Handry Satriago memperoleh posisi puncak di GE Indonesia bukan dengan cara instan. Sejak bergabung dengan General Electric pada tahun 1997, Handry telah melalui perjalanan mendaki yang terjal, demi mewujudkan cita-citanya “mempercepat” langkah GE dan menjadikannya perusahaan world-class yang tetap berlandaskan budaya lokal.
Memulai karir di GE International sebagai Business Development Manager, Handry memulai perjalanan karirnya di perusahaan multinasional yang memiliki lebih dari 15 unit bisnis di seluruh dunia itu. Hanya dalam setahun, Handry ditarik oleh GE Lighting Indonesia untuk memegang jabatan General Manager untuk Industrial Lighting.
Keinginannya untuk terus belajar membawa Handry kepada keputusan untuk menerima tawaran menjadi Regional Black Belt di GE Power Systems Asia Pacific. Disinilah Handry berkenalan lebih dalam dengan dunia Continuous Improvement dan Operational Excellence. Pengalaman menjadi Black Belt selama 4 tahun di regional Asia Pasifik inilah yang mempengaruhi gaya kepemimpinannya sebagai CEO di GE Indonesia.
“Sebagai pemimpin, saya sangat bawel,” kata Handry dalam wawancara eksklusif dengan Majalah Shift (14/03/2014). “Six sigma ‘kan selalu bicara detail, berorientasi pada proses. Karena tuntutan saya banyak, kadang memang menciptakan beberapa masalah. Tapi tujuannya selalu untuk menjaga standar tetap tinggi.”
Untungnya, masalah yang timbul akibat tuntutan Handry atas detail biasanya dapat diatasi dengan baik. Setiap karyawan di GE Indonesia yang mulai memahami gaya kepemimpinannya mulai bisa menerima dan bekerja sesuai standar yang tinggi. Mereka yang baru bergabung diberikan banyak pelatihan dan harus belajar bahwa pemimpinnya tidak mungkin menurunkan standar yang ada.
Handry sendiri melakukan beberapa penyesuaian terkait posisi CEO yang saat ini ia emban. Diakuinya, ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan antara memimpin sebagai Black Belt dan memimpin sebagai CEO. “Ketika dulu sebagai Black Belt, aktivitas kepemimpinan lebih terkait kepada aspek komersil, komunikasi, dan legal. Tapi konsepnya tetap sama.”
Mengarah Kepada Satu Tujuan
GE telah hadir di Indonesia sejak 1940. Sampai hari ini, konglomerasi tersebut telah melebarkan sayapnya untuk melayani sektor energi, air, transportasi darat dan udara, kesehatan dan jasa finansial dan memiliki lebih dari 700 orang karyawan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Handry untuk memandu langkah menuju satu tujuan. Inilah yang ia sadari sejak menerima jabatan CEO, pentingnya visi dan misi bersama untuk menyelaraskan langkah.
GE Indonesia digerakkan oleh visi dan misi bersama yang ditanamkan dan dimiliki oleh karyawannya. Menurut Handry, visi GE Indonesia adalah menjadi perusahaan yang berkontribusi kepada Tanah Air tercinta. Untuk mencapainya, perusahaan harus menyediakan solusi berupa teknologi yang bernilai dan dapat memajukan Indonesia. Di sisi lain, GE Indonesia juga aktif mengembangkan sumber daya manusia asli Indonesia, melakukan lokalisasi dalam hal produk, jasa dan aktivitas perusahaan.
Memberikan kontribusi kepada masyarakat Indonesia adalah salah satu misi penting GE Indonesia. Perwujudan dari misi ini adalah aktivitas pengabdian masyarakat seperti GE Scholar-Leader yang memberikan dukungan bagi mahasiswa Indonesia. Tak hanya berhenti di edukasi formal, GE juga mendukung penuh program-program seperti Early Learning Development dan pemberdayaan guru. Di bidang kesehatan, GE mendonasikan peralatan medis sebagai bagian dari program Developing Health Globally. Di bidang industri, GE Indonesia memberi kesempatan bagi perusahaan di industri manufaktur Indonesia untuk menjadi pemasok dan perusahaan bertaraf world class dengan program global sourcing yang GE adakan.
FastWorks, Suntikan Semangat Baru di GE
General Electric sejak dulu merupakan perusahaan yang sangat mementingkan kualitas. Bermula ketika CEO Jack Welch memulai inisiatif Six Sigma yang terus berjalan hingga tahun 2000-an, lalu diperbarui dengan program yang disebut Lean Sigma. Konsepnya tetap sama, hanya mengadopsi konsep Lean Manufacturing. Implementasi Lean Sigma lebih fokus di proses manufaktur, sedangkan Six Sigma diterapkan di semua proses termasuk proses komersil dan finansial.
Akhir 2013 ini, GE Global telah memperbarui inisiatif mereka melalui program yang disebut FastWorks. Program ini dijalankan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Program ini merupakan hasil kerjasama antara GE dengan Eric Ries, pencetus Lean Startup. Ide utamanya adalah menjalankan program berbasis lean manufacturing yang menciptakan value pada produk yang memang diinginkan oleh pelanggan. Tujuannya adalah memproduksi produk yang tepat dengan value yang menarik melalui simplifikasi dan perbaikan proses.
“Target utama FastWorks adalah simplifikasi proses. Bagaimana membuat seluruh proses bisnis GE lebih sederhana sehingga biaya bisa turun, proses berjalan lebih cepat, mampu memberikan lebih banyak value kepada pelanggan internal dan eksternal. Intinya menjadikan proses faster, cheaper, better.” ungkap Handry.
FastWorks mengkombinasikan rangkaian perkakas dan perilaku yang dirancang untuk memberikan hasil yang lebih cepat dan lebih baik kepada pelanggan. Program ini adalah cara GE mewujudkan semangat perbaikan pada cara kerja mereka. Dengan FastWork, GE memiliki visi untuk memasuki pasar lebih cepat, dengan lebih banyak ide untuk berinovasi di setiap langkah proses. Program ini dirancang untuk membantu perusahaan memahami pelanggan untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan lebih baik.
“Dari sisi metode, FastWorks kurang lebih sama dengan Lean Six Sigma. Hanya aplikasinya saja yang berbeda,” ungkap Handry. “Di Indonesia, program ini fokus kepada simplifikasi proses di departemen keuangan, SDM dan legal.”
Di seluruh dunia, total telah berjalan 100 proyek FastWorks. Proyeknya bervariasi, mulai dari membuat solusi alat kesehatan terbaik hingga merancang turbin gas. GE sendiri berencana untuk mengembangkan 5000 eksekutif untuk menunjang program ini dan akan meluncurkan ratusan proyek tahun depan.
Ketika ditanya mengenai tantangan yang muncul dengan adanya pergeseran program, dari Six Sigma, Lean Sigma menjadi FastWorks, Handry mengakui, kesulitan dalam edukasi akan selalu ada. Mengelola ratusan karyawan dalam unit bisnis yang berbeda-beda tidak selalu mudah.
“Ada saja karyawan yang menolak, skeptis atau lambat belajar dan beradaptasi dengan perubahan. Tapi karena ada visi bersama, dan inisiatifnya dijalankan secara global, program di Indonesia berjalan cukup lancar,” ungkap Handry. “Kuncinya, create the shared needs. Kalo ditanya apa pernah gagal, setiap program pasti ada gagalnya. But that’s ok, kita selalu bisa belajar dari kesalahan.”
Change for Speeding-up!
Perusahaan yang selalu berkembang akan selalu menjadi learning company, perusahaan yang selalu belajar. Setiap pembelajaran tentu melibatkan perubahan. Inisiatif baru seperti FastWorks di GE, misalnya, menuntut pergeseran pola pikir dan cara kerja karyawannya. Pasalnya, untuk mendorong karyawan berubah, mereka harus paham keuntungan apa yang didapatkan, dan biasanya hal tersebut terkait masalah finansial.
Menurut Handry, ketika bertransformasi dalam perubahan, perusahaan harus menyiasati dua aspek: technical dan acceptance. Aspek teknis cenderung “lebih mudah” ditangani, melibatkan perubahan proses, struktur organisasi, susunan dan pengaturan mesin, dan sebagainya.
“Ketika telah menguasai seluruh aspek teknis, itu artinya 50 persen perubahan sudah berhasil dijalankan. 50 persennya lagi adalah bagaimana membuat orang tergerak untuk berubah,” kata Handry. “Tidak setiap orang mau atau setuju dengan perubahan. Akan ada yang sulit menerima. Disitulah tugas pemimpin untuk memberi teladan dan pemahaman bahwa perubahan ini akan membuat perusahaan bertambah baik. Jika perusahaan semakin baik, maka karyawan akan lebih nyaman bekerja dan lebih sejahtera.”
Lalu apakah GE selalu mengandalkan financial incentive? “Tidak selalu. Tapi setiap orang yang sudah melakukan perubahan dengan hasil yang baik akan selalu mendapat reward.”
Bagi Handry, perubahan adalah sarana untuk menambah kecepatan. Proses, baginya, harus berjalan dengan cepat dan tangkas. “Speed adalah yang anda butuhkan dalam kompetisi. Lebih cepat bukan berarti asal-asalan; harus jadi lebih baik juga. Saya pikir kita masih butuh banyak usaha untuk jadi lebih cepat. Tetap butuh banyak inisiatif perbaikan untuk membuat sesuatu dengan biaya lebih murah dan ide-ide yang lebih baik. Sistem reward kita mengacu kepada konsep ini.”
“Mempercepat” Indonesia
Walaupun sudah mencapai puncak karir di GE Indonesia, Handry masih memiliki cita-cita. Ia bermimpi mengirim kader-kader eksekutif asli Indonesia maju menuju kancah kepemimpinan global.
“Saya ingin lebih banyak orang Indonesia menjadi global leader di GE. Bukan hanya menangani Indonesia, tapi di region yang lebih luas,” kata Handry. “Inilah yang sekarang sedang kami lakukan, meningkatkan kapabilitas karyawan di GE Indonesia untuk menjadi pemimpin di GE Global.”
Nampaknya GE Indonesia sedang bergerak menuju cita-cita ini. Saat ini, eksekutif asal Indonesia yang memiliki posisi di regional memang masih dibawah 10 persen, namun di GE Indonesia, jumlah karyawan asli Indonesia telah mencapai 95 persen. Merupakan tugas Handry untuk mengembangkan dan meningkatkan kapabilitas mereka agar mampu menjadi kandidat yang kompetitif untuk menjadi pemimpin global. Handry percaya, “the job of a leader is to create another leader”.***