Kondisi ekonomi Indonesia dan dunia sedang terguncang akibat penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS, atau disebut juga tarif Trump, yang memicu perang dagang antara AS dan Tiongkok. Pemberlakuan tarif resiprokal sebesar 32 persen itu dapat menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global karena tingginya nilai jual yang berlaku nantinya.
Terutama pada industri manufaktur di sektor tekstil dan garmen; sektor alas kaki; industri furniture; industri karet; industri pangan seperti kopi, kelapa, kakao, minyak sawit, dan perikanan; serta industri elektronik. Keenam industri tersebut terancam mengalami penurunan penjualan di pasar AS.
Kondisi Manufaktur Terkini
Kondisi industri manufaktur saat ini tengah mengalami kontraksi dengan angka Purchasing Managers Index (PMI) di bawah level 50. Hal ini menandakan rendahnya permintaan dari dalam negeri sebab salah satu faktor penting penggerak nilai PMI adalah permintaan dalam negeri.
Pada awal tahun 2025 terdapat 60 persen perusahaan di bidang tekstil dilaporkan oleh Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) mengalami kendala bisnis. Sampai 34 diantaranya harus menghentikan operasional pabrik dan 26 sisanya mau tak mau harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada karyawannya.
Distribusi industri pengolahan atau manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pun tercatat masih merosot dalam satu dekade ini dalam data BPS. Data pada tahun 2014 mencatat distribusi industri pengolahan terhadap PDB masih 21,02 persen. Lalu pada 2019 hanya tersisa 19,7 persen, dan pada 2023 kian merosot menjadi 18,67 persen. Angka tersebut juga sempat mengalami kenaikan pada 2024 menjadi 19,13 persen.
Dengan kondisi industri seperti itu, Indonesia terancam mengalami deindustrialisasi dini, yakni kondisi yang menunjukkan penurunan sektor industri sebelum mencapai puncak. Dikutip dari MetroTV News, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri menyebut deindustrialisasi dini tergambar dari makin minimnya porsi kontribusi sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi atau PDB.
Harapan yang dibawa Oleh Hasil Riset CORE
Lembaga riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyatakan bahwa industri manufaktur Indonesia akan kembali pulih pada Desember 2025. Angka PMI bisa naik jika munculnya permintaan dari dalam negeri, maka, momen natal dan tahun baru dinilai dapat memancing naiknya nilai PMI.
“PMI itu kan, dia melihat dari kinerja industri manufaktur, dari beberapa indikator, melihat supply chain-nya. Jadi lihat order, lihat produksi, lihat stok, lihat yang dikirim, lihat tenaga kerja. Berarti dia melihat demand sebetulnya itu,” ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal dilansir dari MetroTV News.
Beliau juga menyebut bahwa satu-satunya sektor yang mampu mengangkat nilai PMI adalah sektor makanan dan minuman. Sebab industri tekstil masih akan mengalami persaingan ketat di pasar global akibat tarif Presiden Amerika Serikat Trump. Walaupun besaran nilai tarif Trump untuk Indonesia sudah mengalami penurunan dari 32 persen menjadi 19 persen, ekspor Indonesia masih mempunyai beban tarif dalam negeri dan biaya lain yang akan tetap menambah harga jual produk Indonesia di luar negeri.