Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberi dampak signifikan bagi industri farmasi. Pasalnya, RI masih mengimpor 95 persen bahan baku obat-obatan. Hal ini pun menjadi tantangan cukup berat yang dirasakan industri farmasi.
“Tantangan berat kami saat rupiah melemah karena margin perusahaan sempit,” kata Direktur Eksekutif untuk International Pharmaceutical Manufacturers Group Parulian Simanjuntak, pada sesi talkshow di Opexcon14 pada Senin (22/9/2014) di Hotel Pullman Jakarta, Central Park.
Menurutnya, pasar farmasi di Indonesia berkembang 13 persen dalam lima tahun terakhir. Walapupun mempunyai pasar yang besar, konsumsi obat-obatan per kapita di Indonesia terendah dari enam negara besar ASEAN bahkan lebih rendah dari Vietnam.
Di sektor kesehatan, farmasi baru berkontribusi kurang dari 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Program pemerintah berupa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diluncurkan pada 1 Januari 2014 lalu, lanjutnya, belum mampu membawa dampak signifikan bagi pasar biofarmasi di tanah air.
Pasalnya, JKN mengutamakan obat generik dengan harga rendah untuk menekan biaya. “Dengan JKN ini, kebutuhan obat generik berharga rendah akan naik secara eksponensial, tapi tidak secara nilai rupiah,” katanya.
Begitupun yang diungkapkan pengamat ekonomi, Faisal Basri dalam sesi Talkshow Economic Outlook di Opexcon14. Ia mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belum menguat secara berkelanjutan. Depresiasi rupiah ini lebih disebabkan defisit neraca migas sebesar US$12 miliar akibat impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tidak terkendali.
Untuk mengatasi nilai tukar rupiah yang masih melemah, Faisal memandang presiden terpilih, Joko Widodo harus segera menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Nilai kenaikan yang ideal adalah Rp 3.000 per liter.
Dalam sesi Talkshow Economic Outlook 2015 itu juga, Faisal mengungkapkan, agenda pertama yang harus dilakukan Jokowi setelah dilantik adalah menaikkan harga BBM bersubsidi. Hal tersebut karena saat ini produksi minyak Indonesia yang terus mengalami penurunan.
Penurunan tersebut membuat pemerintah melakukan impor minyak untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, sedangkan mayoritas BBM masih disubsidi.
Hal ini membuat pengeluaran negara lebih besar untuk BBM, subsidi ketimbangan anggaran pendidikan dan pembangunan infrastruktur.
“Produksi turun tapi konsumsi naik. Kita harus impor 741 ribu barel per hari. Lebih besar dari anggaran pendidikan. Subsidi BBM kalah dengan public service,” kata Faisal, saat mengisi sesi Talkshow di Opexcon14.***