat berkolaborasi dengan baik untuk mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan oleh Lucent Technology, bahwa semua pelanggan yang menganggap suatu produk memiliki kualitas tinggi akan siap untuk membayar dengan harga premium. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara kualitas dan nilai.
Namun, sebaiknya pastikan terlebih dahulu bahwa kita telah menggunakan istilah yang tepat dengan melihat dan meninjau kembali definisi dari masing-masing kata tersebut.
The American Society for Quality mendefinisikan kualitas sebagai sebuah istilah yang bersifat subjektif yang pastinya berbeda-beda maknanya terhadap setiap orang. Dalam penggunaannya secara teknis, kualitas itu sendiri memiliki dua makna: 1. Berarti karakteristik dari suatu produk atau jasa yang dilihat dari kemampuannya untuk menyatakan suatu kepuasaan atau terpenuhinya kebutuhan, dan 2. Suatu produk atau layanan yang bebas dari kekurangan.
Nilai, atau value pun memiliki beragam definisi dan juga arti, tetapi kamus Webster menyebut dan mendefinisikan kata nilai sebagai: 1. Jumlah, seperti barang, jasa ataupun uang, yang dianggap setara, adil, dan cocok untuk sesuatu yang lain, dan 2. Sesuatu yang layak dalam kegunaannya atau kepentingan yang berkaitan dengan pemiliknya.
Dalam dunia dan sistem kerja lean, nilai diartikan sebagai sesuatu yang dianggap layak untuk membayar dengan sejumlah uang. Pelanggan memutuskan sendiri dalam timeline, tingkat kualitas produk atau jasa yang telah mereka bayarkan. Selanjutnya, meskipun pelanggan cenderung menikmati semua produk yang memiliki kualitas terbaik, adanya keterbatasan sumber daya akan membuat mereka untuk berfokus pada biaya. Saat ini adalah saat dimana para pelanggan mulai melihat arti nilai dari sejumlah uang yang telah mereka keluarkan.
Sebenarnya, mengapa produk-produk berkualitas terbaik seringkali dikaitkan dengan harga yang tinggi? Padahal, bisa saja muncul kesalahan dari pemahaman tersebut, dengan terjadinya cacat produk yang telah dibeli dengan harga tinggi tadi.
Kebanyakan dari kita tampaknya percaya bahwa produk atau jasa yang memiliki kualitas yang baik akan dikenakan biaya produksi yang sedikit lebih besar. Juga, kebanyakan dari kita masih berpikir bahwa satu jenis produk dibuat dengan proses yang lebih baik dari produk yang mungkin mirip tetapi diproduksi secara massal. Dalam semua persoalan ini kita benar-benar membuat suatu pertimbangan terhadap nilai. Jika pelanggan merasa bahwa mereka telah mendapatkan nilai yang layak, mereka akan menunjukkan kepuasan. Namun, apabila ternyata sebaliknya, siap-siap menuai kritikan dan keluhan.
Ketika sebuah organisasi mulai menerapkan lean, fokusnya adalah pada peningkatan persepsi atau sudut pandang pelanggan terhadap nilai dari suatu produk atau jasa yang dihasilkan. Seperti yang telah diuraikan tadi, nilai itu selalu bersifat subjektif. Perusahaan dapat merasa yakin bahwa setiaporang pasti ingin kualitas yang lebih baik dengan harga yang sama ataupun bahkan dengan harga yang lebih rendah. Dalam hampir semua kasus, semakin rendah harganya, kualitasnya akan lebih baik dan semakin tinggi juga nilai yang dirasakan.
[cpm_adm id=”10576″ show_desc=”no” size=”medium” align=”left”]
Perusahaan yang telah mengimplementasikan lean membangun dan menciptakan nilai dengan mengurangi cycle time atau turnaround time, menurunkan biaya, dan meningkatkan kualitas. Mereka ingin menghasilkan sejumlah produk dengan kualitas yang sama atau bahkan lebih tinggi dari yang pernah diperoleh pelanggan di tempat lain, dengan biaya yang pastinya lebih rendah. Bagi mereka, itulah sebenarnya persaingan dalam dunia bisnis.
Itulah sekilas mengenai kualitas dan juga lean. Mereka sama-sama berperan penting, hanya didefinisikan secara berbeda. Selanjutnya, keduanya akan menjadi poin yang sangat dibutuhkan untuk mampu bersaing dalam perekonomian saat ini. Pelanggan mencari nilai ketika mereka membeli barang, dan kualitas tentunya menjadi penentu utama yang akan membentuk nilai tersebut. Namun, perusahaan pun tetap tidak bisa mengabaikan biaya, ketepatan waktu, dan kemampuan untuk sepenuhnya memenuhi kebutuhan pelanggan sebagai penentu lainnya dalam menciptakan nilai.***
Sumber: qualitydigest.com