Kunci keberhasilan Starbucks adalah kemampuannya menciptakan “customer experience”. Selama bertahun-tahun, mereka mampu memanfaatkan supply chain tidak hanya mendukung tetapi juga untuk meningkatkan kepuasan pelanggan.

Bagi operator sebuah perusahaan komersial kecil, ada banyak prioritas dalam bisnis mereka yang lebih mendesak sehingga mengalahkan urusan supply chain. Jika seperti ini, hal yang harus Anda lakukan adalah menguasai pergerakan bahan baku, produk, dan layanan yang terjangkau sehingga dapat membantu Anda memberikan pengalaman pelanggan yang tidak terlupakan untuk pelanggan. Mari kita lebih dekat pada studi kasus Starbucks, mempelajari gagasan tentang bagaimana mereka menghasilkan keunggulan supply chain.

Pada tahun 2000-an, Starbucks sudah menjadi “racehorse”, dengan peningkatan pendapatan yang mengejutkan dari $ 4,1 miliar di tahun 2003 menjadi $ 10,4 miliar di tahun 2008. Saat ini pendapatan tahunan raksasa kopi asal Amerika ini mencapai angka $22 miliar dengan mengoperasikan lebih dari 25.000 stores di enam benua. Ekspansinya ke China pun berjalan mulus, lebih dari 3.000 stores berhasil mereka dirikan di 136 kota dan rencananya akan menjadi 5.000 stores pada tahun 2021. Menariknya, di negeri tirai bambu ini mereka beroperasi selama 15 jam setiap harinya.

Dikutip dari thebalance, Peter D. Gibbons penanggung jawab supply chain di Starbucks mengatakan bahwa pesatnya pertumbuhan Starbucks menuntutnya untuk lebih ramping melalui outsourcing. Sekitar 65 sampai 70 persen dari biaya supply chain diperoleh dari outsourcing arrangements untuk transportasi, logistik dan  pembuatan kontrak. Langkah selanjutnya yang diambil Starbucks adalah membuat tiga langkah transformasi. Berikut penjelasannya:

Pertama, mengatur ulang (reorganize) dan menyederhanakan supply chain. Pada tahap akhir tahun 2008, perusahaan mengambil langkah penting untuk menyederhanakan dan memusatkan supply chain mereka yang sebelumnya terfragmentasi. Tim me-reorganize sehingga setiap peran akan menempati salah satu dari empat kelompok fungsional: plan, source, make, and deliver.

Kedua, mengurangi biaya dan meningkatkan layanan (cut cost and improve services). Dengan reorganisasi yang dilakukan, masing-masing kelompok fungsional ditugaskan untuk menemukan perbaikan. Misalnya, grup sources bekerja untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kenaikan harga. Melalui penelitian ini, mereka akan memahami produk apa yang harus dibiayai, dan akibatnya mereka dapat menegosiasikan kontrak yang lebih baik. Dengan begitu, grup manufacturing juga akan menentukan bahwa untuk mengurangi biaya serta waktu pengiriman dapat dilakukan dengan membuka pabrik roasting kelima di AS. Untuk bagiannya, kelompok manufaktur menentukan bahwa hal itu dapat mengurangi biaya serta waktu pengiriman dengan membuka pabrik pemanggangan A.S. kelima. Aspek penting lain dari transformasi ini adalah pengenalan weekly scorecards dengan metrik layanan, biaya, dan produktivitas yang sangat jelas. Pendekatan ini memungkinkan supply chain terus berkembang align dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. Salah satu ukuran utama logistik adalah pesanan diterima “tepat waktu.”

Baca juga  Agile: Metode Inovatif Agar Bisnis Responsif

Ketiga, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan supply chain di masa depan (future capabilities). Dengan sistem yang dibuat untuk memastikan perjalanan supply chain di masa sekarang dan dalam waktu dekat, perusahaan merekrut talenta terbaik untuk mengisi tim leadership supply chainnya. Perusahaan juga berkomitmen untuk memberikan training bagi staf yang ada. Hasil transformasi ini patut dipuji, mereka mampu mengurangi biaya supply chain hingga setengah miliar dolar.