Kementerian Perhubungan baru saja melansir data terbaru mengenai ketepatan waktu atau On Time Performance (OTP) seluruh maskapai penerbangan di Indonesia sepanjang 2014. Dari data OTP yang dirilis Kemenhub, setidaknya ada 15 perusahaan maskapai dengan jumlah penerbangan mencapai 611.964.

Berikut rincian ketepatan waktu masing-masing maskapai penerbangan berdasarkan data Kemenhub:

  1. Travira Air 100% dari 47 penerbangan
  2. NAM Air 92,92% dari 3.477 penerbangan
  3. Batik Air 90,78% dari 13,536 penerbangan
  4. Mandala Airlines 88,79% dari 1,721 penerbangan
  5. Garuda Indonesia 88,52% dari 164,623 penerbangan
  6. Travel Express 86,30% dari 10.156 penerbangan
  7. Sriwijaya Air 83,02% dari 65,940 penerbangan
  8. Air Asia 78,67% dari 22,536 penerbangan
  9. Citilink 78,20% dari 54,881 penerbangan
  10. Lion Air 73,80% dari 171,498 penerbangan
  11. Wings Air 71,12% dari 57,810 penerbangan
  12. Aviastar 69,40% dari 2,193 penerbangan
  13. Kalstar 65,30% dari 22,151 penerbangan
  14. Trigana Air 62,91% dari 15,475 penerbangan
  15. Transnusa 54,41% dari 5,902 penerbangan

Menariknya, beberapa hari sebelum Kemenhub merilis data maskapai paling on time ini, tepatnya pada 19-20 Februari lalu, salah satu maskapai penerbangan nasional yang memiliki jumlah penerbangan paling banyak, mendapat serbuan komplain dari para penumpangnya karena keterlambatan penerbangan hingga menelantarkan ribuan calon penumpang. Keterlambatan penerbangan ini bahkan disebut-sebut sebagai yang terparah dalam sejarah penerbangan dunia.

Seolah tak ada habisnya, keterlambatan penerbangan oleh maskapai nasional masih terus terjadi dan seakan tidak pernah ada solusinya. Pemerintah selaku pihak regulator, sekalipun telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011, tetap saja tidak mampu menekan tingkat keterlambatan pesawat dan kepatuhan perusahaan maskapai untuk menjalankannya. Lalu, apa yang terjadi?

Strategi yang tak imbang?

Bagi konsumen maskapai penerbangan Indonesia, keterlambatan jadwal penerbangan ialah hal yang mungkin biasa. Saking terbiasanya, tak banyak kasus keterlambatan pesawat yang berakhir di pengadilan. Namun, ternyata tidak untuk dua hari tersebut (19-20 Februari), keterlambatan salah satu maskapai di Indonesia dianggap sudah di luar kebiasaan umumnya. Pasalnya, jumlah penumpang yang terlantar karena keterlambatan penerbangan mencapai ratusan orang. Akibatnya, penumpang merasa dirugikan, baik kerugian material maupun kerugian imaterial seperti hilangnya kesempatan karena tidak sampai di tujuan tepat waktu.

Baca juga  Ingin Organisasi Inovatif? 3 Landasan Ini Wajib Ada Loh

Ambisi perusahaan maskapai nasional untuk melakukan ekspansi tak lepas dari besarnya potensi pasar penerbangan nasional dilihat dari luas wilayah Indonesia dan jumlah populasinya yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Di sisi lain, meningkatnya taraf hidup masyarakat Indonesia akibat naiknya golongan kelas ekonomi menengah pada akhirnya menjadikan kebutuhan akan transportasi udara menjadi kebutuhan primer yang tak bisa terhindarkan.

Ambisi perusahaan penerbangan melakukan ekspansi telah menghasilkan kebijakan pembelian pesawat baru yang luar biasa secara jumlah. Selain untuk mewujudkan ambisi, pembelian pesawat baru itu menjadi hal yang harus dilakukan perusahaan maskapai untuk meminimalkan tingkat kecelakaan pesawat akibat kemampuan perawatan pesawat yang minim oleh perusahaan maskapai. Sayangnya tidak untuk harapan dapat meminimalkan keterlambatan.

Faktor keterlambatan

Beberapa maskapai, demi memaksimalkan pemanfaatan dari peningkatan penumpang, mereka juga memaksimalkan trafik menjadi lebih tinggi. Misalnya, dari waktu normal penerbangan, beberapa maskapai hanya menerbangkan 1 pesawat dengan 8 jam sehari, sedangkan maskapai yang memanfaatkan trafik penerbangan, bisa menerbangkan 10-12 jam per hari. Akibatnya, waktu jeda antar penerbangan pertama dengan selanjutnya menjadi lebih sempit sehingga berimbas pada tingkat delay yang lebih tinggi.

Namun, faktor keterlambatan bukan hanya disebabkan oleh tingginya trafik penggunaan pesawat saja, kondisi bandara Soekarno Hatta sebagai bandara utama di Indonesia juga berpengaruh terhadap OTP. Pengaruh tersebut seperti tingginya trafik perjalanan pesawat dengan kondisi hanya 2 runway sehingga lazim bila Anda perhatikan banyak pesawat yang antri untuk mendapat giliran terbang. Atau faktor lain, di luar kesalahan teknis, seperti saat pesawat menabrak ‘benda asing’ saat penerbangan.

Perbaiki pelayanan

Meskipun hasil OTP sudah dirilis oleh Kemenhub pada akhir Februari lalu, namun pihak maskapai yang mengalami insiden dan kerusakan teknis hingga menyebabkan 16 penerbangan, mengaku bahwa penilaian itu kurang begitu fair. Pihak maskapai mengatakan Kemenhub merilis data peringkat on time (OTP) dengan memukul rata maskapai. “Harusnya dibandingkan dengan frekuensinya,” jelas Direktur Operasional maskapai yang memiliki armada paling banyak itu.

Baca juga  Inovasi: Perjalanan Astra Isuzu menuju Operational Excellence

Meski demikian, pihak maskapai berjanji akan melakukan perbaikan pelayanan. Beberapa uapyanya antara lain semua staf akan dilatih untuk menangani insiden serupa di masa mendatang, membentuk tim khusus untuk menangani situasi darurat di bandara, dan juga akan mengalokasikan beberapa armada pesawat untuk mendukung operasi di Indonesia.***

Sumber: Dari berbagai sumber