Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menunda penerapan skema co‑payment dalam asuransi kesehatan. Semula, rencana ini memang akan diterapkan mulai 1 Januari 2026. Namun, dikarenakan kontroversi yang meliputinya, target penerapannya diubah menjadi tahun 2027. Penundaan ini merupakan respons atas masukan dari masyarakat dan Komisi XI DPR RI yang menilai kebijakan tersebut berpotensi membebani nasabah.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menyatakan pihaknya siap menyusun regulasi baru yang lebih inklusif. “Sebenarnya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) mengatur berbagai hal ini. Tapi, bila dari Komisi XI DPR maksudnya adalah ekosistem tadi bisa efektif berjalan dan ada langkah-langkah mengundang pihak terkait dan bagian dari ekosistem, kami dapat memahami dan menyetujui,” ujar Mahendra dalam rapat dengan DPR pada 30 Juni 2025, seperti dikutip Antara.
Sebagai tindak lanjut, OJK akan menyusun Peraturan OJK (POJK) yang menggantikan SEOJK sebelumnya, dengan melibatkan publik secara lebih luas.
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun, menekankan pentingnya waktu tambahan ini untuk konsolidasi kebijakan. “Kita masih ada waktu setengah tahun untuk konsolidasi dari sisi kebijakan dan ke masyarakat,” katanya, dalam rapat yang sama.
Penundaan ini diharapkan menghasilkan regulasi yang lebih adil, transparan, dan melindungi kepentingan nasabah asuransi kesehatan.
Apa itu Co-Payment?
Co-payment merupakan skema pembagian biaya antara perusahaan asuransi dan pemegang polis. Dalam sistem ini, peserta asuransi wajib membayar minimal 10% dari total klaim, dengan batas maksimal:
- Rp 300.000 untuk rawat jalan
- Rp 3.000.000 untuk rawat inap
Dengan kata lain, meskipun sudah memiliki asuransi, peserta tetap harus menanggung sebagian biaya pengobatan secara mandiri.
Mengapa Co-Payment Dirancang?
Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan, yang awalnya dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2026. Penyusunan aturan ini merupakan hasil kolaborasi antara OJK dan industri asuransi, yang sepakat bahwa sistem saat ini perlu diperbaiki agar lebih sehat dan berkelanjutan. Awalnya, penerapan co-payment bertujuan untuk mengendalikan lonjakan klaim yang semakin tinggi, mencegah praktik penyalahgunaan asuransi. dan menjaga keberlanjutan industri asuransi kesehatan yang kini menghadapi rasio klaim mendekati 100 persen.
Namun, ketika diumumkan, banyak pihak sepakat bahwa penerapan co-payment dinilai kurang melibatkan partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation). Komisi XI DPR RI juga menyatakan keprihatinan serupa dan meminta agar OJK menunda kebijakan ini hingga tahun 2027.
Langkah ini diambil agar OJK memiliki waktu untuk menyusun regulasi yang lebih matang; menciptakan ruang untuk dialog dan konsultasi dengan masyarakat, pelaku industri, serta pemangku kepentingan lainnya, agar nantinya, kebijakan yang dihasilkan tidak membebani konsumen.
Sebagai tindak lanjut, OJK menyatakan akan segera menyusun Peraturan OJK (POJK) baru yang lebih komprehensif untuk menggantikan Surat Edaran sebelumnya. Regulasi baru ini diharapkan dapat menyeimbangkan kepentingan antara setiap pihak yang terlibat, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam industri asuransi, serta menjamin keberlanjutan sistem asuransi kesehatan dalam jangka panjang. OJK juga berkomitmen memperkuat komunikasi dan koordinasi dengan semua pihak terkait agar kebijakan yang lahir benar-benar menjawab kebutuhan riil masyarakat.