Dengan adanya kebijakan tarif impor baru yang diterapkan Amerika Serikat (AS) pada 2025, hal ini juga berdampak pada kenaikan tarif impor produk tekstil dan garmen asal Indonesia hingga angka 32–47%. Tarif tinggi ini membuat harga produk Indonesia di pasar AS menjadi jauh lebih mahal. Sehingga, daya saingnya menurun dibandingkan dengan negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh.
Dampaknya secara langsung terasa. Sejumlah pelaku industri menyatakan bahwa permintaan dari AS mulai melemah dan potensi penurunan ekspor diperkirakan bisa mencapai 20 hingga 25 persen. Jika tidak segera diantisipasi, hal ini dapat mengganggu kelangsungan bisnis dan mengancam stabilitas sektor ini.
Industri Strategis, Jutaan Tergantung
Industri tekstil dan garmen bukanlah sektor kecil dalam perekonomian Indonesia. Pada kuartal IV 2024, sektor ini menyumbang 5,34% dari output industri manufaktur dan sekitar 1,21% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Lebih penting lagi, sektor ini menyerap hampir 4 juta tenaga kerja atau sekitar 19,5% dari total pekerja manufaktur.
Ketika industri ini terguncang, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh perusahaan, tetapi juga oleh jutaan pekerja dan keluarga mereka yang menggantungkan hidup pada sektor padat karya ini.
Dengan ekspor yang melemah dan pesanan dari pasar AS yang semakin menurun, banyak perusahaan terutama skala kecil dan menengah, berisiko mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam situasi terburuk, kebangkrutan bisa terjadi, yang akan menambah angka pengangguran nasional.
Ancaman lain yang tidak kalah serius adalah banjirnya produk impor dari negara lain. Ketika produk tekstil dari negara seperti China atau Bangladesh tidak lagi terserap pasar AS, Indonesia bisa menjadi target pelarian. Hal ini semakin memperburuk kondisi pasar domestik.
Langkah Cepat Pemerintah
Pemerintah Indonesia segera merespons kebijakan tarif resiprokal AS dengan mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington D.C. untuk bernegosiasi. Dilansir dari Liputan6, “Pemerintah Indonesia akan terus melakukan komunikasi dengan Pemerintah AS dalam berbagai tingkatan, termasuk mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington D.C. untuk melakukan negosiasi langsung,” ujar Kementerian Luar Negeri RI.
Untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS, pemerintah juga mulai mendorong pelaku industri membuka pasar ekspor ke negara-negara non-tradisional seperti Jepang, Kanada, Uni Emirat Arab, Afrika, dan Amerika Latin. Langkah ini tak hanya soal ekspansi dagang, tapi juga demi melindungi jutaan lapangan pekerjaan.
Sebagai langkah lanjutan, Indonesia menggandeng negara-negara ASEAN untuk melakukan kerja sama regional, mengingat negara-negara di kawasan tersebut turut terdampak oleh kebijakan tarif AS. Langkah domestik seperti insentif fiskal, kemudahan pembiayaan, dan penyederhanaan regulasi disiapkan untuk memperkuat daya saing. Salah satu strategi negosiasi yang tengah dijajaki ialah menggunakan bahan baku asal AS minimal 20% agar produk Indonesia mendapat keringanan tarif.
Bersama dengan Bank Indonesia, pemerintah juga berusaha menjaga stabilitas nilai tukar dan likuiditas valas guna mendukung dunia usaha dan menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan.