Oleh: Suwandi

Ada teman yang bercerita, bahwa dari observasi dia ternyata mereka yang suka makan cabe umumnya lebih gemuk. Dia mengatakan bahwa dia termasuk yang suka cabe. Jika dilihat dari hipotesa ini, sepertinya terbukti, teman saya ini memang agak gemuk. Ini menarik sekali, coba cek teman-teman Anda. Jika benar, mintalah teman untuk mengurangi cabe.

Saya kemudian menanyakan hal ini ke teman yang memahami nutrisi, ternyata tidak ada hubungan antara cabe dan kegemukan. Lho? Kata teman saya ini, “…logisnya dimana?”

Selidik punya selidik, ada satu teman lain yang lebih analitis. Dia mengatakan bahwa ini semua ada pejelasannya logisnya. Orang yang suka makan cabe, biasanya makannya lebih cepat! Mungkin karena kepedasan. Karena orang yang suka makan cabe tadi makannya cepat, makannya jadi lebih banyak dari seharusnya! Nah lho? Kok bisa?

Ternyata, ada penjelasan logisnya juga. Saat perut kemudian memberikan sinyal ke otak bahwa dia sudah kenyang dan asupan makanannya sudah cukup, ternyata orang tersebut sudah terlanjur memakan berlebih karena saking cepat dan bersemangatnya makan. Saya pun melakukan pencarian di internet tentang hal ini saking penasarannya.

Ada 2 referensi yang saya temukan. Pertama, menurut penelitian di Jepang, makan cepat bisa menyebabkan dua kali lipat resiko kelebihan berat badan. Universitas Osaka memantau kebiasaan makan dari 3.000 orang. Mereka menemukan kesimpulan 84 persen laki-laki yang makan cepat, lebih mungkin untuk mengalami kegemukan. Nah, ini sudah ada risetnya.

Kedua, dalam Journal of American Dietetic Association, para peneliti menemukan bahwa wanita berusia 40-50 yang makan cepat lebih cenderung menjadi gemuk daripada yang makan lambat. Menurut profesor fisiologi metabolik di Universitas Nottingham, “Diperlukan waktu selama 20 menit setelah anda mulai makan, sampai pesan untuk berhenti sampai ke otak. Sederhananya, makan terlalu cepat, dan Anda cenderung memenuhi perut dengan makanan berlebih.”

Baca juga  Menentukan Prioritas Aksi dengan Benefit-Effort Matrix

Ternyata semua ada penjelasan logisnya. Sering dalam sesi diskusi dengan klien, kami menanyakan mengapa suatu aktivitas dilakukan. Terkadang tidak ada penjelasan logisnya, peserta diskusi pernah menjawab “Saya yakin ada alasannya, orang sebelumnya melakukan ini pasti ada alasannya, tidak mungkin dilakukan kalau tidak ada alasan.”

Jika kita bisa menemukan penjelasan logisnya, kita bisa menggunakannya untuk analisa dan pengambilan keputusan. Tetapi jika tidak ada penjelasan logisnya, mungkin memang aktivitas tersebut tidak logis dan tidak perlu dilakukan.

 Suwandi, Master Black Belt, dapat dihubungi melalui email suwandi@sscx.asia