Inovasi dari Toyota Production System (TPS) telah berhasil didokumentasikan dengan baik dalam semua literatur manajemen dan kurikulum dasar dari sekolah bisnis di seluruh dunia. Konsep-konsep ini biasanya dibahas dalam konteks operasional dalam dunia industri, tetapi ternyata metode tersebut juga cocok dan sangat sesuai untuk diterapkan untuk masalah interpersonal antara semua orang.
Jidoka dalam TPS berarti ‘otomatisasi dengan sentuhan manusia’. Alih-alih mengabaikan masalah dan melakukan kekeliruan tanpa pikir panjang, lini produksi Toyota dirancang untuk menghentikan diri mereka sendiri, sehingga pemikiran yang jauh lebih baik dapat diterapkan untuk lebih memahami dan mengatasi masalah sebelum proses produksi dilanjutkan. Berikut salah satu contoh yang dapat diambil dari proses produksi si Toyota:
- Mesin mendeteksi adanya masalah dan mengkomunikasikannya
- Muncul situasi yang menyimpang dari alur kerja yang semenstinya
- Penghentian alur
- Manajer atau supervisor menghilangkan akar penyebab masalah
- Perbaikan dimasukkan dalam alur proses
- Produk yang berkualitas berhasil diproduksi
Keuntungan yang secara nyata dapat diraih adalah bahwa pekerja di lini produksi – dan itu termasuk juga mesin-mesin yang mereka operasikan – mampu memperbaiki masalah yang muncul dengan segera, langsung pada sumber masalahnya, bukan mengabaikan produk akhir yang rusak atau kurang bagus. Intervensi kecil ini ditambahkan pada proses perbaikan secara terus menerus yang sedang berlangsung.
[cpm_adm id=”10097″ show_desc=”no” size=”medium” align=”right”]
Namun, satu hal yang diperlukan adalah kemauan organisasi yang lebih besar untuk menghentikan proses produksi, berulang kali, dan percaya sepenuhnya bahwa interupsi atau gangguan kecil ini pada akhirnya akan menghasilkan satu produk yang tidak hanya baik pada kualitasnya, tetapi juga telah mengalami satu proses produksi yang lebih efisien dan menguntungkan secara keseluruhan.
Dengan mengubah sedikit terminologinya, konsep TPS ini akan mampu diimplementasikan dengan sederhana untuk hampir semua masalah interaksi interpersonal, dari percakapan pribadi dengan bertatap muka, hingga kepada pertemuan dalam jumlah yang besar. Berikut konsep dari jidoka yang bekerja pada sistem interpersonal:
- Orang-orang yang terlibat telah terlatih untuk merasakan dan merespon masalah komunikasi, baik konseptual maupun emosional.
- Masalah komunikasi ini telah mengganggu interaksi pada alur kerja yang normal
- Siapapun yang terlibat dalam proses tersebut diberdayakan untuk menghentikan progres interaksi mendatang untuk mencapai tujuan
- Setiap orang yang terlibat dalam interaksi diperbolehkan untuk berbicara tentang masalah komunikasi
- Perbaikan dalam hal komunikasi – baik pada tingkat personal maupun kelompok – telah diidentifikasi dan diimplementasikan
- Sehingga diperoleh interaksi komunikasi yang jauh lebih baik
Secara lebih sederhana, dalam hal relationship, pengetahuan jidoka adalah kemampuan untuk menghindari rapat mendadak yang terkesan terburu-buru menjadi satu agenda yang tersusun, juga akan membuat satu masalah komunikasi akan menemukan solusi yang lebih baik. Dan seperti halnya dalam operasional di bidang industri, untuk dapat mengimplementasikannya dengan sukses dibutuhkan kemauan yang lebih besar dari organisasi untuk mentolerir adanya perbaikan dan sepenuhnya yakin bahwa mereka akan menjadi satu tim yang lebih baik dan lebih efisien dalam jangka panjang.
Ed Batista, seorang coach dan instruktur dari Stanford Graduate School of Business mengatakan konsep ini sangat mudah dipahami oleh sebagian besar orang, tetapi menjadi sesuatu yang sulit ketika dipraktikkan. Tidak ada orang yang sepenuhnya ingin terlibat ke dalam progres tersebut, terutama ketika yang mereka inginkan adalah mengakhiri rapat sesegera mungkin sehingga mereka dapat kembali bekerja. Dengan pemikiran tersebut, Ed memberikan 3 cara untuk mengimplementasikan ide-ide secara nyata dalam organisasi:
[cpm_adm id=”10576″ show_desc=”no” size=”medium” align=”left”]
- Menetapkan norma-norma atau aturan yang membantu tim untuk memperoleh baik ilmu pengetahuan dan juga pengendalian emosi mereka. Namun, berhati-hatilah karena kumpulan emosi orang-orang yang cerdas tidak otomatis berasal dari emosi sebuah kelompok yang cerdas.
- Buat aturan ini secara jelas dapat diterima bagi siapa saja untuk menghentikan percakapan untuk menilai bagaimana dampaknya. Terkadang, membicarakan bagaimana kita berbicara menjadi hal yang baik yang digunakan dalam pembicaraan kelompok.
- Pada akhirnya, konsep ini akan membuat semua orang akan tahu bahwa intervensi tersebut sangat sesuai dalam budaya yang kaya akan umpan balik terhadap semua karyawan.
Perusahaan – dalam hal ini organisasi – tidak mendapatkan budaya yang mereka inginkan, melainkan mereka mendapatkan budaya yang mereka adaptasikan. Dan ketika tim gagal menggunakan konsep ini untuk mengatasi masalah komunikasi, ketika tim gagal untuk menerapkan konsep jidoka dalam individu mereka masing-masing, berarti tim memang tidak ingin menjadikan hubungan tim menjadi lebih baik. Kembali pada penjelasan di atas, bahwa untuk dapat sukses dalam mengimplementasikan konsep ini, dibutuhkan kemauan yang sangat besar dari organisasi.***
Sumber: hbr.org