Artikel ini terinspirasi oleh sebuah lelucon sebagai berikut:
Seorang ibu sedang berbelanja untuk kebutuhan Hari Raya di sebuah pasar. Dia melihat sebuah topi dan bertanya kepada sang penjual, “Mas, berapa harganya topi ini?”
Sang penjual menjawab, “Lima puluh ribu, Bu”
“Wah mahal amat Mas,” sang ibu menjawab, “Tiga ratus ribu aja ya?” Rupanya dia salah dengar dan berpikir harganya lima ratus ribu.
“Harganya cuma lima puluh ribu, Bu,” sang penjual menjawab.
“Oh, kalau gitu kayaknya tiga puluh ribu aja Mas.”
Rupanya sang ibu merasa harga yang diberikan si penjual pasti selalu akan lebih mahal dari seharusnya, dan dia harus selalu menawar.
Meskipun hal ini terdengar lucu, kenyataannya kita selalu menjumpai hal seperti ini, dan pelakunya tidak selalu ibu-ibu. Seringkali saya menjumpai profesional di bidang sales yang mengeluh, “ah, sekarang semua orang maunya murah. Saya susah jual produk saya.” Di lain pihak, kita sebagai konsumen memang selalu ingin mencari tawaran termurah, atau istilahnya best bargain.
Nah, sebenarnya dalah situasi sempurna, kegiatan tawar menawar ini sesuai dengan hukum ekonomi di mana akan tercapai price equilibrium dan penjual dan pembeli sepakat bertransaksi di satu titik optimal setelah tawar menawar berakhir. Titik kesepakatan ini biasa digambarkan dalam grafik dua dimensi yang bisa dilihat di gambar diatas. Masalahnya, dalam era globalisasi informasi saat ini, kita berada dalam sebuah grafik yang mungkin bila digambarkan harus dalam bentuk tiga dimensi atau bahkan lebih. Pilihan yang tersedia sangat beraneka ragam dan masing – masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Akibatnya segala upaya pencarian “yang termurah” tanpa memahami makna dari harga yang ditawarkan akan mengakibatkan tekanan pada penjual untuk menurunkan harga, yang kemudian mengakibatkan si penjual mengurangi mutu dari produk atau jasa yang dijual, dan pada akhirnya mengakibatkan kerugian di pihak si pembeli.
Sebagai contoh, coba kita datang ke sebuah shopping mall dan melihat berapa banyak merek dan jenis sepatu yang ditawarkan di situ. Karena banyaknya tipe yang ditawarkan, saya pun sebelum ini biasanya mencari yang termurah dari pilihan yang ada. Sebut saja misalnya saya memilih sepasang sepatu yang harganya 400 ribu rupiah. Sepatu itu kurang terasa nyaman, tapi oke lah untuk dipakai. Sepatu itu biasanya rusak 4 bulan kemudian dan saya harus mencari sepatu baru (aktifitas berjalan saya tergolong tinggi). Kemudian saya diperkenalkan oleh seorang penjual sebuah merek sepatu yang harganya sekitar 1.2 juta rupiah. Mahal sekali! Saya pikir awalnya. Ternyata sepatu itu bisa tahan dipakai untuk aktifitas saya selama satu tahun. Jadi sebenarnya sebelumnya dalam setahun saya pun sudah mengeluarkan uang 1.2 juta rupiah untuk sepatu, jadi saya tidak mengeluarkan uang lebih banyak dari sebelumnya. Belum lagi sepatu itu jauh lebih nyaman dipakainya, tidak menyebabkan rasa sakit kalau lama dipakai seharian, yang meskipun sifatnya subjektif, tentu ini merupakan nilai yang penting bagi saya yang memiliki aktifitas tinggi. Boleh dibilang, saya rela membayar premium 800 ribu di atas harga sepatu saya biasanya, bila saya mendapatkan kenyamanan berjalan tersebut. Mengapa demikian? Karena bila saya tidak mendapatkan kenyamanan tersebut, aktifitas saya akan terganggu dan performance kerja saya akan menurun, dan ini mempengaruhi pencapaian kerja saya. Problem ini memiliki nilai lebih dari 800 ribu premium yang saya bayarkan.
