Dua puluh lima fasilitas pengolahan mineral mentah alias smelter tengah berada dalam tahap uji sebelum memasuki operasi komersial, kata pemerintah pada Selasa. Data ini mengindikasikan ekspor mineral akan meningkat dalam waktu dekat, setelah pemerintah awal tahun ini melarang eskpor bahan mineral mentah.
“Dua smelter akan mulai beroperasi secara komersial tahun ini, dan sisanya tahun depan,” ujar R. Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Menurut Sukhyar, sebagian besar dari 25 smelter itu merupakan fasilitas pemurnian nikel. Namun, ia tidak memberikan perincian lebih lanjut.
Sebelum larangan ekspor mineral diberlakukan, Indonesia mendominasi pasar nikel dunia. Ekspor dari tanah air mencakup 28 persen dari pasokan global. Bumi Nusantara juga menjadi pemasok utama bauksit dan tembaga.
“Sejak pemerintah menerapkan larangan ekspor pada Januari, sudah ada 112 proposal proyek smelter yang masuk. Nilai proyeknya bermacam-macam, mulai $6 juta hingga ratusan juta dolar,” ungkap Sukhyar.
Larangan ekspor mineral mentah merupakan upaya pemerintah memberikan nilai tambah terhadap ekspor sumber daya alam, serta mengambil kendali lebih terhadap pasokan sumber daya. Namun, kebijakan ini menuai kritik dan tampaknya bakal menjegal investasi di sektor pertambangan.
Ekonom memperkirakan larangan tersebut dapat memangkas $4 miliar hingga $5 miliar dari nilai ekspor tahun ini. Pembatasa ekspor mineral juga kadang menjadi kambing hitam saat neraca perdagangan bulanan Indonesia mengalami defisit.
Bagaimanapun, pemerintah menganggap kebijakan ini bakal mendongkrak pemasukan ekspor dalam jangka panjang, karena harga produk smelter lebih tinggi ketimbang bahan mineral mentah.***
Sumber: The Wall Street Journal