Operational excellence telah menjadi semacam trending topic di abad ini, dan masih “dipuja” secara luas di berbagai belahan dunia. Metodologi Lean, Six Sigma, dan TPM, yang berasosiasi dengan operational excellence, merupakan salah satu solusi yang sering diambil untuk mencapai kesempurnaan operasional dari suatu bisnis. Tragisnya, beberapa perusahaan dengan proses super yang berhasil mendominasi pasar kerap menjadi mangsa dari “kembaran” operational excellence yang jahat: systemic inertia.
Si kembaran jahat inilah yang dimaksud oleh Costas Papaikonomou di salah satu artikelnya:
Dalam usaha untuk meningkatkan profitabilitas dan keuntungan jangka pendek, perusahaan (dimanapun berada) seringkali terjebak dalam kecenderungan optimasi berlebihan atas proses bisnis mereka dan tidak menghiraukan kecenderungan yang “hampir pasti” dalam perencanaan: 80% rencana berjalan dan sisakan 20% untuk fleksibilitas dan hal-hal yang tidak terprediksi. Menyediakan “lahan” untuk hal-hal tidak terprediksi inilah yang kadang menjadi ganjalan, karena artinya perusahaan harus menyediakan sumber daya mahal yang mungkin tidak terpakai. Lebih buruk lagi, sumber daya “menganggur” tersebut bisa jadi disalah-gunakan untuk kepentingan tertentu; improvisasi yang menjadi mimpi buruk anti-operasional bagi pada process designer.
Faktanya, dunia yang berputar di sekeliling kita secara alami memang tidak terprediksi. Inilah kenyataan yang seringkali luput dari pandangan para pemimpin di perusahaan. Mereka menciptakan “monster” yang membuat bisnis mereka kaku, tidak responsif dan bermasalah. Masalah menyerang semakin cepat, bukan hanya karena situasi ekonomi yang terus berubah, tapi juga karena dua alasan berikut ini:
1. Sistem yang Terbutakan
Para master di bidang efisiensi tidak aka nmenyadari bahwa mereka berada dalam masalah hingga sistem yang tadinya terus berjalan mulus mulai mandek. Pada saat itu, mungkin sudah terlambat untuk memperbaiki sistem. Persis seperti yang terjadi pada kasus Dell: selama belasan tahun, Dell menikmati posisi sebagai master di bidang desktop PC yang mereka rakit sesuai dengan spesifikasi yang diminta pelanggan. Namun ketika perhatian pasar beralih kepada laptop, Dell tidak segera menyadarinya hingga stok desktop PC mereka menggunung; kejadian yang selama ini belum pernah terjadi. Seharusnya, Dell berkorban untuk menjadi “tidak terlalu sempurna” di bidang desktop PC dan memanfaatkan sebagian sumber dayanya untuk mengejar pasar non-desktop yang mungkin tidak terlalu profitable (pada saat itu), yaitu laptop yang kemudian disusul oleh tablet PC.
Toyota juga mengalami hal yang sama. Manufaktur paling efisien di dunia itu mengalami kerugian yang sangat banyak sebelum mereka mampu menjinakkan sang monster dan beradaptasi terhadap perubahan dinamika pasar.
2. Sikap Kerja Operator
Keahlian dan sikap kerja (attitude) sama-sama diperlukan untuk mencapai operational excellence. Bisnis yang memiliki kebiasaan “menumpuk” operator proses yang sangat berpengalaman secara alami akan mengalami apa yang disebut “badai improvisasi”. Semakin besar tumpukan tersebut, kekacauan akan semakin sering terjadi karena para “ahli” yang berkumpul di satu tempat cenderung akan selalu berdebat satu sama lain. Jadi, semakin banyak “senjata” yang dipersiapkan untuk mengejar operational excellence, semakin lemah kemampuan untuk berinovasi dan mengenali kesempatan besar yang selanjutnya. Bayangkan saja jika Anda menghadiri pertemuan untuk memecahkan masalah sistem yang macet, dan pertemuan tersebut dipenuhi oleh operator proses. Pola pikir operasional cenderung mencari ketegasan lebih dalam perencanaan dan kontrol proses yang lebih ketat, alih-alih memperbaiki output atau proses itu sendiri.
Pada titik ini, Anda mungkin berpikir, apakah Papaikonomou ini adalah salah seorang yang menentang ide operational excellence? Tentu saja bukan. Dalam tulisannya, ia menegaskan bahwa operational excellence tetap memiliki harapan besar untuk terjadi, dan akan lebih baik lagi jika perusahaan bisa menciptakan solusi operationa excellence yang lebih sederhana, sehingga akuntan tidak menyadari perubahan apapun. Untuk melakukannya, Papaikonomou memberikan beberapa saran:
Gagal Lebih Cepat
Makin cepat Anda melewati kegagalan dan berurusan dengan kerugian kecil akan menyelamatkan Anda dari kerusakan besar yang lebih berbahaya. Lakukanlah banyak peluncuran kecil alih-alih satu peluncuran besar. Pastikan lini produksi Anda mengalami penyimpangan, macet atau gagal secara lebih cepat ketika permintaan berubah, atau bahkan naik. Secara sistematik, operational excellence akan mendorong bisnis menuju keserupaan, sementara kemampuan untuk menyadari, bereaksi dan menciptakan perbedaan semakin kuat untuk menggapai kesempatan baru.
Sikap Wirausaha dan Insentif
Di dunia operational excellence, proses menjadi lebih penting daripada output. Kenyataan ini tercermin dalam KPI karyawan di setiap level dan disiplin. Manajer marketing menerima pujian atas performa konsep dalam riset pasar, lebih daripada ia mendapat pujian atas penjualan yang besar. Manajer manufaktur menerima penghargaan untuk perbaikan efisiensi aset, namun tidak untuk cara pintar yang ia gunakan untuk memanfaatkan waktu idle ketika mengoptimasi kapasitas untuk memenuhi permintaan pasar. Tim customer service memiliki kemampuan yang semakin baik ketika memberikan pelayanan pelanggan seperti yang tertuang dalam buku panduan, tapi tidak berkutik ketika dihadapkan pada masalah yang tidak ada dalam buku panduan tersebut.
Untuk menghindari saudara kembar si operational excellence yang jahat, seperti yang dikemukakan oleh Papaikonomou, perusahaan harus bisa lebih fleksibel dan menurunkan standar operational excellence-nya. Maksudnya adalah, jangan terlalu kaku dan keras kepala dalam usaha mencapai efisiensi yang sempurna. Temukanlah keseimbangan antara perencanaan dan improvisasi; ini akan menghindarkan Anda dari systemic inertia yang seringkali menguntit di balik punggung operational excellence.***