Ini adalah contoh dari bagaimana kita dapat memahami arti sebuah harga yang diberikan dari sisi apa yang kita dapatkan.
Harga adalah satuan moneter yang kita keluarkan untuk sebuah produk atau jasa. Nilai (value) adalah apa yang kita dapatkan karena produk atau jasa tersebut. Bila kedua elemen tersebut sejalan, kita akan mendapat kondisi yang optimal, bagi pembeli dan penjual. Dalam Lean Management, istilah dari pemahaman ini adalah value-based pricing. Dalam value-based pricing, kita memahami harga dan nilai dari sebuah produk atau jasa. Ini sesuai dengan prinsip pertama dari Lean, yaitu define value from the perspective of your customer.
Sebagai pembeli, kita tidak secara random mencari harga termurah, tetapi kita juga melihat apa yang sebenarnya akan kita dapatkan dari harga tersebut, dan mencari harga yang sesuai dengan nilai yang akan kita dapatkan.
Sebagai penjual, kita memahami apa nilai dari produk atau jasa yang kita jual, dan harga yang kita tawarkan harus dibuat sesuai dengan nilai tersebut. Bila hal ini dapat dilakukan, kita sebagai penjual tidak lagi perlu merasa produk atau jasa yang kita jual terlalu mahal. Bahkan, profesi penjual tidak lagi perlu dirasakan sebagai profesi yang mengharuskan kita melakukan pemaksaan atau pengambilan keuntungan dari para ‘korban’. Di sini kita akan me-redefine profesi penjual sebagai profesi yang mencocokan nilai yang diberikan dengan harga yang ditawarkan. Misalnya, seorang yang berprofesi Sales Manager di sebuah perusahaan IT Network berbasis di Amerika Serikat, ketika berkompetisi dengan produk dari Asia yang harganya 50% dari harga produk yang dijualnya, perlu memahami apakah nilai dari produknya di mata calon pembeli. Yang harus dijawab adalah apa yang akan membuat sebuah perusahaan mau membayar dua kali lipat harga dari sebuah network solution yang diberikan. Misalnya ia akan bisa memberi penekanan terhadap faktor – faktor reliability, after sales service, garansi, ease of upgrades, dan level of acceptance, dan ia akan fokus kepada perusahaan – perusahaan yang memang memperhatikan hal – hal tersebut.
Gambar diatas mengilustrasikan kondisi chaos yang terjadi bila pemikiran value-based pricing tidak diterapkan, di mana penjual dan pembeli tidak menyelaraskan nilai dan harga yang ditawarkan, dan gambar dibawah mengilustasikan kondisi yang diharapkan, di mana penjual dan pembeli sama – sama menyadari bahwa transaksi hanya akan terjadi bila nilai dan harga yang ditawarkan selaras.
Dalam kenyataannya, tentu hal ini tidak semulus dari ilustrasi yang diberikan. Seringkali, kondisi yang dimiliki sebuah perusahaan saat ini masih terdapat gap antara apa yang harus diberikan (value) dengan apa yang mampu diberikan oleh perusahaan itu untuk pelanggan-nya, dan perbaikan yang berkesinambungan perlu dilakukan untuk menutup gap tersebut. Di sinilah Lean Management dapat membantu perusahaan – perusahaan dalam ketepatan pelayanan menuju kepuasan pelanggan-nya dengan focused effort yang terpadu dan mencakup keseluruhan proses yang end to end, pemahaman dan penggunaan Lean tools yang tepat dan memadai, dan tentunya diikuti dengan perubahan pola pikir dan kebiasaan dalam operasional sehari-hari.
Untuk kisah sukses dari perusahaan – perusahaan di Indonesia dalam menjalani konsep Lean Management, pastikan Anda hadir di Opexcon13.***