Sumber image: stock.tookapic.com
Sumber image: stock.tookapic.com

Presiden Joko Widodo pada Rabu (9/9/2015) meresmikan dimulainya percepatan pembangunan light rail transit (LRT) tahap pertama di Gerbang Tol Taman Mini, Jakarta Timur.

Peresmian tersebut ditandai dengan peletakan batu pertama proyek kereta ringan di Jakarta yang ditancapkan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Presiden menegaskan, pembangunan transportasi massal di Indonesia tak bisa di tunda-tunda lagi.

“Indonesia masih tertinggal dalam pembangunan infrastruktur, umumnya transportasi massal. Sesuatu yang cukup lama, harus segera kita mulai,” kata Presiden Jokowi di lokasi pembangunan stasiun KA ringan (LRT) di tepi tol Jagorawi, seperti ditulis Kompas.com.

Jokowi mengatakan rencana pembangunan kereta ringan itu sudah mulai sejak tiga tahun lalu. Saat dirinya masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Dikutip dari Tempo.co, pembangunan LRT ini, kata Jokowi sebagai bagian dari upaya mengatasi kemacetan di Jakarta yang semakin akut dari hari ke hari. Dia menargetkan proyek ini selesai sebelum penyelenggaraan Asian Games 2018.

Menurutnya, proyek LRT ini harus sudah selesai dan terintegrasi dengan semua moda transportasi massal di Jakarta. “LRT Bodetabek masuk Jakarta, diterima oleh LRT DKI dan terintegrasi dengan semua moda transportasi seperti bus Transjakarta, KRL, dan kereta cepat Jakarta-Bandung. Semua harus jadi,” katanya.

Macet Jakarta Sudah Akut

Jakarta merupakan salah satu kota termacet di dunia. Cepatnya pertumbuhan kendaraan bermotor yang tidak berimbang dengan pertambahan kapasitas jalan raya membuat jalanan sesak, bahkan di hampir setiap jamnya.

Sebagai ilustrasi, seperti dilansir dari liputan6.com, kemacetan di Jakarta bahkan bisa dibandingkan dengan kota Los Angeles (AS) pada tahun 1958. Dalam artikel tersebut ditampilkan sebuah foto yang menunjukkan keadaan jalan raya Los Angeles saat itu yang padat dan dianggap mirip dengan kondisi kemacetan Jakarta saat ini.

Baca juga  Free Webinar: Kickstart Your Innovation with DESIGN THINKING
Keterangan gambar: Kemacetan di Los Angeles (AS) tahun 1958 -Liputan6.com
Keterangan gambar: Kemacetan di Los Angeles (AS) tahun 1958 -Liputan6.com

Selain itu, menurut hasil survei yang dilakukan oleh Periskop Data, kemacetan di Jakarta masih menjadi masalah mendesak di Jakarta. Hasil survei tersebut menunjukkan sebesar 31,8% responden menempatkan kemacetan pada peringkat teratas. “Permasalahan yang paling mendesak untuk segera diselesaikan adalah kemacetan, banjir, narkoba, sembako mahal, dan sulitnya lapangan pekerjaan atau pengangguran,” kata Direktur Eksekutif Periskop Data, Muhammad Yusuf Kosim, seperti dikutip liputan6.com.

Wakil Gubernur Jakarta periode Oktober 2007-2012 Prijantono, juga pernah menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul “Mengurai Kemacetan Jakarta” bahwa kemacetan Jakarta adalah masalah utama yang harus mendapat prioritas untuk segera diselesaikan. Menurutnya, kemacetan di Jakarta bukan merupakan yang dianggap biasa-biasa saja. Kemacetan di kota ini harus dianggap sebagai kejadian luar biasa karena:

  1. Merugikan masyarakat Jakarta secara luas
  2. Hilangnya waktu dan jam kerja produktif
  3. Pemborosan biaya operasional kendaraan (kurang lebih Rp 17 triliun/tahun)
  4. Pemborosan BBM (kurang lebih Rp 10 triliun/tahun)
  5. Mengakibatkan stres masyakarat
  6. Masyarakat menjadi sensitif dan individualistis

Dan menurut Prijantono, masih ada ancaman yang lebih besar apabila kondisi tersebut dibiarkan begitu saja, tanpa ada penanganan yang tepat.

Pola Transportasi Makro

Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut, menjelaskan dalam menangani kemacetan di Jakarta, pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki konsep yang disebut “Pola Transportasi Makro (PTM). PTM adalah pola yang terintegrasi secara komprehensif dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta.

“Dalam TPM ada tiga strategi pengembangan yang meliputi pembangunan infrastruktur, pembangunan angkutan umum massal, dan pengaturan-pengaturan,” kata Prijantono, seperti dikutip dalam tulisan “Mengurai Kemacetan Jakarta”.

Pembangunan infrastruktur lalu lintas merupakan salah satu cara mengurai kemacetan di Jakarta. Pembangunan infrastruktur dilakukan dengan melakukan pembangunan ATCS (Automatic Traffic Control System), pembangunan jalan, pembangunan fly over/under pass, pengembangan jaring jalan dan pedestrianisasi.

Baca juga  Selesaikan Masalahnya Sebelum Menjadi "Darurat"

Namun, pembangunan infrastruktur yang dilakukan tersebut tidak berimbang dengan peningkatan jumlah kendaraan yang melintasi jalanan ibu kota, karena terbatasnya ruang.

Berdasarkan survei Dinas Perhubungan, kemampuan menambah ruas jalan semakin sulit dibandingkan penambahan kendaraan. Panjang jalan hanya bertambah kurang dari 1%, sedangkan penambahan kendaraan rata-rata 10-11% per tahun.

Ini juga yang pernah disampaikan Asosiasi industri otomotif mobil Indonesia yang meramalkan penjualan mobil pada tahun 2013 mencapai 1,1 juta. Sebagian besar mobil-mobil tersebut akan memadati kota Jakarta. Padahal di Jakarta saat ini sudah ada sekitar 28 juta sepeda motor dan 5 juta mobil.

Namun, selain pembangunan infrastruktur, PTM juga membangun angkutan massal yang merupakan bagian dari strategi PTM. Pembangunan angkutan massal ini meliputi pembangunan; Bus Priority (Busway), LRT (Light Rail Transit), MRT (Mass Rail Transit), dan Angkutan Sungai.

Di Jakarta, menurut Prijantono, pengembangan secara terpadu dari keempat jenis transportasi ini diharapkan akan selesai pada tahun 2020. Itu juga yang dikatakan Direktur Institut Transportation and Development Policy (ITDP), Yoga Aniwinarto. “MRT dan monorail bisa sangat efektif dalam mengurangi jumlah mobil pribadi di jalan-jalan di kota Jakarta. Sayangnya proyek ini tak akan bisa rampung digarap dalam waktu 5 tahun,” ujarnya seperti dikutip dari laman dw.com.

Namun demikian, seperti dikutip Kompas.com, Jokowi menegaskan, “yang paling penting semua pekerjaan segera dimulai, setelah dimulai, beri target selesainya kapan,” pungkas Jokowi.